Dengan pikiran
demikian, si Bungsu masuk ke kamar penjagaan itu tanpa membawa apa-apa.
Samurainya tetap dia tinggalkan dengan mengikatkannya ke batang sepeda yang dia
bawa. Sepeda itu dia sandarkan di pohon kelapa di depan rumah penjagaan itu.
Dengan tenang
dia masuk ke dalam.
“Buka
pakaian….” Seorang sersan KNIL memerintah. Si Bungsu agak tertegun.
Orang yang
memerintahkannya ini kulitnya sama dengan dirinya. Meski kulit KNIL itu lebih
hitam, tapi dia yakin bahwa tentara Belanda itu pastilah orang Indonesia juga.
Perlahan dia
membuka bajunya. Sersan itu memberi isyarat pada prajurit yang satu lagi.
Prajurit itu memeriksa isi kantong baju si Bungsu. Mengeluarkan sebuah kartu
keterangan diri. Kemudian sehelai saputangan.
“Mau kemana?”
sergeant itu bertanya dalam aksen Melayu tinggi yang fasih.
“Ke Buluh Cina
tuan…”
“Mengapa ke
sana..?”
“Pulang ke
kampung tuan…” dia menjawab mengikuti petunjuk Kapten Nurdin pagi tadi.
“Apa kerjamu di
kampung?”
“Memotong getah
tuan…”
Sergeant KNIL
itu memegang tangan si Bungsu. Si Bungsu tetap tenang. KNIL itu melihat betapa
pada pangkal jari-jari tangan anak muda itu kelihatan benjolan yang mengeras.
Dan dia jadi yakin bahwa anak muda ini memang seorang penakik getah. Sebab
benjolan yang mengeras di telapak tangannya itu membuktikan bahwa dia memang
selalu memegang benda keras.
Tanda demikian
itu tak terdapat pada pedagang ikan yang tiap pagi mengayuh sepeda atau pada
pejuang yang hanya memegang bedil.
“Di mana
tinggal di Buluh Cina….” KNIL itu menatap wajah si Bungsu. Seperti mencari
sesuatu di wajahnya itu. Si Bungsu hanya diam. Dan akhirnya sersan KNIL itu
menyuruhnya kembali berpakaian. Dan menyuruhnya keluar.
Si Bungsu
mengambil sepedanya. Berdiri dengan memegang sepeda itu di jalan raya. Menanti
kedua temannya yang masuk ke dalam. Dia menarik nafas-nafas lega. Telapak
tangannya ada benjolan mengeras adalah karena tiap hari dia melatih dirinya
dengan samurai. Tapi siapa nyana, bekas tangannya itu justru bisa menyelamatkan
dirinya saat ini.
Tiba-tiba dia
kaget mendengar bentakan dari dalam kamar pemeriksaan. Dan tak lama kemudian
disusul dengan suara tamparan. Dia mulai mempelajari situasi. Kalau terjadi
apa-apa, andainya kedua temannya itu diketahui bahwa mereka adalah pejuang maka
dia akan susah untuk melarikan diri.
Sebab
sekitarnya ada kira-kira dua belas tentara Belanda yang menjaga dengan bedil
terhunus. Mereka memang seperti tak acuh saja. Tapi kalau kedua temannya itu
tertangkap, maka dia tentu akan ditangkap pula. Dan kalau dia berusaha
melarikan diri, maka tentara Belanda yang diluar ini pasti siap untuk
merajamnya dengan semburan peluru.
Dia menanti
dengan tegang.
Tak lama
kemudian, kelihatan kedua temannya itu keluar dengan mulut dan hidung berdarah.
Mereka mengambil sepedanya. Lalu mengangguk pada si Bungsu. Dan ketiga orang
ini, di bawah tertawaan tentara Belanda yang ada di luar mengayuh sepeda mereka
ke arah Teratak Buluh.
“Jahanam.
Belanda hitam yang benar-benar jahanam” Bilal yang kena tampar itu menyumpah-nyumpah
sambil menghapus darah dari hidungnya.
“Nanti suatu
saat, dia akan menerima balasan. Akan kuhancurkan kepala mereka dengan
bedilku…” Suman yang mulutnya berdarah juga menyumpah.
“Kenapa kalian
sampai kena tampar…?” si Bungsu bertanya sambil mengayuh sepedanya.
“Kami tak
menyanggupi untuk mencarikan mereka perempuan” Suman menjawab.
“Belanda
jahanam. Awaslah kau….!” Sambung Suman.
Dan mereka
terus mengayuh sepeda melewati jalan berpasir dan berkerikil kecil dari Simpang
Tiga itu menuju perhentian Marpuyan. Di perhentian Marpuyan yang merupakan
sebuah kampung kecil dimana jalan
bersimpang ke Buluh Cina, mereka minum di sebuah kedai kecil.
“Masih jauh
dari sini Buluh Cina itu?” si Bungsu
bertanya begitu selesai meminum air kelapanya yang terasa sejuk dan
nikmat.
“Dari sini
delapan belas kilometer. Kita akan sampai di desa Kutik. Dari sana menurun,
kalau air Batang Kampar banjir, dari
sana kita bisa naik sampan ke Buluh Cina. Kalau tidak, kita bisa naik sepeda
atau jalan kaki….”
“Apakah patroli
Belanda tak sampai kemari?”
“Terkadang juga
sampai. Meski ini daerah Republik, tapi mereka selalu datang kemari memburu
pejuang…”
“Tiap hari
mereka lewat?”
“Tidak
menentu…” pemilik kedai yang sejak tadi hanya mendengarkan, kini ikut bicara.
“Sudah tiga
hari ini mereka selalu datang. Mereka mensinyalir di dekat Bancah Litubat di sana,
di sebuah rumah, bersembunyi dua orang pejuang yang telah membakar pos
penjagaan mereka di Simpang Tiga dua minggu yang lalu…”
“Ada yang
mereka tangkap dari kampung ini?”
“Lelaki tidak”
“Apa maksud
bapak dengan ucapan lelaki tidak?”
“Mereka memang
tak menangkap seorang lelakipun. Tetapi sebagai gantinya, mereka menangkap
seorang gadis dan ibunya. Alasannya sederhana saja. Mereka ingin meminta
keterangan. Dan keterangan itu menurut mereka diketahui oleh kedua anak beranak
itu. Sebab mereka tinggal dekat rumah yang dicurigai itu..”
“Apa latar
belakang yang sebenarnya?” si Bungsu bertanya meskipun dia sudah bisa menduga.
“Latar
belakangnya hanya satu. Gadis itu cantik. Itu alasan penangkapannya. Dan ketika
dia ditangkap bersama ibunya, tak seorang pun yang bisa membela. Dia tak punya
ayah. Sementara kaum lelaki di kampung ini tak berdaya. Daripada ditangkap dan
disiksa Nevis lebih baik diam saja…”
“Bila mereka
menangkapnya?”
“Sudah dua hari”
“Tak ada yang
mengetahui dimana mereka ditahan?”
Pertanyaan si
Bungsu belum terjawab, ketika dari kejauhan terdengar bunyi mobil. Semua mereka
menoleh. Dari arah Simpang Tiga kelihatan debu mengepul. Dan dari derunya
diketahui bahwa kendaraan yang mendekat itu adalah sebuah Jeep.
Mata si Bungsu
yang amat tajam mengetahui diatas Jeep itu ada enam manusia. Dua perempuan,
empat tentara. Rasa bencinya pada penjajah yang melaknati kaum wanita Indonesia
itu tiba-tiba berkobar didadanya.
Sebenarnya
seperti yang pernah dikatakan di Bukittinggi dahulu, yaitu ketika menolak
penghargaan dari para pejuang itu, dia tak punya sangkut paut dengan perjuangan
kemerdekaan.
Kinipun
sebenarnya dia tak berniat untuk jadi pejuang. Atau tak pula bertindak sok
pejuang. Yang muncul dalam hatinya adalah kebencian pada orang yang menjajah
negerinya. Yang menyakiti kaum lelaki, kanak-kanak. Dan menodai kaum wanitanya.
Rasa benci
inilah yang membakar dadanya. Bukan niat untuk jadi pahlawan atau pejuang. Dan
saat ini, setelah menyaksikan betapa tadi kedua temannya ditampari hingga mulut
dan hidung mereka berdarah, kemudian mendengar cerita pemilik kedai ini tentang
anak gadis yang tertangkap tanpa sebab itu, kebenciannya jadi menyala.
Dan segara saja
sebuah rencana muncul di kepalanya. Dan dia berniat melaksanakan rencana itu,
empat orang. Hmmm, jumlah mereka hanya empat orang, pikirnya.
Jeep itu makin
mendekat. Dan seperti sudah diatur ketika tiba di dekat kedai dimana mereka
minum air kelapa muda itu, jeep tersebut berhenti.
Si Bungsu dan
kedua temannya segera mengenali dua diantara tentara KNIL itu adalah yang
memeriksa mereka tadi. Dua orang lagi adalah serdadu KL. Belanda Asli. Jeep ini
nampaknya memang jeep patroli.
Sebab di bahagian
belakangnya, tegak sebuah mitraliyur ukuran 12,7 dengan moncong menghadap ke
depan. Kedua serdadu KNIL itu melompat turun. Dengan sikap seperti ada
peperangan dia mengacungkan bedilnya ke arah pondok. Dengan matanya yang merah
kedua mereka menatap isi pondok. Kemudian menyapu keadaan di sekitarnya dengan
tatapan menyelidik.
Dua orang
tentara Belanda asli yang tadi masih duduk di bahagian depan lalu menyusul
turun. Salah seorang tentara KNIL memerintahkan kedua perempuan yang ada di atas
jeep itu untuk turun.
Dengan kepala
menunduk karena malu, yang gadis lalu turun. Si Bungsu melihat betapa mata
gadis itu basah. Demikian pula ibunya yang tua. Dan setiap lelaki yang ada di
pondok itu dapat menduga bahwa gadis itu telah dinodai Belanda.
“Turun di sini,
dan awas kalau lain kali tidak memberikan keterangan yang benar…..” KNIL itu
berkata dengan suara yang dibesar-besarkan.
Semua yang ada
di pondok hanya menatap dengan diam. Tak seorang pun yang bicara.
Tentara Belanda
yang tadi memegang stir, dan berpangkat Sergeant melangkah mendekati kedai.
Masuk dan berdiri dekat si Bungsu.
“Apakah kalian
ada mendengar para ekstremis lewat di sini?” dia bertanya dengan suara yang
dibuat agak ramah.
“Ada….!” Salah
seorang diantara yang hadir dalam kedai itu menjawab pasti.
Isi kedai itu
hanya tujuh orang. Tiga diantaranya adalah si Bungsu dan teman-temannya. Yang
satu pemilik kedai. Dua lagi adalah penduduk. Dan kedua penduduk ini memang
benar-benar pejuang bawah tanah. Hanya saja tak seorangpun mengetahui bahwa
mereka pejuang. Termasuk pemilik kedai itu!
Kini terdengar
bahwa ada orang yang menjawab bahwa ada ekstremis atau pemberontak Indonesia
lewat dekat situ, kedua pejuang ini jadi tegang. Semua mereka menatap pada
orang yang menjawab pertanyaan serdadu KL itu.
Dan orang yang
menjawab itu adalah si Bungsu!
Semua mereka
jadi heran, sebab anak muda ini tak pernah mereka kenal sebelumnya. Dan kedua
teman si Bungsu, anggota-anggota fisabilillah itu juga merasa kaget mendengar
jawaban si Bungsu.
“Bila mereka lewat,
dan apakah anda kenal di mana markasnya?” tentara Belanda itu mendesak.
“Ya saya kenal
semuanya. Mereka ini justru tengah menyusun suatu rencana penyerangan ke
Simpang Tiga. Mereka..” si Bungsu berhenti bicara.
Matanya
memandang kepada para lelaki yang ada dalam lepau itu. Yang juga tengah
menatapnya dengan mata tak berkedip.
Si Bungsu
tegak.
“Ikut saya,
saya akan sampaikan di mana mereka…” katanya sambil melangkah keluar.
Sergeant itu
segera jadi maklum, bahwa lelaki ini pastilah tak mau laporannya didengar oleh
orang dalam kedai tersebut. Karenanya dia lalu menurut.
Si Bungsu
berhenti, kemudian menoleh pada kedua temannya tadi. Memberi isyarat dengan
mata, lalu berkata:
“Hei, mari kita
tunjukkan saja tempat pejuang-pejuang itu!”
Kedua temannya
anggota fisabilillah itu jadi maklum. Dan kedua mereka memberi isyarat pula
pada dua orang pejuang dari Marpuyan itu dengan isyarat mata.
Sergeant itu
menuruti langkah si Bungsu dari belakang. Namun gerakan si Bungsu berikutnya
tak terikutkan oleh tentara Belanda itu. Sambil tetap berjalan perlahan, si
Bungsu menghunus samurainya. Dan begitu ia berbalik, samurainya membabat perut
tentara KL itu. Tentara itu mengeluh. Perutnya belah dua.
Keluhannya
terdengar oleh ketiga temannya yang lain. Mereka menoleh, dan melihat temannya
rubuh dengan perut berlumuran darah. Ketiganya mengangkat bedil. Namun saat itu
pula ketiga pejuang yang lain menghambur. Ketiga bedil tentara Belanda itu tak
dapat meletus. Sebab tiba-tiba saja tiga
pisau telah menancap dipunggung mereka,.
Bedil mereka
terlepas dan berusaha untuk memegang punggung yang tertikam dan sakitnya bukan
main itu.
Namun beberapa
tikaman lagi, ketiga Belanda itu matilah sudah. Kejadian itu teramat cepatnya.
Sejak jeep berloreng-loreng itu berhenti, sampai dengan matinya keempat Belanda
itu, tak sampai dua menit! Bahkan kedua perempuan yang mereka turunkan itu,
masih belum meninggalkan jeep tersebut. Dan kini kini mereka tertegun. Belanda
itu sudah mati. Tapi apa yang akan diperbuat selanjutnya?
Mereka jadi
pucat sendiri. Pemilik kedai wajahnya pucat bukan main. Mereka memang benci
pada Belanda. Tapi ketakutan setelah pembunuhan ini juga besar. Mereka takut
pada pembalasan Belanda!
“Naikkan mereka
ke atas jeep……” si Bungsu berkata sambil memandang ke arah Simpang Tiga.
Dari jauh
kelihatan debu mengepul. Yang datang itu pastilah sebuah mobil. Hanya tak
diketahui apakah kendaraan itu kendaraan militer atau kendaraan sipil.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 059
No comments:
Post a Comment