Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 060



Dengan pikiran demikian, si Bungsu masuk ke kamar penjagaan itu tanpa membawa apa-apa. Samurainya tetap dia tinggalkan dengan mengikatkannya ke batang sepeda yang dia bawa. Sepeda itu dia sandarkan di pohon kelapa di depan rumah penjagaan itu.

Dengan tenang dia masuk ke dalam.



“Buka pakaian….” Seorang sersan KNIL memerintah. Si Bungsu agak tertegun.



Orang yang memerintahkannya ini kulitnya sama dengan dirinya. Meski kulit KNIL itu lebih hitam, tapi dia yakin bahwa tentara Belanda itu pastilah orang Indonesia juga.

Perlahan dia membuka bajunya. Sersan itu memberi isyarat pada prajurit yang satu lagi. Prajurit itu memeriksa isi kantong baju si Bungsu. Mengeluarkan sebuah kartu keterangan diri. Kemudian sehelai saputangan.



“Mau kemana?” sergeant itu bertanya dalam aksen Melayu tinggi yang fasih.

“Ke Buluh Cina tuan…”

“Mengapa ke sana..?”

“Pulang ke kampung tuan…” dia menjawab mengikuti petunjuk Kapten Nurdin pagi tadi.

“Apa kerjamu di kampung?”

“Memotong getah tuan…”



Sergeant KNIL itu memegang tangan si Bungsu. Si Bungsu tetap tenang. KNIL itu melihat betapa pada pangkal jari-jari tangan anak muda itu kelihatan benjolan yang mengeras. Dan dia jadi yakin bahwa anak muda ini memang seorang penakik getah. Sebab benjolan yang mengeras di telapak tangannya itu membuktikan bahwa dia memang selalu memegang benda keras.

Tanda demikian itu tak terdapat pada pedagang ikan yang tiap pagi mengayuh sepeda atau pada pejuang yang hanya memegang bedil.



“Di mana tinggal di Buluh Cina….” KNIL itu menatap wajah si Bungsu. Seperti mencari sesuatu di wajahnya itu. Si Bungsu hanya diam. Dan akhirnya sersan KNIL itu menyuruhnya kembali berpakaian. Dan menyuruhnya keluar.



Si Bungsu mengambil sepedanya. Berdiri dengan memegang sepeda itu di jalan raya. Menanti kedua temannya yang masuk ke dalam. Dia menarik nafas-nafas lega. Telapak tangannya ada benjolan mengeras adalah karena tiap hari dia melatih dirinya dengan samurai. Tapi siapa nyana, bekas tangannya itu justru bisa menyelamatkan dirinya saat ini.

Tiba-tiba dia kaget mendengar bentakan dari dalam kamar pemeriksaan. Dan tak lama kemudian disusul dengan suara tamparan. Dia mulai mempelajari situasi. Kalau terjadi apa-apa, andainya kedua temannya itu diketahui bahwa mereka adalah pejuang maka dia akan susah untuk melarikan diri.

Sebab sekitarnya ada kira-kira dua belas tentara Belanda yang menjaga dengan bedil terhunus. Mereka memang seperti tak acuh saja. Tapi kalau kedua temannya itu tertangkap, maka dia tentu akan ditangkap pula. Dan kalau dia berusaha melarikan diri, maka tentara Belanda yang diluar ini pasti siap untuk merajamnya dengan semburan peluru.

Dia menanti dengan tegang.



Tak lama kemudian, kelihatan kedua temannya itu keluar dengan mulut dan hidung berdarah. Mereka mengambil sepedanya. Lalu mengangguk pada si Bungsu. Dan ketiga orang ini, di bawah tertawaan tentara Belanda yang ada di luar mengayuh sepeda mereka ke arah Teratak Buluh.



“Jahanam. Belanda hitam yang benar-benar jahanam” Bilal yang kena tampar itu menyumpah-nyumpah sambil menghapus darah dari hidungnya.

“Nanti suatu saat, dia akan menerima balasan. Akan kuhancurkan kepala mereka dengan bedilku…” Suman yang mulutnya berdarah juga menyumpah.

“Kenapa kalian sampai kena tampar…?” si Bungsu bertanya sambil mengayuh sepedanya.

“Kami tak menyanggupi untuk mencarikan mereka perempuan” Suman menjawab.

“Belanda jahanam. Awaslah kau….!” Sambung Suman.



Dan mereka terus mengayuh sepeda melewati jalan berpasir dan berkerikil kecil dari Simpang Tiga itu menuju perhentian Marpuyan. Di perhentian Marpuyan yang merupakan sebuah kampung kecil dimana jalan  bersimpang ke Buluh Cina, mereka minum di sebuah kedai kecil.

“Masih jauh dari sini Buluh Cina itu?” si Bungsu  bertanya begitu selesai meminum air kelapanya yang terasa sejuk dan nikmat.

“Dari sini delapan belas kilometer. Kita akan sampai di desa Kutik. Dari sana menurun, kalau air  Batang Kampar banjir, dari sana kita bisa naik sampan ke Buluh Cina. Kalau tidak, kita bisa naik sepeda atau jalan kaki….”

“Apakah patroli Belanda tak sampai kemari?”

“Terkadang juga sampai. Meski ini daerah Republik, tapi mereka selalu datang kemari memburu pejuang…”

“Tiap hari mereka lewat?”

“Tidak menentu…” pemilik kedai yang sejak tadi hanya mendengarkan, kini ikut bicara.

“Sudah tiga hari ini mereka selalu datang. Mereka mensinyalir di dekat Bancah Litubat di sana, di sebuah rumah, bersembunyi dua orang pejuang yang telah membakar pos penjagaan mereka di Simpang Tiga dua minggu yang lalu…”

“Ada yang mereka tangkap dari kampung ini?”

“Lelaki tidak”

“Apa maksud bapak dengan ucapan lelaki tidak?”

“Mereka memang tak menangkap seorang lelakipun. Tetapi sebagai gantinya, mereka menangkap seorang gadis dan ibunya. Alasannya sederhana saja. Mereka ingin meminta keterangan. Dan keterangan itu menurut mereka diketahui oleh kedua anak beranak itu. Sebab mereka tinggal dekat rumah yang dicurigai itu..”

“Apa latar belakang yang sebenarnya?” si Bungsu bertanya meskipun dia sudah bisa menduga.

“Latar belakangnya hanya satu. Gadis itu cantik. Itu alasan penangkapannya. Dan ketika dia ditangkap bersama ibunya, tak seorang pun yang bisa membela. Dia tak punya ayah. Sementara kaum lelaki di kampung ini tak berdaya. Daripada ditangkap dan disiksa Nevis lebih baik diam saja…”

“Bila mereka menangkapnya?”

“Sudah dua hari”

“Tak ada yang mengetahui dimana mereka ditahan?”



Pertanyaan si Bungsu belum terjawab, ketika dari kejauhan terdengar bunyi mobil. Semua mereka menoleh. Dari arah Simpang Tiga kelihatan debu mengepul. Dan dari derunya diketahui bahwa kendaraan yang mendekat itu adalah sebuah Jeep.

Mata si Bungsu yang amat tajam mengetahui diatas Jeep itu ada enam manusia. Dua perempuan, empat tentara. Rasa bencinya pada penjajah yang melaknati kaum wanita Indonesia itu tiba-tiba berkobar didadanya.

Sebenarnya seperti yang pernah dikatakan di Bukittinggi dahulu, yaitu ketika menolak penghargaan dari para pejuang itu, dia tak punya sangkut paut dengan perjuangan kemerdekaan.

Kinipun sebenarnya dia tak berniat untuk jadi pejuang. Atau tak pula bertindak sok pejuang. Yang muncul dalam hatinya adalah kebencian pada orang yang menjajah negerinya. Yang menyakiti kaum lelaki, kanak-kanak. Dan menodai kaum wanitanya.



Rasa benci inilah yang membakar dadanya. Bukan niat untuk jadi pahlawan atau pejuang. Dan saat ini, setelah menyaksikan betapa tadi kedua temannya ditampari hingga mulut dan hidung mereka berdarah, kemudian mendengar cerita pemilik kedai ini tentang anak gadis yang tertangkap tanpa sebab itu, kebenciannya jadi menyala.

Dan segara saja sebuah rencana muncul di kepalanya. Dan dia berniat melaksanakan rencana itu, empat orang. Hmmm, jumlah mereka hanya empat orang, pikirnya.



Jeep itu makin mendekat. Dan seperti sudah diatur ketika tiba di dekat kedai dimana mereka minum air kelapa muda itu, jeep tersebut berhenti.

Si Bungsu dan kedua temannya segera mengenali dua diantara tentara KNIL itu adalah yang memeriksa mereka tadi. Dua orang lagi adalah serdadu KL. Belanda Asli. Jeep ini nampaknya memang jeep patroli.

Sebab di bahagian belakangnya, tegak sebuah mitraliyur ukuran 12,7 dengan moncong menghadap ke depan. Kedua serdadu KNIL itu melompat turun. Dengan sikap seperti ada peperangan dia mengacungkan bedilnya ke arah pondok. Dengan matanya yang merah kedua mereka menatap isi pondok. Kemudian menyapu keadaan di sekitarnya dengan tatapan menyelidik.

Dua orang tentara Belanda asli yang tadi masih duduk di bahagian depan lalu menyusul turun. Salah seorang tentara KNIL memerintahkan kedua perempuan yang ada di atas jeep itu untuk turun.

Dengan kepala menunduk karena malu, yang gadis lalu turun. Si Bungsu melihat betapa mata gadis itu basah. Demikian pula ibunya yang tua. Dan setiap lelaki yang ada di pondok itu dapat menduga bahwa gadis itu telah dinodai Belanda.



“Turun di sini, dan awas kalau lain kali tidak memberikan keterangan yang benar…..” KNIL itu berkata dengan suara yang dibesar-besarkan.



Semua yang ada di pondok hanya menatap dengan diam. Tak seorang pun yang bicara.

Tentara Belanda yang tadi memegang stir, dan berpangkat Sergeant melangkah mendekati kedai. Masuk dan berdiri dekat si Bungsu.



“Apakah kalian ada mendengar para ekstremis lewat di sini?” dia bertanya dengan suara yang dibuat agak ramah.

“Ada….!” Salah seorang diantara yang hadir dalam kedai itu menjawab pasti.



Isi kedai itu hanya tujuh orang. Tiga diantaranya adalah si Bungsu dan teman-temannya. Yang satu pemilik kedai. Dua lagi adalah penduduk. Dan kedua penduduk ini memang benar-benar pejuang bawah tanah. Hanya saja tak seorangpun mengetahui bahwa mereka pejuang. Termasuk pemilik kedai itu!

Kini terdengar bahwa ada orang yang menjawab bahwa ada ekstremis atau pemberontak Indonesia lewat dekat situ, kedua pejuang ini jadi tegang. Semua mereka menatap pada orang yang menjawab pertanyaan serdadu KL itu.

Dan orang yang menjawab itu adalah si Bungsu!

Semua mereka jadi heran, sebab anak muda ini tak pernah mereka kenal sebelumnya. Dan kedua teman si Bungsu, anggota-anggota fisabilillah itu juga merasa kaget mendengar jawaban si Bungsu.



“Bila mereka lewat, dan apakah anda kenal di mana markasnya?” tentara Belanda itu mendesak.

“Ya saya kenal semuanya. Mereka ini justru tengah menyusun suatu rencana penyerangan ke Simpang Tiga. Mereka..” si Bungsu berhenti bicara.



Matanya memandang kepada para lelaki yang ada dalam lepau itu. Yang juga tengah menatapnya dengan mata tak berkedip.

Si Bungsu tegak.



“Ikut saya, saya akan sampaikan di mana mereka…” katanya sambil melangkah keluar.



Sergeant itu segera jadi maklum, bahwa lelaki ini pastilah tak mau laporannya didengar oleh orang dalam kedai tersebut. Karenanya dia lalu menurut.

Si Bungsu berhenti, kemudian menoleh pada kedua temannya tadi. Memberi isyarat dengan mata, lalu berkata:



“Hei, mari kita tunjukkan saja tempat pejuang-pejuang itu!”



Kedua temannya anggota fisabilillah itu jadi maklum. Dan kedua mereka memberi isyarat pula pada dua orang pejuang dari Marpuyan itu dengan isyarat mata.

Sergeant itu menuruti langkah si Bungsu dari belakang. Namun gerakan si Bungsu berikutnya tak terikutkan oleh tentara Belanda itu. Sambil tetap berjalan perlahan, si Bungsu menghunus samurainya. Dan begitu ia berbalik, samurainya membabat perut tentara KL itu. Tentara itu mengeluh. Perutnya belah dua.

Keluhannya terdengar oleh ketiga temannya yang lain. Mereka menoleh, dan melihat temannya rubuh dengan perut berlumuran darah. Ketiganya mengangkat bedil. Namun saat itu pula ketiga pejuang yang lain menghambur. Ketiga bedil tentara Belanda itu tak dapat meletus. Sebab tiba-tiba saja  tiga pisau telah menancap dipunggung mereka,.

Bedil mereka terlepas dan berusaha untuk memegang punggung yang tertikam dan sakitnya bukan main itu.



Namun beberapa tikaman lagi, ketiga Belanda itu matilah sudah. Kejadian itu teramat cepatnya. Sejak jeep berloreng-loreng itu berhenti, sampai dengan matinya keempat Belanda itu, tak sampai dua menit! Bahkan kedua perempuan yang mereka turunkan itu, masih belum meninggalkan jeep tersebut. Dan kini kini mereka tertegun. Belanda itu sudah mati. Tapi apa yang akan diperbuat selanjutnya?

Mereka jadi pucat sendiri. Pemilik kedai wajahnya pucat bukan main. Mereka memang benci pada Belanda. Tapi ketakutan setelah pembunuhan ini juga besar. Mereka takut pada pembalasan Belanda!



“Naikkan mereka ke atas jeep……” si Bungsu berkata sambil memandang ke arah Simpang Tiga.



Dari jauh kelihatan debu mengepul. Yang datang itu pastilah sebuah mobil. Hanya tak diketahui apakah kendaraan itu kendaraan militer atau kendaraan sipil.



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 059

No comments:

Post a Comment