Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 059

Dan malamnya mereka segera mendekati markas di Batu Satu, yaitu markas yang diketahui tempat menawan Tuang. Malangnya tak ada situasi yang memudahkan mereka untuk menyerang. Mereka hanya berkekuatan tujuh orang. Personil memang dibatasi demi gerak cepat. Sementara Belanda yang menjaga dimarkas itu jumlahnya sepuluh orang.

Bulan kelihatan terang. Inilah yang menyulitkan mereka.

Seorang tentara kelihatan memetik gitar sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Di depan markas itu terdapat jalan raya menuju Bangkinang. Kemudian sebuah parit. Dan di seberangnya hutan lalang setinggi tegak.

Di sebelah kiri markas ada kebun ubi. Di sebelah kanannya rawa-rawa dan sungai kecil. Kamar tahanan berada di gedung dimana piket sedang duduk. Bukan kamar tahanan khusus. Hanya sebuah kantor yang dipakai sebagai tahanan sementara.



Si Bungsu bersama kapten Nurdin yang memimpin peyerangan itu berada di kebun ubi yang disebelah kanan markas.



“Psst. Lihat yang tengah menunjuk keluar itu…” kapten Nurdin berbisik pada si Bungsu.



Anak muda itu mempertajam penglihatannya. Dia melihat seorang tentara KL sedang menunjuk ke jalan raya. Seorang Belanda bertubuh tinggi perpakaian loreng.



“Kau lihat?” Kapten Nurdin berbisik lagi.

“Ya, ada apa?”

“Tak kau kenali dia?” si Bungsu mencoba memperhatikan tentara Belanda yang jarak antara kebun ubi dengan markas itu ada kira-kira lima puluh meter.



Dia coba mengingat-ingat. Namun tak bisa dia ketahui siapa tentara itu.



“Dia sahabatmu….” Kapten Nurdin berbisik lagi.

“Sahabatku?”

“Ya. Kalian pernah satu penginapan….” Si Bungsu mengerutkan kening. Tiba-tiba dia mengucap istigfhar.

“Ya Tuhan, bukankah dia lelaki Amerika yang isterinya kalian bunuh itu?” si Bungsu bertanya dengan kaget.

“Persis. Ternyata dia bukan ahli sejarah seperti yang diduga orang bukan? Ternyata dia seorang Leutenant Belanda!”

“Benar-benar jahanam…” desis si Bungsu.

“Lalu kemana kamera yang selalu dia pergunakan untuk memotret-motret orang-orang bersalung itu?”

“Itu hanya pura-pura saja. Kamera itu sebenarnya dia pergunakan untuk memotert pertahanan dan kubu-kubu kita…” Kapten Nurdin terhenti bicara. Sebab dari arah jalan sana kedengaran orang berjualan kacang goreng mendekati markas.

“Itu kopral Aman…” bisik Kapten itu. Kopral Aman itu dia suruh menyamar sebagai tukang jual kacang goreng yang diletakkan dalam goni dan dijunjung di kepala.

“Bagaimana kalau mereka tak membeli kacangnya?”

“Mata-mata kita sudah menyelidiki. Tentara Belanda di markas ini sangat suka akan kacang goreng. Setiap malam pasti dia membeli kacang goreng yang lewat. Dan siang tadi penjual kacang goreng yang asli telah disilakan sakit malam ini. Dan kopral itu penggantinya. Hai, dengar, mereka sudah memanggilnya masuk…”



Penjual kacang itu memang tengah memasuki halaman markas.



“Di dalam karung kacangnya ada granat…’ Kapten itu berbisik.



Si Bungsu memperhatikan situasi markas itu. Di depannya ada tiga buah jeep. Suara gitar dan nyanyian tentara Belanda itu masih terus mengalun. Meski bahasanya tak dimengerti namun suaranya cukup merdu.



“Kenapa lambat ledakannya?” Kapten Nurdin bertanya dengan tegang.



Ya, seharusnya begitu Kopral Aman masuk ke markas itu, kopral yang berada di dekat rawa di kiri markas harus meledakkan granat ke belakang markas. Huru-hara dan kekagetan yang ditimbulkan itulah yang akan mereka pergunakan untuk menyerbu masuk.

Beberapa detik berlalu. Taka ada ledakan. Kopral Aman sudah menerima uang pembelian kacangnya. Dan sekarang dia harus pergi dari halaman markas itu. Tak mungkin dia berhenti disana terus menerus.



“Jahanam si Imran! Kenapa granatnya tak meledak? Ada berapa granat yang dia bawa?” dia bertanya pada sersan di sampingnya.

“Ada tiga pak…” sersan itu menjawab dengan kecut.

“Gagal! Jahanam! Gagal kita!” Kapten itu mendesis melihat Kopral Aman sudah mengangkat goni kacangnya gorengnya ke kepala.

“Kacang goreeenggg” suaranya terdengar sayu sambil melangkah menjauhi serdadu-serdadu itu.



Ledakkan yang dinanti untuk menimbulkan kekagetan dan mengalihkan perhatian itu tak juga ada. Tiba-tiba penjual kacang itu berhenti tiga depa dari para serdadu yang membeli kacang tadi. Dia meletakkan goninya di tanah.

Kemudian berjalan kembali mendekati para serdadu itu.



“Maaf, tekong kacang goreng saya tertinggal…” katanya agak keras.



Dua orang serdadu tertawa sambil memberikan tekong kaleng susu kepunyaan tukang kacang itu. Kapten Nurdin dan si Bungsu menyadari bahwa adegan ini terpaksa dilakukan si Kopral untuk menambah waktu lagi bagi Kopral Imran yang granatnya tetap saja tak meletus.

Kopral Aman, membungkuk lagi, memasukkan tekong kacangnya ke goni. Granat Imran tetap tak terdengar. Sementara teman-temannya di kebun ubi, di padang lalang yang di depan markas di seberang jalan menanti dengan tegang.

Dan saat itulah tiba-tiba Kopral Aman yang membungkuk memasukkan kaleng tekong kacangnya berdiri lagi dan berbalik.



“Merdekaaa!” dia berteriak dan melemparkan sesuatu dari tangannya ke arah serdadu Belanda yang tengah makan-makan kacang itu!



Pekikan itu mula-mula tentu saja membuat bingung serdadu Belanda itu.

Tapi hanya sebentar, granat yang dilemparkan Kopral itu meledak persis ditengah mereka. Terdengar pekikan dan ledakan yang dahsyat.



“Serbuuuuu!” Kapten Nurdin berteriak sambil melompat dengan pistol di tangan.



Sementara itu korban pertama dari ledakan granat yang dilemparkan Kopral Aman adalah prajurit Belanda yang main gitar itu. Gitar dan sebelah tangannya terlambung ke udara. Dadanya hancur. Dia mati.

Orang kedua yang jadi korban adalah seorang prajurit yang lagi menunduk makan kacang. Kepalanya hancur. Tapi yang lain hanya mengalami luka berat.

Letnan orang Kanada yang menyamar menjadi ahli purbakala itu cepat meraih pistolnya. Meski pahanya luka, tapi tembakannya yang pertama tepat menghantam dada Kopral Aman. Kopral ini setelah melemparkan granat menerjang maju dengan pisau di tangan. Dan dia terpelanting dan terlentang di tanah begitu dihantam peluru!

Saat itulah ke enam pasukan khusus Kapten Nurdin membuat pertahanan mereka kucar kacir. Dalam waktu yang relatif singkat, tembak-menembak jarak dekat ini terjadi.

Si Bungsu melompat masuk. Dia melihat tubuh yang bergelimpangan. Kapten Nurdin mendobrak masuk terus. Tembakan pistolnya menghancurkan kunci pintu dimana Tuang tertahan. Dia membawa Tuang keluar. Orang tua itu kelihatan parah sekali dalam tahanan yang hanya 2 x 24 jam itu.



“Jeep ini siap!” suara Sersan yang menyiapkan Jeep itu terdengar.



Mereka berlompatan ke sana. Si Bungsu tak sempat mempergunakan samurainya. Apa yang harus diperbuat? Pertempuran selesai sebelum dia sempat mecabut samurainya.

Namun dia berhenti ketika mendengar keluhan kecil. Dia menoleh dan melihat tubuh Kopral Aman mengeliat. Cepat dia pangku tubuh itu. Dan saat itu tembakan dari Jeep terdengar. Si Bungsu kaget. Menoleh kearah penjagaan. Dan dia lihat Letnan suami Emylia itu tertelungkup. Pistolnya jatuh.

Kapten Nurdin telah menembaknya sesaat sebelum Letnan itu menembakkan pistolnya pada si Bungsu yang memangku Kopral Aman. Dia bergegas. Dan mereka melompat ke atas Jeep. Jumlah mereka lengkap tujuh orang. Dan kini delapan dengan Tuang. Jeep itu batuk-batuk sebentar.

Dia starter lagi dengan mempertemukan kawatnya. Dan Hidup! Jeep itu seperti melompat. Keluar dari halaman markas. Dari jauh terdengar suara deru mobil datang.



“Ke kanan!” Kapten Nurdin berteriak.



Mobil itu berbelok ke kanan. Lampu truk militer kelihatan datang dari arah kiri. Jeep mereka rasanya ada yang tak beres. Berjalan lambat.

Sersan Kadir melompat turun.



“Kadir! Naik cepat!” Kapten Nurdin berteriak.

“Saya akan menghalangi mereka pak. Teruslah bapak!” Dia berkata sambil berlari lagi ke halaman markas. Tak ada kesempatan bagi Kapten Nurdin untuk berlalai-lalai. Dia menyuruh Jeep itu terus.



Sementara Sersan Kadir segera menaiki Jeep yang telah dikempeskan itu. Dia merenggutkan kabel kontak. Melekatkannya diluar dengan ketenangan yang mengagumkan. Lalu menghidupkan mesin dan meletakkan Jeep itu persis di tengah jalan yang akan dilewati truk Belanda yang  baru datang itu. Tapi ketika akan lurus Belanda menembaknya. Kadir mati di Jeep itu. Jeep mereka melaju menuju ke arah Sail. Yaitu suatu daerah di luar kota yang masih berada di bawah kekuasaan tentara Belanda.

Pak Tuang pemilik penginapan itu dirawat di Kampung Sail tersebut. Tubuhnya cukup parah dipermak Belanda.



“Tolong kabarkan pada keluarga saya di kampung, bahwa saya masih hidup….” Pemilik penginapan itu berkata esoknya. Sebab berita dia tertangkap oleh Belanda sudah sampai ke kampungnya. Yaitu ke Buluh Cina melalui penjual-penjual ikan yang datang ke Pekanbaru setiap pagi dengan sepeda.

“Ya. Saya akan menugaskan seorang untuk menyampaikan hal itu ke kampung bapak..” Kapten Nurdin berkata perlahan.

“Hati-hati. Di Simpang Tiga Belanda memperketat penjagaannya. Mereka tahu bahwa pejuang-pejuang kini banyak yang menyelusup ke kota. Dan pejuang-pejuang itu umumnya datang dari arah Taratak Buluh….” Tuang memberi penjelasan yang berhasil dia monitor dari markas Belanda ketika jadi tahanan itu.

“Terimakasih….” Jawab Kapten Nurdin.



Dan sore itu, tiga orang pejuang yang berasal dari barisan Fisabilillah berangkat ke Buluh Cina dengan sepeda. Sebenarnya hanya ada dua orang anggota Fisabilillah. Yang satu lagi adalah si Bungsu.

Dia ikut ke Buluh Cina karena kapal yang dia nanti-nantikan untuk berangkat ke Singapura atau Jepang itu tak kunjung datang. Beberapa orang malah mengatakan, untuk ke Singapura mungkin lebih baik lewat sungai Kampar. Dari sana banyak penyelundup-penyelundup membawa getah ke Singapura.

Mereka memakai tongkang atau sampan-sampan besar menghiliri sungai Kampar. Kemudian lewat di pulau-pulau yang ada di Laut Cina Selatan, terus menyelundup ke Singapura atau Malaya. Si Bungsu sebenarnya kurang tertarik untuk ikut dengan para penyelundup itu. Sebab, tujuan utamanya bukan ke Singapura. Melainkan Jepang.



Namun karena di Pekanbaru tak ada pekerjaan yang akan dia lakukan, dia memutuskan untuk ikut ke Buluh Cina. Apa lagi kampung itu adalah kampungnya Kapten Nurdin. Hanya saja Kapten itu tak ikut bersama-sama mereka.



“Pergilah, di sana ada sungai atau danau dimana engkau dapat menenangkan dirimu. Memancing atau berenang…..” Kapten itu membujuk si Bungsu untuk ikut serta bersama kedua anak buahnya.



Dan si Bungsu memang memilih untuk ikut serta. Mereka berangkat pukul dua. Kalau tak ada aral melintang, mereka akan sampai di kampung itu sekitar jam enam. Sepanjang jalan dalam kota, kelihatan pasukan Belanda berjaga dengan ketat.

Mereka mengayuh sepeda keluar kota dengan tenang. Di Kampung Simpang Tiga, dimana terletak sebuah lapangan udara kecil, penjagaan Belanda nampak makin banyak.

Belanda nampaknya mempergunakan kampung kecil ini sebagai basis perbatasan antara kota yang mereka kuasai dengan kantong-kantong perjuangan yang dikuasai tentara Indonesia.

Mereka disuruh berhenti di persimpangan menuju ke Taratak Buluh. Satu-satu disuruh masuk ke sebuah kamar kecil dimana dua orang tentara KNIL mengadakan pemeriksaan dengan ketat.



Mula-mula yang masuk adalah si Bungsu. Dia berniat membawa samurainya. Namun Korip temannya menggeleng perlahan. Si Bungsu menangkap isarat itu. Dia segera ingat, kalau Belanda mengetahui bahwa dia membawa samurai, maka itu akan membahayakannya. Bukankah Belanda sudah mengetahui, bahwa teman-teman mereka dibunuh oleh seorang anak muda yang membawa samurai kemana-mana?


Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 058

No comments:

Post a Comment