Dan malamnya
mereka segera mendekati markas di Batu Satu, yaitu markas yang diketahui tempat
menawan Tuang. Malangnya tak ada situasi yang memudahkan mereka untuk
menyerang. Mereka hanya berkekuatan tujuh orang. Personil memang dibatasi demi
gerak cepat. Sementara Belanda yang menjaga dimarkas itu jumlahnya sepuluh
orang.
Bulan kelihatan
terang. Inilah yang menyulitkan mereka.
Seorang tentara
kelihatan memetik gitar sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Di depan markas itu
terdapat jalan raya menuju Bangkinang. Kemudian sebuah parit. Dan di seberangnya
hutan lalang setinggi tegak.
Di sebelah kiri
markas ada kebun ubi. Di sebelah kanannya rawa-rawa dan sungai kecil. Kamar
tahanan berada di gedung dimana piket sedang duduk. Bukan kamar tahanan khusus.
Hanya sebuah kantor yang dipakai sebagai tahanan sementara.
Si Bungsu
bersama kapten Nurdin yang memimpin peyerangan itu berada di kebun ubi yang
disebelah kanan markas.
“Psst. Lihat
yang tengah menunjuk keluar itu…” kapten Nurdin berbisik pada si Bungsu.
Anak muda itu
mempertajam penglihatannya. Dia melihat seorang tentara KL sedang menunjuk ke
jalan raya. Seorang Belanda bertubuh tinggi perpakaian loreng.
“Kau lihat?”
Kapten Nurdin berbisik lagi.
“Ya, ada apa?”
“Tak kau kenali
dia?” si Bungsu mencoba memperhatikan tentara Belanda yang jarak antara kebun
ubi dengan markas itu ada kira-kira lima puluh meter.
Dia coba
mengingat-ingat. Namun tak bisa dia ketahui siapa tentara itu.
“Dia
sahabatmu….” Kapten Nurdin berbisik lagi.
“Sahabatku?”
“Ya. Kalian
pernah satu penginapan….” Si Bungsu mengerutkan kening. Tiba-tiba dia mengucap
istigfhar.
“Ya Tuhan,
bukankah dia lelaki Amerika yang isterinya kalian bunuh itu?” si Bungsu
bertanya dengan kaget.
“Persis.
Ternyata dia bukan ahli sejarah seperti yang diduga orang bukan? Ternyata dia
seorang Leutenant Belanda!”
“Benar-benar
jahanam…” desis si Bungsu.
“Lalu kemana
kamera yang selalu dia pergunakan untuk memotret-motret orang-orang bersalung
itu?”
“Itu hanya
pura-pura saja. Kamera itu sebenarnya dia pergunakan untuk memotert pertahanan
dan kubu-kubu kita…” Kapten Nurdin terhenti bicara. Sebab dari arah jalan sana
kedengaran orang berjualan kacang goreng mendekati markas.
“Itu kopral
Aman…” bisik Kapten itu. Kopral Aman itu dia suruh menyamar sebagai tukang jual
kacang goreng yang diletakkan dalam goni dan dijunjung di kepala.
“Bagaimana
kalau mereka tak membeli kacangnya?”
“Mata-mata kita
sudah menyelidiki. Tentara Belanda di markas ini sangat suka akan kacang
goreng. Setiap malam pasti dia membeli kacang goreng yang lewat. Dan siang tadi
penjual kacang goreng yang asli telah disilakan sakit malam ini. Dan kopral itu
penggantinya. Hai, dengar, mereka sudah memanggilnya masuk…”
Penjual kacang
itu memang tengah memasuki halaman markas.
“Di dalam
karung kacangnya ada granat…’ Kapten itu berbisik.
Si Bungsu
memperhatikan situasi markas itu. Di depannya ada tiga buah jeep. Suara gitar
dan nyanyian tentara Belanda itu masih terus mengalun. Meski bahasanya tak
dimengerti namun suaranya cukup merdu.
“Kenapa lambat
ledakannya?” Kapten Nurdin bertanya dengan tegang.
Ya, seharusnya
begitu Kopral Aman masuk ke markas itu, kopral yang berada di dekat rawa di kiri
markas harus meledakkan granat ke belakang markas. Huru-hara dan kekagetan yang
ditimbulkan itulah yang akan mereka pergunakan untuk menyerbu masuk.
Beberapa detik
berlalu. Taka ada ledakan. Kopral Aman sudah menerima uang pembelian kacangnya.
Dan sekarang dia harus pergi dari halaman markas itu. Tak mungkin dia berhenti
disana terus menerus.
“Jahanam si
Imran! Kenapa granatnya tak meledak? Ada berapa granat yang dia bawa?” dia
bertanya pada sersan di sampingnya.
“Ada tiga pak…”
sersan itu menjawab dengan kecut.
“Gagal!
Jahanam! Gagal kita!” Kapten itu mendesis melihat Kopral Aman sudah mengangkat
goni kacangnya gorengnya ke kepala.
“Kacang
goreeenggg” suaranya terdengar sayu sambil melangkah menjauhi serdadu-serdadu
itu.
Ledakkan yang
dinanti untuk menimbulkan kekagetan dan mengalihkan perhatian itu tak juga ada.
Tiba-tiba penjual kacang itu berhenti tiga depa dari para serdadu yang membeli
kacang tadi. Dia meletakkan goninya di tanah.
Kemudian
berjalan kembali mendekati para serdadu itu.
“Maaf, tekong kacang
goreng saya tertinggal…” katanya agak keras.
Dua orang
serdadu tertawa sambil memberikan tekong kaleng susu kepunyaan tukang kacang
itu. Kapten Nurdin dan si Bungsu menyadari bahwa adegan ini terpaksa dilakukan
si Kopral untuk menambah waktu lagi bagi Kopral Imran yang granatnya tetap saja
tak meletus.
Kopral Aman,
membungkuk lagi, memasukkan tekong kacangnya ke goni. Granat Imran tetap tak
terdengar. Sementara teman-temannya di kebun ubi, di padang lalang yang di
depan markas di seberang jalan menanti dengan tegang.
Dan saat itulah
tiba-tiba Kopral Aman yang membungkuk memasukkan kaleng tekong kacangnya
berdiri lagi dan berbalik.
“Merdekaaa!”
dia berteriak dan melemparkan sesuatu dari tangannya ke arah serdadu Belanda
yang tengah makan-makan kacang itu!
Pekikan itu
mula-mula tentu saja membuat bingung serdadu Belanda itu.
Tapi hanya
sebentar, granat yang dilemparkan Kopral itu meledak persis ditengah mereka.
Terdengar pekikan dan ledakan yang dahsyat.
“Serbuuuuu!”
Kapten Nurdin berteriak sambil melompat dengan pistol di tangan.
Sementara itu
korban pertama dari ledakan granat yang dilemparkan Kopral Aman adalah prajurit
Belanda yang main gitar itu. Gitar dan sebelah tangannya terlambung ke udara.
Dadanya hancur. Dia mati.
Orang kedua
yang jadi korban adalah seorang prajurit yang lagi menunduk makan kacang.
Kepalanya hancur. Tapi yang lain hanya mengalami luka berat.
Letnan orang
Kanada yang menyamar menjadi ahli purbakala itu cepat meraih pistolnya. Meski
pahanya luka, tapi tembakannya yang pertama tepat menghantam dada Kopral Aman.
Kopral ini setelah melemparkan granat menerjang maju dengan pisau di tangan.
Dan dia terpelanting dan terlentang di tanah begitu dihantam peluru!
Saat itulah ke
enam pasukan khusus Kapten Nurdin membuat pertahanan mereka kucar kacir. Dalam
waktu yang relatif singkat, tembak-menembak jarak dekat ini terjadi.
Si Bungsu
melompat masuk. Dia melihat tubuh yang bergelimpangan. Kapten Nurdin mendobrak
masuk terus. Tembakan pistolnya menghancurkan kunci pintu dimana Tuang
tertahan. Dia membawa Tuang keluar. Orang tua itu kelihatan parah sekali dalam
tahanan yang hanya 2 x 24 jam itu.
“Jeep ini
siap!” suara Sersan yang menyiapkan Jeep itu terdengar.
Mereka
berlompatan ke sana. Si Bungsu tak sempat mempergunakan samurainya. Apa yang
harus diperbuat? Pertempuran selesai sebelum dia sempat mecabut samurainya.
Namun dia
berhenti ketika mendengar keluhan kecil. Dia menoleh dan melihat tubuh Kopral
Aman mengeliat. Cepat dia pangku tubuh itu. Dan saat itu tembakan dari Jeep
terdengar. Si Bungsu kaget. Menoleh kearah penjagaan. Dan dia lihat Letnan
suami Emylia itu tertelungkup. Pistolnya jatuh.
Kapten Nurdin
telah menembaknya sesaat sebelum Letnan itu menembakkan pistolnya pada si
Bungsu yang memangku Kopral Aman. Dia bergegas. Dan mereka melompat ke atas
Jeep. Jumlah mereka lengkap tujuh orang. Dan kini delapan dengan Tuang. Jeep
itu batuk-batuk sebentar.
Dia starter
lagi dengan mempertemukan kawatnya. Dan Hidup! Jeep itu seperti melompat.
Keluar dari halaman markas. Dari jauh terdengar suara deru mobil datang.
“Ke kanan!”
Kapten Nurdin berteriak.
Mobil itu berbelok
ke kanan. Lampu truk militer kelihatan datang dari arah kiri. Jeep mereka
rasanya ada yang tak beres. Berjalan lambat.
Sersan Kadir
melompat turun.
“Kadir! Naik
cepat!” Kapten Nurdin berteriak.
“Saya akan
menghalangi mereka pak. Teruslah bapak!” Dia berkata sambil berlari lagi ke
halaman markas. Tak ada kesempatan bagi Kapten Nurdin untuk berlalai-lalai. Dia
menyuruh Jeep itu terus.
Sementara
Sersan Kadir segera menaiki Jeep yang telah dikempeskan itu. Dia merenggutkan
kabel kontak. Melekatkannya diluar dengan ketenangan yang mengagumkan. Lalu
menghidupkan mesin dan meletakkan Jeep itu persis di tengah jalan yang akan
dilewati truk Belanda yang baru datang
itu. Tapi ketika akan lurus Belanda menembaknya. Kadir mati di Jeep itu. Jeep
mereka melaju menuju ke arah Sail. Yaitu suatu daerah di luar kota yang masih
berada di bawah kekuasaan tentara Belanda.
Pak Tuang
pemilik penginapan itu dirawat di Kampung Sail tersebut. Tubuhnya cukup parah
dipermak Belanda.
“Tolong
kabarkan pada keluarga saya di kampung, bahwa saya masih hidup….” Pemilik
penginapan itu berkata esoknya. Sebab berita dia tertangkap oleh Belanda sudah
sampai ke kampungnya. Yaitu ke Buluh Cina melalui penjual-penjual ikan yang
datang ke Pekanbaru setiap pagi dengan sepeda.
“Ya. Saya akan
menugaskan seorang untuk menyampaikan hal itu ke kampung bapak..” Kapten Nurdin
berkata perlahan.
“Hati-hati. Di
Simpang Tiga Belanda memperketat penjagaannya. Mereka tahu bahwa
pejuang-pejuang kini banyak yang menyelusup ke kota. Dan pejuang-pejuang itu
umumnya datang dari arah Taratak Buluh….” Tuang memberi penjelasan yang
berhasil dia monitor dari markas Belanda ketika jadi tahanan itu.
“Terimakasih….”
Jawab Kapten Nurdin.
Dan sore itu,
tiga orang pejuang yang berasal dari barisan Fisabilillah berangkat ke Buluh
Cina dengan sepeda. Sebenarnya hanya ada dua orang anggota Fisabilillah. Yang
satu lagi adalah si Bungsu.
Dia ikut ke
Buluh Cina karena kapal yang dia nanti-nantikan untuk berangkat ke Singapura
atau Jepang itu tak kunjung datang. Beberapa orang malah mengatakan, untuk ke
Singapura mungkin lebih baik lewat sungai Kampar. Dari sana banyak
penyelundup-penyelundup membawa getah ke Singapura.
Mereka memakai
tongkang atau sampan-sampan besar menghiliri sungai Kampar. Kemudian lewat di
pulau-pulau yang ada di Laut Cina Selatan, terus menyelundup ke Singapura atau
Malaya. Si Bungsu sebenarnya kurang tertarik untuk ikut dengan para penyelundup
itu. Sebab, tujuan utamanya bukan ke Singapura. Melainkan Jepang.
Namun karena di
Pekanbaru tak ada pekerjaan yang akan dia lakukan, dia memutuskan untuk ikut ke
Buluh Cina. Apa lagi kampung itu adalah kampungnya Kapten Nurdin. Hanya saja
Kapten itu tak ikut bersama-sama mereka.
“Pergilah, di sana
ada sungai atau danau dimana engkau dapat menenangkan dirimu. Memancing atau
berenang…..” Kapten itu membujuk si Bungsu untuk ikut serta bersama kedua anak
buahnya.
Dan si Bungsu
memang memilih untuk ikut serta. Mereka berangkat pukul dua. Kalau tak ada aral
melintang, mereka akan sampai di kampung itu sekitar jam enam. Sepanjang jalan
dalam kota, kelihatan pasukan Belanda berjaga dengan ketat.
Mereka mengayuh
sepeda keluar kota dengan tenang. Di Kampung Simpang Tiga, dimana terletak
sebuah lapangan udara kecil, penjagaan Belanda nampak makin banyak.
Belanda
nampaknya mempergunakan kampung kecil ini sebagai basis perbatasan antara kota
yang mereka kuasai dengan kantong-kantong perjuangan yang dikuasai tentara
Indonesia.
Mereka disuruh
berhenti di persimpangan menuju ke Taratak Buluh. Satu-satu disuruh masuk ke
sebuah kamar kecil dimana dua orang tentara KNIL mengadakan pemeriksaan dengan
ketat.
Mula-mula yang
masuk adalah si Bungsu. Dia berniat membawa samurainya. Namun Korip temannya
menggeleng perlahan. Si Bungsu menangkap isarat itu. Dia segera ingat, kalau
Belanda mengetahui bahwa dia membawa samurai, maka itu akan membahayakannya.
Bukankah Belanda sudah mengetahui, bahwa teman-teman mereka dibunuh oleh
seorang anak muda yang membawa samurai kemana-mana?
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 058
No comments:
Post a Comment