Si Bungsu
bergegas menoleh ke jendela depan. Di bawah ada selusin Belanda siap menanti
dengan bedil terhunus. Akhirnya dia berlari ke arah mata-mata itu. Betapapun
jua, mata-mata itu lebih mudah membunuhnya. Dan dengan membunuh mata-mata
Belanda keparat itu dia bisa meloloskan diri lewat gang kecil ke belakang!.
Ketika lewat di
dekat tangga bawah, seorang serdadu Belanda telah muncul kepalanya. Tangga naik
itu hanya untuk ukuran seorang. Sambil berlari si Bungsu menghunus samurai, dan
membacokkannya ke leher serdadu itu.
Tengkuk serdadu
itu hampir putus. Dan tubuhnya melosoh turun. Menimpa dan membawa jatuh empat
teman-temanya yang berada dihadapannya.
Setelah itu si
Bungsu meneruskan larinya ke arah mata-mata itu.
“Ikut kami…!”
mata-mata itu berkata sambil bergegas turun lewat pintu kecil itu.
Si Bungsu
memang tak mempunyai pilihan lain. Jalan kecil ini memang satu-satunya jalan
untuk keluar. Dia menuruni anak tangga dan tiba di sebuah gang kecil yang
terletak di belakang beberapa buah bangunan.
Kedua mata-mata
tadi lari menyelinap-nyelinap. Dan si Bungsu memburunya terus. Tapi dia merasa
heran juga. Kenapa kedua mata-mata Belanda ini justru menjauh dari para Belanda
yang mengepung penginapan itu?
Beberapa kali
lagi mereka membelok di antara gang. Masuk ke kebun, lari terus. Masuk ke bawah
kolong rumah. Lari terus. Masuk lagi. Berbelok lagi. Dan tiba-tiba kedua
mata-mata itu lenyap. Si Bungsu tertegak kehilangan arah.
Azan magrib
terdengar sayup-sayup. Dia melangkah ke depan. Dan tiba-tiba dia dengar
seseorang memanggil perlahan. Dia menoleh. Mata-mata tadi! Mata-mata itu
memberi isyarat untuk masuk ke sebuah rumah. Si Bungsu ragu sejenak.
Tapi ada
sesuatu yang mendorongnya untuk ikut. Dia melangkah memasuki sebuah rumah tua.
Di dalamnya tak ada apa-apa. Di ujung sana mata-mata tadi kelihatan menuju
keluar. Dia mengikuti terus. Ada beberapa buah gang lagi.
Dan tiba-tiba
saja berada dalam sebuah ruangan yang diterangi oleh lampu-lampu lilin yang
antik. Dan didalam ruangan itu ada sekitar sembilan lelaki.
Mereka semua
tegak begitu si Bungsu masuk. Dan si Bungsu segera saja mengenali lelaki yang
tegak paling depan.
Dia adalah
pejuang yang melukai lehernya di pasar Tengah siang tadi! Lelaki itu
menyongsongnya. Mengulurkan tangan dan mereka bersalaman.
“Selamat datang
di kota kami Bungsu. Maafkan kekhilafan saya siang tadi. Hmm, lukanya sudah
diperban…” lelaki itu berkata dengan hangat.
“Kenalkan ini
teman-teman saya. Ini Letnan Badu. Pemimpin front Simpang Tiga. Ini sersan
Yunus….” Lelaki itu memperkenalkan semua yang hadir.
“Dan ini Kopral
Aman dan prajurit Asir. Mereka yang mengawasi engkau di penginapan di tepi
sungai Siak itu….” Si Bungsu tertegun mendengar penjelasan ini.
Kedua lelaki
itu adalah mata-mata yang dia duga dan juga diduga Emylia sebagai mata-mata
Nevis.
Kedua lelaki
itu tersenyum ketika menyambut uluran tangan si Bungsu.
“Oh ya, tentang
diri saya. Nama saya Nurdin. Saya pemimpin front Pekanbaru ini…” lelaki itu
memperkenalkan dirinya.
Si Bungsu
segara terlibat dalam pembicaraan dengan pejuang-pejuang di Kota Pekanbaru itu.
Pejuang-pejuang
itu ternyata juga sudah mendengar cerita tentang diri si Bungsu jauh sebelum si
Bungsu sampai di Pekanbaru.
“Siang tadi,
waktu di kedai kopi itu saya memang curiga pada saudara. Soalnya saya pernah
kecolongan sebulan yang lalu. Yaitu ketika Jepang masih berkuasa. Saya mengenal
hampir tiap orang di kota ini. Saudara tak saya kenal, dan saya selalu curiga
terhadap semua orang baru. Sebab Belanda biasanya mengirim orang-orang baru
untuk jadi mata-matanya. Sebab semua mata-mata Nevis di kota ini kami kenali
dengan baik…..” Nurdin yang berpangkat Kapten itu menjelaskan tentang pertemuan
mereka di kedai kopi siang tadi.
“Ya, tapi saya
hampir saja mati kena pisau beracun Saudara…” si Bungsu menyela.
Dan semua
mereka tertawa. Kapten itu menceritakan kembali pada semua teman-temannya
tentang peristiwa mula pertama dia di dekati si Bungsu. Kemudian dia bentak
untuk tak meletakkan tongkatnya di atas meja. Sampai pada dia melempar si
Bungsu dengan dua buah pisau. Kemudian dia menyergap si Bungsu dan mengancam
lehernya dengan pisau. Lalu pada peristiwa bagaimana si Bungsu melepaskan
dirinya dari sergapan itu dan menghabisi Belanda-Belanda itu.
Mereka
bercerita dengan asik.
“Tapi ada yang
saya ingin tahu. Yaitu perempuan Amerika yang di penginapan itu….” Si Bungsu
akhirnya tak dapat untuk tak menanyakan hal itu pada Kapten Nurdin.
“Oh ya. Saya
yang memerintahkan untuk membunuhnya….”
“Kenapa harus
dibunuh? Bukankah dia orang Amerika? Dan bukankah dia ahli sejarah yang akan
menyelidiki kerajaan Siak Sri Indrapura?”
Kapten itu
menarik nafas dalam.
“Demikian yang
tertulis di paspornya. Tapi kami sudah mendapatkan informasi jelas. Kedua orang
itu sebenarnya orang Kanada dan mempergunakan paspor palsu.
Mereka adalah
bangsa Belanda yang kebetulan lahir di Kanada. Mereka memang profesor pubakala.
Tapi mereka telah melakukan kegiatan mata-mata mulai dari Jakarta, Bandung,
Medan dan kini di Kota ini. Perempuan cantik itu memang mata-mata yang
sempurna. Di kota ini saja tak kurang dari sepuluh perwira Jepang yang masuk
perangkapnya.
Dia menjebak
para perwira itu ke tempat tidur. Kalau cara itu tak dapat menaklukan perwira
itu untuk membukakan rahasia militer Jepang di kota ini, mereka mempergunakan
sistim racun. Rahasia yang diperoleh lalu dikirim dengan radio ke Singapura.
Dan sepuluh
hari yang lalu, dua orang letnan kita juga masuk ke dalam perangkapnya. Kedua
letnan itu akhirnya dibunuh di Tanjung Rhu. Kami sudah berbulan-bulan dibuat
pusing oleh bocornya rahasia-rahasia militer. Tak taunya, dia lah biangnya.
Telah tiga kali
kami mengikuti dia dan berhasil memergoki dia memasuki markas rahasia Belanda
yang dari luar seperti rumah biasa. Setiap dia masuk ke rumah itu, sehari
kemudian pasti ada pengebrekan dan korban pihak kita berjatuhan.
Akhirnya kami
berhasil mencuri paspornya dan dikirim salinannya ke Jakarta. Dari sana didapat
jawaban, bahwa perempuan ini adalah seorang mata-mata yang berbahaya. Demikian
juga suaminya”.
Si Bungsu
hampir-hampir tak percaya akan pendengarannya. Tapi ketika Kapten itu
menunjukkan bukti-bukti berupa radiogram dari markas pejuang, maka dia jadi
yakin. Hanya yang jadi tanda tanya baginya adalah, kenapa Emylia menyelamatkan
nyawanya dari luka beracun itu? Dan kenapa perempuan itu juga menyelamatkan
dirinya dari tangkapan Belanda ketika Belanda menggedor kamar hotel?
Bukankah
perempuan itu tegak ke pintu tanpa baju, mengatakan bahwa yang berbaring itu
adalah suaminya yang sakit?
“Saya melihat
saudara ragu dengan penjelasan saya…” Kapten Nurdin berkata.
“Tidak. Saya
tak meragukannya. Tapi yang saya ragukan adalah beberapa soal…” dan si Bungsu
menceritakan soal bagaimana perempuan Kanada itu mengobati lukanya. Kemudian
menyelamatkan dari tangkapan Belanda.
Kapten Nurdin
tak menjawab segera. Tapi dia baru menjelaskan hal itu ketika mereka hanya
tinggal berdua saja.
“Ada beberapa
hal yang saya ketahui tentang perempuan itu Bungsu. Pertama, dia memang
perempuan yang “lapar”. Dia memang membutuhkan lelaki dalam hidupnya. Tak cukup
suaminya saja. Mana tahu, dia barangkali membutuhkan dirimu dan ada hal lain,
yang saya rasa amat penting. Perempuan betapapun mata-matanya dia, tapi bisa
saja jatuh hati bukan? Nah, bukanlah hal yang mustahil kalau dia jatuh hati
padamu…”
Kapten itu
bukannya sekadar bergurau dengan berkata demikian. Dia yakin bahwa wanita
dimanapun instingnya sama. Dan bukan hal yang mustahil pula kalau banyak wanita
yang jatuh hati pada pemuda ini.
Si Bungsu
menunduk. Dia sebenarnya tak menyenangi wanita itu. Artinya ada beberapa
masalah yang tak dia sukai. Namun wanita itu telah menolong nyawanya. Apapun
alasan pertolongan itu, dia tetap merasa berhutang budi.
Dan tiba-tiba
dia teringat saat terakhir pertemuannya dengan cantik itu. Betapa dari
pembaringannya, disaat maut hampir menjemput, dengan suara perlahan sekali, dia
masih bicara! “Larilah Bungsu…. Belanda datang untuk menangkapmu… Aku
mencintaimu…” Itulah kata-katanya yang terakhir.
Dia termenung.
Disaat terakhirnya, perempuan itu memberitahu bahwa Belanda datang untuk
menangkapnya. Kalau dia mata-mata, maka dia telah mengkhianati tugasnya.
Memberitahukan kepada musuh yang akan ditangkap, bahwa tentara datang untuk
menangkapnya. Ya, cinta dimanapun sama. Bisa berbuat hal-hal yang tak mungkin
bisa terfikirkan oleh manusia lain. Tak terjangkau oleh akal.
Si Bungsu sudah
seminggu bersama-sama para pejuang di Pekanbaru itu ketika suatu hari mereka
mendapat kabar bahwa penginapan di mana si Bungsu tinggal dahulu dibakar oleh
Belanda. Pemilik penginapan itu, seorang pejuang bawah tanah bernama Tuang dari
kampung Buluh Cina. Yaitu sebuah kampung ditepi sungai Kampar dua puluh
kilometer dari Kota Pekanbaru, ditangkap oleh Belanda.
“Dia seorang
pejuang?” si Bungsu kaget.
“Ya. Dia
termasuk salah seorang mata-mata dan dermawan yang menyumbangkan hartanya untuk
pejuang-pejuang kemerdekaan…” Kapten Nurdin menjawab dengan nada sedih.
“Dimana dia
tahan….?” Kapten itu bertanya pada mata-mata yang menyampaikan laporan
pembakaran tersebut.
“Tak diketahui
dengan pasti. Yang jelas, mereka dibawa ke kantor polisi militer di Batu
Satu….”
Kapten Nurdin
yang membawahi front Pekanbaru itu lalu membuka peta lusuh yang ada dalam
lemari. Dan malam itu diadakan rapat staf lengkap . Mereka mempelajari
kemungkinan untuk membebaskan Tuang.
Ada dua markas
Belanda yang dianggap mungkin tempat menawan pemilik penginapan itu. Dan
diputuskan untuk menyerang secara serentak kedua markas itu untuk
membebaskannya.
Tuang mempunyai
arti yang amat penting dalam perjuangan bawah tanah di Kota ini. Seperti dikatakan
Kapten Nurdin, dia tak hanya seorang mata-mata andalan, tapi juga seorang
donatur perjuangan.
“Saya boleh
ikut?” si Bungsu menawarkan diri. Kapten Nurdin menatapnya.
“Itu akan
merupakan kehormatan bagi kami Bungsu. Kami memang ingin mengajakmu. Tapi kami
segan mengatakannya…..”
Si Bungsu
tersenyum. Dan malam itu mereka menyusun rencana matang-matang.
“Kalau dapat
membebaskannya, apa kendaraan yang akan kita pergunakan untuk melarikan diri?”
si Bungsu yang ikut dalam perencanaan itu bertanya.
“Ada sebuah
truk tua…”
“Kecepatannya
bagaimana?”
“Bisa dikejar
oleh orang berlari”
“Hanya itu
kendaraan yang ada pada kita”
“Siapa yang
bisa menjalankan kendaraan?”
Dua orang
sersan mengacungkan tangannya.
“Menurut hemat
saya, lebih baik kita ambil kendaraan Belanda saja. Di depan markas mereka
pasti ada ada kendaraan…”
“Tapi bagaimana
dengan kunci kontaknya? Kita tentu tak mungkin menggeledah kantong Belanda itu
satu-persatu untuk mencari kunci. Waktu sangat pendek”.
“Itulah gunanya
orang yang biasa mempergunakan kendaraan. Saya tak tahu bagaimana caranya tapi
ketika pak Tuang itu sudah keluar, kendaraan hendaknya sudah siap untuk
melarikan”.
Keterangan si
Bungsu membuat Kapten Nurdin menatap pada kedua sersan yang mengaku bisa
menjalankan mobil tadi.
“Ya, saya bisa
mengusahakannya…” yang seorang berkata.
“Tapi saya
terpaksa tak ikut penyergapan. Sementara teman-teman menyerang, saya akan
menyiapkan kendaraan. Satu-satunya jalan adalah dengan mencabut kabel di kunci
kontak. Kemudian menyambungkannya lagi di luar” katanya lagi.
“Baik, kau
kutugaskan untuk itu. Nah, ada yang lain? Kapten Nurdin berkata lagi.
“Ada” Jawab si
Bungsu. “kalau ada lebih dari satu kendaraan di sana, yang lain harus
dikempeskan bannya..”, dan malam itu diputuskan pula bahwa penyergapan hanya
akan dilakukan pada satu markas saja. Yaitu markas yang diketahui dengan pasti
di mana Tuang ditawan. Untuk itu, siang esoknya, mata-mata disebar lagi untuk
mengetahuinya.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 057
No comments:
Post a Comment