Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 058



Si Bungsu bergegas menoleh ke jendela depan. Di bawah ada selusin Belanda siap menanti dengan bedil terhunus. Akhirnya dia berlari ke arah mata-mata itu. Betapapun jua, mata-mata itu lebih mudah membunuhnya. Dan dengan membunuh mata-mata Belanda keparat itu dia bisa meloloskan diri lewat gang kecil ke belakang!.



Ketika lewat di dekat tangga bawah, seorang serdadu Belanda telah muncul kepalanya. Tangga naik itu hanya untuk ukuran seorang. Sambil berlari si Bungsu menghunus samurai, dan membacokkannya ke leher serdadu itu.

Tengkuk serdadu itu hampir putus. Dan tubuhnya melosoh turun. Menimpa dan membawa jatuh empat teman-temanya yang berada dihadapannya.

Setelah itu si Bungsu meneruskan larinya ke arah mata-mata itu.



“Ikut kami…!” mata-mata itu berkata sambil bergegas turun lewat pintu kecil itu.



Si Bungsu memang tak mempunyai pilihan lain. Jalan kecil ini memang satu-satunya jalan untuk keluar. Dia menuruni anak tangga dan tiba di sebuah gang kecil yang terletak di belakang beberapa buah bangunan.

Kedua mata-mata tadi lari menyelinap-nyelinap. Dan si Bungsu memburunya terus. Tapi dia merasa heran juga. Kenapa kedua mata-mata Belanda ini justru menjauh dari para Belanda yang mengepung penginapan itu?

Beberapa kali lagi mereka membelok di antara gang. Masuk ke kebun, lari terus. Masuk ke bawah kolong rumah. Lari terus. Masuk lagi. Berbelok lagi. Dan tiba-tiba kedua mata-mata itu lenyap. Si Bungsu tertegak kehilangan arah.

Azan magrib terdengar sayup-sayup. Dia melangkah ke depan. Dan tiba-tiba dia dengar seseorang memanggil perlahan. Dia menoleh. Mata-mata tadi! Mata-mata itu memberi isyarat untuk masuk ke sebuah rumah. Si Bungsu ragu sejenak.



Tapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk ikut. Dia melangkah memasuki sebuah rumah tua. Di dalamnya tak ada apa-apa. Di ujung sana mata-mata tadi kelihatan menuju keluar. Dia mengikuti terus. Ada beberapa buah gang lagi.

Dan tiba-tiba saja berada dalam sebuah ruangan yang diterangi oleh lampu-lampu lilin yang antik. Dan didalam ruangan itu ada sekitar sembilan lelaki.

Mereka semua tegak begitu si Bungsu masuk. Dan si Bungsu segera saja mengenali lelaki yang tegak paling depan.

Dia adalah pejuang yang melukai lehernya di pasar Tengah siang tadi! Lelaki itu menyongsongnya. Mengulurkan tangan dan mereka bersalaman.



“Selamat datang di kota kami Bungsu. Maafkan kekhilafan saya siang tadi. Hmm, lukanya sudah diperban…” lelaki itu berkata dengan hangat.

“Kenalkan ini teman-teman saya. Ini Letnan Badu. Pemimpin front Simpang Tiga. Ini sersan Yunus….” Lelaki itu memperkenalkan semua yang hadir.

“Dan ini Kopral Aman dan prajurit Asir. Mereka yang mengawasi engkau di penginapan di tepi sungai Siak itu….” Si Bungsu tertegun mendengar penjelasan ini.



Kedua lelaki itu adalah mata-mata yang dia duga dan juga diduga Emylia sebagai mata-mata Nevis.

Kedua lelaki itu tersenyum ketika menyambut uluran tangan si Bungsu.



“Oh ya, tentang diri saya. Nama saya Nurdin. Saya pemimpin front Pekanbaru ini…” lelaki itu memperkenalkan dirinya.



Si Bungsu segara terlibat dalam pembicaraan dengan pejuang-pejuang di Kota Pekanbaru itu.

Pejuang-pejuang itu ternyata juga sudah mendengar cerita tentang diri si Bungsu jauh sebelum si Bungsu sampai di Pekanbaru.



“Siang tadi, waktu di kedai kopi itu saya memang curiga pada saudara. Soalnya saya pernah kecolongan sebulan yang lalu. Yaitu ketika Jepang masih berkuasa. Saya mengenal hampir tiap orang di kota ini. Saudara tak saya kenal, dan saya selalu curiga terhadap semua orang baru. Sebab Belanda biasanya mengirim orang-orang baru untuk jadi mata-matanya. Sebab semua mata-mata Nevis di kota ini kami kenali dengan baik…..” Nurdin yang berpangkat Kapten itu menjelaskan tentang pertemuan mereka di kedai kopi siang tadi.

“Ya, tapi saya hampir saja mati kena pisau beracun Saudara…” si Bungsu menyela.



Dan semua mereka tertawa. Kapten itu menceritakan kembali pada semua teman-temannya tentang peristiwa mula pertama dia di dekati si Bungsu. Kemudian dia bentak untuk tak meletakkan tongkatnya di atas meja. Sampai pada dia melempar si Bungsu dengan dua buah pisau. Kemudian dia menyergap si Bungsu dan mengancam lehernya dengan pisau. Lalu pada peristiwa bagaimana si Bungsu melepaskan dirinya dari sergapan itu dan menghabisi Belanda-Belanda itu.

Mereka bercerita dengan asik.



“Tapi ada yang saya ingin tahu. Yaitu perempuan Amerika yang di penginapan itu….” Si Bungsu akhirnya tak dapat untuk tak menanyakan hal itu pada Kapten Nurdin.

“Oh ya. Saya yang memerintahkan untuk membunuhnya….”

“Kenapa harus dibunuh? Bukankah dia orang Amerika? Dan bukankah dia ahli sejarah yang akan menyelidiki kerajaan Siak Sri Indrapura?”



Kapten itu menarik nafas dalam.



“Demikian yang tertulis di paspornya. Tapi kami sudah mendapatkan informasi jelas. Kedua orang itu sebenarnya orang Kanada dan mempergunakan paspor palsu.

Mereka adalah bangsa Belanda yang kebetulan lahir di Kanada. Mereka memang profesor pubakala. Tapi mereka telah melakukan kegiatan mata-mata mulai dari Jakarta, Bandung, Medan dan kini di Kota ini. Perempuan cantik itu memang mata-mata yang sempurna. Di kota ini saja tak kurang dari sepuluh perwira Jepang yang masuk perangkapnya.

Dia menjebak para perwira itu ke tempat tidur. Kalau cara itu tak dapat menaklukan perwira itu untuk membukakan rahasia militer Jepang di kota ini, mereka mempergunakan sistim racun. Rahasia yang diperoleh lalu dikirim dengan radio ke Singapura.

Dan sepuluh hari yang lalu, dua orang letnan kita juga masuk ke dalam perangkapnya. Kedua letnan itu akhirnya dibunuh di Tanjung Rhu. Kami sudah berbulan-bulan dibuat pusing oleh bocornya rahasia-rahasia militer. Tak taunya, dia lah biangnya.

Telah tiga kali kami mengikuti dia dan berhasil memergoki dia memasuki markas rahasia Belanda yang dari luar seperti rumah biasa. Setiap dia masuk ke rumah itu, sehari kemudian pasti ada pengebrekan dan korban pihak kita berjatuhan.

Akhirnya kami berhasil mencuri paspornya dan dikirim salinannya ke Jakarta. Dari sana didapat jawaban, bahwa perempuan ini adalah seorang mata-mata yang berbahaya. Demikian juga suaminya”.



Si Bungsu hampir-hampir tak percaya akan pendengarannya. Tapi ketika Kapten itu menunjukkan bukti-bukti berupa radiogram dari markas pejuang, maka dia jadi yakin. Hanya yang jadi tanda tanya baginya adalah, kenapa Emylia menyelamatkan nyawanya dari luka beracun itu? Dan kenapa perempuan itu juga menyelamatkan dirinya dari tangkapan Belanda ketika Belanda menggedor kamar hotel?

Bukankah perempuan itu tegak ke pintu tanpa baju, mengatakan bahwa yang berbaring itu adalah suaminya yang sakit?



“Saya melihat saudara ragu dengan penjelasan saya…” Kapten Nurdin berkata.

“Tidak. Saya tak meragukannya. Tapi yang saya ragukan adalah beberapa soal…” dan si Bungsu menceritakan soal bagaimana perempuan Kanada itu mengobati lukanya. Kemudian menyelamatkan dari tangkapan Belanda.



Kapten Nurdin tak menjawab segera. Tapi dia baru menjelaskan hal itu ketika mereka hanya tinggal berdua saja.



“Ada beberapa hal yang saya ketahui tentang perempuan itu Bungsu. Pertama, dia memang perempuan yang “lapar”. Dia memang membutuhkan lelaki dalam hidupnya. Tak cukup suaminya saja. Mana tahu, dia barangkali membutuhkan dirimu dan ada hal lain, yang saya rasa amat penting. Perempuan betapapun mata-matanya dia, tapi bisa saja jatuh hati bukan? Nah, bukanlah hal yang mustahil kalau dia jatuh hati padamu…”



Kapten itu bukannya sekadar bergurau dengan berkata demikian. Dia yakin bahwa wanita dimanapun instingnya sama. Dan bukan hal yang mustahil pula kalau banyak wanita yang jatuh hati pada pemuda ini.

Si Bungsu menunduk. Dia sebenarnya tak menyenangi wanita itu. Artinya ada beberapa masalah yang tak dia sukai. Namun wanita itu telah menolong nyawanya. Apapun alasan pertolongan itu, dia tetap merasa berhutang budi.

Dan tiba-tiba dia teringat saat terakhir pertemuannya dengan cantik itu. Betapa dari pembaringannya, disaat maut hampir menjemput, dengan suara perlahan sekali, dia masih bicara! “Larilah Bungsu…. Belanda datang untuk menangkapmu… Aku mencintaimu…” Itulah kata-katanya yang terakhir.

Dia termenung. Disaat terakhirnya, perempuan itu memberitahu bahwa Belanda datang untuk menangkapnya. Kalau dia mata-mata, maka dia telah mengkhianati tugasnya. Memberitahukan kepada musuh yang akan ditangkap, bahwa tentara datang untuk menangkapnya. Ya, cinta dimanapun sama. Bisa berbuat hal-hal yang tak mungkin bisa terfikirkan oleh manusia lain. Tak terjangkau oleh akal.



Si Bungsu sudah seminggu bersama-sama para pejuang di Pekanbaru itu ketika suatu hari mereka mendapat kabar bahwa penginapan di mana si Bungsu tinggal dahulu dibakar oleh Belanda. Pemilik penginapan itu, seorang pejuang bawah tanah bernama Tuang dari kampung Buluh Cina. Yaitu sebuah kampung ditepi sungai Kampar dua puluh kilometer dari Kota Pekanbaru, ditangkap oleh Belanda.



“Dia seorang pejuang?” si Bungsu kaget.

“Ya. Dia termasuk salah seorang mata-mata dan dermawan yang menyumbangkan hartanya untuk pejuang-pejuang kemerdekaan…” Kapten Nurdin menjawab dengan nada sedih.

“Dimana dia tahan….?” Kapten itu bertanya pada mata-mata yang menyampaikan laporan pembakaran tersebut.

“Tak diketahui dengan pasti. Yang jelas, mereka dibawa ke kantor polisi militer di Batu Satu….”



Kapten Nurdin yang membawahi front Pekanbaru itu lalu membuka peta lusuh yang ada dalam lemari. Dan malam itu diadakan rapat staf lengkap . Mereka mempelajari kemungkinan untuk membebaskan Tuang.

Ada dua markas Belanda yang dianggap mungkin tempat menawan pemilik penginapan itu. Dan diputuskan untuk menyerang secara serentak kedua markas itu untuk membebaskannya.

Tuang mempunyai arti yang amat penting dalam perjuangan bawah tanah di Kota ini. Seperti dikatakan Kapten Nurdin, dia tak hanya seorang mata-mata andalan, tapi juga seorang donatur perjuangan.



“Saya boleh ikut?” si Bungsu menawarkan diri. Kapten Nurdin menatapnya.

“Itu akan merupakan kehormatan bagi kami Bungsu. Kami memang ingin mengajakmu. Tapi kami segan mengatakannya…..”



Si Bungsu tersenyum. Dan malam itu mereka menyusun rencana matang-matang.



“Kalau dapat membebaskannya, apa kendaraan yang akan kita pergunakan untuk melarikan diri?” si Bungsu yang ikut dalam perencanaan itu bertanya.

“Ada sebuah truk tua…”

“Kecepatannya bagaimana?”

“Bisa dikejar oleh orang berlari”

“Hanya itu kendaraan yang ada pada kita”

“Siapa yang bisa menjalankan kendaraan?”



Dua orang sersan mengacungkan tangannya.



“Menurut hemat saya, lebih baik kita ambil kendaraan Belanda saja. Di depan markas mereka pasti ada ada kendaraan…”

“Tapi bagaimana dengan kunci kontaknya? Kita tentu tak mungkin menggeledah kantong Belanda itu satu-persatu untuk mencari kunci. Waktu sangat pendek”.

“Itulah gunanya orang yang biasa mempergunakan kendaraan. Saya tak tahu bagaimana caranya tapi ketika pak Tuang itu sudah keluar, kendaraan hendaknya sudah siap untuk melarikan”.



Keterangan si Bungsu membuat Kapten Nurdin menatap pada kedua sersan yang mengaku bisa menjalankan mobil tadi.



“Ya, saya bisa mengusahakannya…” yang seorang berkata.

“Tapi saya terpaksa tak ikut penyergapan. Sementara teman-teman menyerang, saya akan menyiapkan kendaraan. Satu-satunya jalan adalah dengan mencabut kabel di kunci kontak. Kemudian menyambungkannya lagi di luar” katanya lagi.

“Baik, kau kutugaskan untuk itu. Nah, ada yang lain? Kapten Nurdin berkata lagi.

“Ada” Jawab si Bungsu. “kalau ada lebih dari satu kendaraan di sana, yang lain harus dikempeskan bannya..”, dan malam itu diputuskan pula bahwa penyergapan hanya akan dilakukan pada satu markas saja. Yaitu markas yang diketahui dengan pasti di mana Tuang ditawan. Untuk itu, siang esoknya, mata-mata disebar lagi untuk mengetahuinya.



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 057

No comments:

Post a Comment