Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 057

Perempuan Amerika itu tanpa memakai baju berjalan menuju pintu. Kemudian dia tegak dengan menyembunyikan sekerat tubuhnya di balik pintu dan menjulurkan bahagian leher ke atas dicelah pintu yang terbuka.



“Saya tidak melihat apa-apa. Suami saya sedang demam. Apakah lelaki itu amat berbahaya?”



Perempuan itu bicara dalam bahasa Inggris. Kapten itu, dan tiga orang bawahannya menelan ludah melihat tubuh perempuan Amerika yang montok itu. Yang tersebeng-sebeng dari celah pintu yang terbuka sedikit. Perempuan itu hanya memakai celana Jean panjang tanpa baju.



“Ya. Ya madam, dia berbahaya. Hati-hatilah, kata orang dia sangat cepat dengan pedang samurainya. Seperti setan saja. Nah, maaf, kami harus pergi. Semoga suami madam cepat sembuh…..” Dan dengan memberi salut, Kapten itu itu turun kembali ke bawah. Sementara perempuan itu masih tegak dipintu.



Di bawah, masih terdengar pembicaraan tentara Belanda itu dengan beberapa lelaki. Kemudian terdengar deru modil menjauh.

Dan sepi!

Mereka pasti berusaha menangkapnya. Kalau Belanda sudah mengetahui, bahwa orang yang membunuh serdadunya mempergunakan samurai tentu mereka sudah mendapat informasi pula, bahwa pembunuh itu melarikan diri ke arah pelabuhan.



Dan si Bungsu memang terpaksa berdiam saja dalam kamarnya seperti yang diucapkan perempuan berat bernama Emylia itu. Dia tak habis pikir terhadap perempuan yang satu ini. Kecantikan yang luar biasa, dengan titel Profesor pula, benar-benar mengagumkan.

Dan pikirannya melayang lagi pada Salma yang dia tinggalkan di Bukittinggi. Dia menatap jari manisnya. Cincin itu terpasang disana. Cincin bermata berlian. Sedang mengapa gadis itu? Apakah sudah kawin?



“Hmm, cincin yang bagus…..” si Bungsu kaget mendengar ucapan itu.



Dan yang berkata tak lain daripada Emylia. Perempuan ini muncul dengan dua bungkus nasi ditangannya. Dan kehadirannya yang perlahan itu ternyata tak diketahui oleh si Bungsu.



“Jangan kaget kalau saya bisa menebak, bahwa cincin itu pastilah tanda mata dari seorang gadis yang cantik. Hanya saya tak tahu, apakah gadis itu di Payakumbuh atau Bukittinggi….” Emylia berkata sambil meletakkan nasi di atas sebuah piring.



Kemudian mengambil dua buah gelas. Mengisinya dengan air teh dari ceret kecil di atas meja di sudut kamar.



“Engkau lebih mirip tukang tenung….” Si Bungsu berkata jengkel tapi mau tak mau dia mengagumi ketepatan terkaan perempuan asing ini. Emylia tertawa renyai.

“Tukang tenung sama dengan tukang sihir bukan? Hmm, saya juga termasuk yang mempercayai ilmu itu. Karena dia bersangkut paut dengan alam bawah sadar kita. Tenung atau sihir bukan semacam pekerjaan ajaib. Dia hanya pekerjaan pemusatan konsentrasi yang menyerang sendi-sendi bawah sadar orang lain. Tapi saya bukan tukang tenung. Tidak pula tukang sihir, saya hanya menduga-duga. Kalau bukan pemberian seorang yang amat berkesan secara mendalam, tentu engkau takkan melihat cincin itu demikian terharunya”.



Si Bungsu jadi merah mukanya karena malu.



“Dan kalau seorang lelaki merenung sebuah cincin, pastilah yang memberinya seorang perempuan. Dan kalau saya boleh menerka lebih lanjut maka gadis yang memberi cincin itu pastilah bernama Salma…”



Sampai disini si Bungsu benar-benar tak dapat menahan rasa kagetnya. Bahkan kagetnya bercampur dengan perasaan ngeri. Perempuan ini benar-benar Jihin pikirnya.



“Jangan menatap saya dengan mata membelalak begitu Bungsu. Kenapa harus heran kalau saya mengetahui nama gadismu itu? Saya tak menenungnya. Saya ketahui nama itu dari mulutmu sendiri. Nah kini mari kita makan dulu….”



Tapi mana bisa si Bungsu makan. Kapan dia mengatakan nama Salma pada perempuan ini. Tak pernah. Bahkan berhadapan muka baru hari ini. Emylia tak mempedulikan sikap si Bungsu yang terlongo seperti anak-anak melihat sirkus.

Dia membuka nasi bungkusnya. Nasi putih dengan sambal lado dan gulai ikan Patin. Sejenis ikan yang amat enak dikawasan sungai Siak. Dan dia mulai menyuap.



“Makanlah. Oh ya, ingin tahu bila engkau mengatakan nama Salma padaku? Nama itu berulang-ulang kau sebut dalam tidurmu.”



Muka si Bungsu benar-benar merah padam. Bicara perempuan ini ceplas-ceplos saja. Tak berpematang dan tak berbandrol mulutnya, mana bisa dia menghadapi wanita demikian.

Dia beranjak dari tempat duduknya. Pergi ke jendela. Mengintai dari balik gordyn ke bawah.



“Dekat pohon beringin, ada dua orang lelaki pura-pura memancing. Tapi mereka adalah anggota Nevis. Mata-mata Belanda. Mana ada orang memancing didekat akar beringin bukan? Di sana banyak orang mandi. Mereka mata-mata yang konyol….” Emylia bicara sambil tetap menyuap nasinya.



Si Bungsu menatap ke arah beringin yang disebutkannya. Dan di bawah pohon itu memang dia lihat kedua pemancing itu.

Sebenarnya bisa saja orang memancing di manapun. Tapi selain tempat itu ramai oleh orang mandi, hingga mustahil ada ikan yang ke sana, sikap kedua orang itu juga membuat si Bungsu hampir ketawa.

Kedua orang itu secara bergantian setiap sebentar menoleh ke pintu penginapan. Sama sekali mereka tak menyadari, bahwa mereka dimata-matai pula dari atas!

Si Bungsu meninggalkan jendela itu. Kembali ke meja makan. Mata Emylia sudah berair, mukanya merah padam. Hidungnya juga berair.



“Pedasy. Pedasy betul…” katanya menghapus air mata.



Namun dia melanjutkan juga menghabiskan nasinya. Selera makan si Bungsu timbul melihat cara makan perempuan ini. Apalagi melihat gulai ikan patin yang kini tinggal tulang belulangnya saja. Dia membuka bungkus nasinya yang masih panas. Mencuci tangan. Dan mulai menyuap. Di depannya Emylia menghembus-hembuskan nafasnya tiap sebentar karena kepedasan.



“He Salemo meleleh…nanti masuk mulut..” si Bungsu berkata.



Emylia tak mengerti apa yang dikatakan salemo, tapi karena mata si Bungsu menatap pada hidungnya, dia segera bisa menebak bahwa salemo itu pastilah air yang mengalir dari hidungnya. Mau tak mau si Bungsu juga ikut tertawa, sikap perempuan cantik ini terasa lawak di hatinya.

Dalam waktu tak begitu lama, si Bungsu selesai makan. Sementara Emylia menyuap gula pasir untuk menghilangkan pedas yang menyengat mulutnya. Si Bungsu kini berfikir, bagaimana cara sebaiknya agar perempuan ini mau beranjak dari biliknya. Dan Emylia memang membuktikan bahwa dia adalah seorang ahli ilmu jiwa yang tangguh. Dengan senyum tetap di bibirnya perempuan Amerika yang cantik ini lalu berkata:



“Sebelum anda usir saya keluar, lebih baik saya permisi dulu bukan? Tapi ingat setiap saat tentara Belanda akan datang kemari. Jika itu terjadi jangan malu-malu untuk meminta bantuan. Betapapun di dunia ini kita tak bisa hidup sendiri. Kita saling membutuhkan bantuan orang lain. Itu namanya hidup bermasyarakat. Nah, istirahatlah….”



Berkata begini perempuan itu mengambil bungkus nasi yang telah kosong itu. Kemudian keluar dari kamar, si Bungsu menarik nafas lega. Lalu mempelajari kamar itu baik-baik. Kalau sergapan Belanda datang dia harus bisa menyelamatkan diri sendiri. Tak menggantungkannya pada perempuan asing itu.

Dia meneliti jendela. Kalau dia keluar dari jendela ini maka dia akan tiba di jalan di depan penginapan. Dari sana rasanya tak mungkin menyelamatkan diri.

Belanda tentu meninggalkan pengawal di depan penginapan untuk menjaga setiap kemungkinan. Dia kemudian menoleh ke loteng. Tak ada bahagian yang bisa dibuka. Loteng penginapan itu terbuat dari papan yang dipakukan memanjang.



Maka tak ada jalan lain. Kalau datang lagi tentara Belanda menyergapnya jalan satu-satunya hanyalah melawan sampai mati. Tapi kemungkinan lain tetap ada. Yaitu pindah dari penginapan ini. Dengan adanya dua orang mata-mata Belanda di luar sana, yang pura-pura memancing itu, berarti Belanda telah menduga bahwa dia menginap di sini. Kini bagaimana keluar dari sini tanpa tak diketahui kedua orang mata-mata jahanam itu?

Dia raba lehernya. Berbalut dengan perban. Si Bungsu akhirnya memutuskan untuk istirahat sebentar. Dia harus mengumpulkan kekuatan dulu, Dia sudah bertekad untuk keluar dari penginapan ini. Dengan kesimpulan begitu dia lalu kembali membaringkan diri di atas tempat tidur dan meletakkan samurainya disampingnya. Dan matanya mulai memberat. Dia mendengar suara kaki melangkah dijenjang penginapan. Ada orang naik ke atas. Suara langkah itu sangat perlahan, tapi bagi telinganya yang sangat terlatih, suara itu amat jelas. Dia lihat pintunya didorong perlahan. Dia memegang samurai. Pintunya terbuka sedikit. Dia pura-pura tidur. Tapi bukan pura-pura, matanya memang sangat berat. Dia berusaha bangkit, tak bisa!



Kenapa tidak bisa? Dia buka matanya. Terbuka sedikit. Tapi tubuhnya terasa letih sekali. Di pintu sebuah kepala muncul. Dan dia segera mengenali wajah itu. Wajah salah seorang dari mata-mata yang tadi memancing di bawah sana.

Lelaki itu menatapnya. Kemudian masuk ke bilik. Ditangannya sebuah pisau. Si Bungsu berusaha mencabut samurai tapi tak bisa. Benar-benar tak bisa! Lelaki itu mengangkat pisaunya. Dan si Bungsu merasa betapa tangan kirinya disayat oleh pisau itu. Darah mengucur keluar.



Tapi lelaki itu tak meneruskan niatnya. Dia kemudian keluar dari kamar itu. Si Bungsu diantara rasa rasa kantuk dan lelahnya amat sangat, hanya bisa menatap. Kenapa mata-mata Belanda itu tak mau membunuh?

Tapi dia segera ingat sesuatu, Racun! Bukankah dia telah terluka dilehernya dengan pisau beracun. Dan meski dia tak ditikam langsung di jantungnya dia juga akan segera mati karena racun itu. Jahanam, benar-benar jahanam.



Atau barangkali dia memang tak dibunuh dengan sesuatu kesengajaan. Yaitu agar dia tetap hidup sampai Belanda datang menangkapnya? Racun itu hanya sekadar untuk melumpuhkannya saja. Dia melihat tangan kirinya yang luka. Darah mengalir membasahi alas kasur. Rasa lelahnya dia tekan. Kantuknya lenyap melihat luka dan karena berang dihatinya.

Dia bangkit. Meski dengan perasaan tak stabil dia berjalan ke pintu. Dan saat itu dia lihat lelaki tadi memasuki kamar Emylia.

Perempuan itu tengah berbaring tak berbaju ketika kedua lelaki yang pura-pura memancing itu masuk. Perempuan itu kaget.



“Mau apa kalian masuk…..?” bentaknya sambil bangkit tanpa mempedulikan dadanya yang telanjang. Namun kedua lelaki pribumi itu menatapnya dengan jijik.

“Mata-mata jahanam!” kedua lelaki itu mendesis.



Dan sebelum Emylia sempat berbuat apa-apa yang seorang menghujamkan pisau ditangannya ke dada perempuan tersebut.

Perempuan itu tersentak. Terhenyak ke kasus. Lelaki itu mencabut pisaunya. Darah menyembur. Dan kedua lelaki itu cepat mengindar ketika di luar sana terdengar suara deru mobil berhenti di depan hotel. Ketika mereka keluar dari bilik, mereka berpapasan dengan si Bungsu. Si Bungsu masih sempat melihat Emylia terbaring dengan darah membasahi dada.



“Jahanam. Mata-mata jahanam!” si Bungsu berteriak sambil mencabut samurainya.



Tapi kedua lelaki itu telah jauh di gang penginapan tersebut. Di bawah suara derap sepatu terdengar memasuki penginapan.



“Ikut kami kalau kau mau selamat!” salah seorang di antara lelaki itu berkata pada si Bungsu.



Anak muda itu mendengar suara derap sepatu di bawah jadi sadar bahwa Belanda datang untuk menangkapnya. Sesaat dia menoleh pada Emylia. Perempuan itu juga kebetulan tengah menatap padanya. Dia tak sampai hati membiarkan begitu saja perempuan yang telah membantunya itu.

Dan melangkah masuk. Membungkuk dekat tubuh Emylia.



“Larilah… Bungsu…. Belanda datang untuk menangkapmu. Aku…. Aku mencintaimu…Bungsu!” dan matanya terpejam. Dan dia mati…!

“Jahanam! Kubunuh mereka!” si Bungsu memaki.



Dan dia mendengar suara langkah sepatu mulai menaiki jenjang menuju ke tingkat atas dimana dia berada. Dengan cepat dia lari keluar. Di ujung gang, mata-mata tadi masih tegak, nampaknya dia menghalangi jalan si Bungsu untuk keluar.



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 056

No comments:

Post a Comment