Perempuan
Amerika itu tanpa memakai baju berjalan menuju pintu. Kemudian dia tegak dengan
menyembunyikan sekerat tubuhnya di balik pintu dan menjulurkan bahagian leher
ke atas dicelah pintu yang terbuka.
“Saya tidak
melihat apa-apa. Suami saya sedang demam. Apakah lelaki itu amat berbahaya?”
Perempuan itu
bicara dalam bahasa Inggris. Kapten itu, dan tiga orang bawahannya menelan
ludah melihat tubuh perempuan Amerika yang montok itu. Yang tersebeng-sebeng
dari celah pintu yang terbuka sedikit. Perempuan itu hanya memakai celana Jean
panjang tanpa baju.
“Ya. Ya madam,
dia berbahaya. Hati-hatilah, kata orang dia sangat cepat dengan pedang
samurainya. Seperti setan saja. Nah, maaf, kami harus pergi. Semoga suami madam
cepat sembuh…..” Dan dengan memberi salut, Kapten itu itu turun kembali ke
bawah. Sementara perempuan itu masih tegak dipintu.
Di bawah, masih
terdengar pembicaraan tentara Belanda itu dengan beberapa lelaki. Kemudian
terdengar deru modil menjauh.
Dan sepi!
Mereka pasti
berusaha menangkapnya. Kalau Belanda sudah mengetahui, bahwa orang yang
membunuh serdadunya mempergunakan samurai tentu mereka sudah mendapat informasi
pula, bahwa pembunuh itu melarikan diri ke arah pelabuhan.
Dan si Bungsu
memang terpaksa berdiam saja dalam kamarnya seperti yang diucapkan perempuan
berat bernama Emylia itu. Dia tak habis pikir terhadap perempuan yang satu ini.
Kecantikan yang luar biasa, dengan titel Profesor pula, benar-benar
mengagumkan.
Dan pikirannya
melayang lagi pada Salma yang dia tinggalkan di Bukittinggi. Dia menatap jari
manisnya. Cincin itu terpasang disana. Cincin bermata berlian. Sedang mengapa
gadis itu? Apakah sudah kawin?
“Hmm, cincin
yang bagus…..” si Bungsu kaget mendengar ucapan itu.
Dan yang
berkata tak lain daripada Emylia. Perempuan ini muncul dengan dua bungkus nasi
ditangannya. Dan kehadirannya yang perlahan itu ternyata tak diketahui oleh si
Bungsu.
“Jangan kaget
kalau saya bisa menebak, bahwa cincin itu pastilah tanda mata dari seorang
gadis yang cantik. Hanya saya tak tahu, apakah gadis itu di Payakumbuh atau
Bukittinggi….” Emylia berkata sambil meletakkan nasi di atas sebuah piring.
Kemudian
mengambil dua buah gelas. Mengisinya dengan air teh dari ceret kecil di atas
meja di sudut kamar.
“Engkau lebih
mirip tukang tenung….” Si Bungsu berkata jengkel tapi mau tak mau dia mengagumi
ketepatan terkaan perempuan asing ini. Emylia tertawa renyai.
“Tukang tenung
sama dengan tukang sihir bukan? Hmm, saya juga termasuk yang mempercayai ilmu
itu. Karena dia bersangkut paut dengan alam bawah sadar kita. Tenung atau sihir
bukan semacam pekerjaan ajaib. Dia hanya pekerjaan pemusatan konsentrasi yang
menyerang sendi-sendi bawah sadar orang lain. Tapi saya bukan tukang tenung.
Tidak pula tukang sihir, saya hanya menduga-duga. Kalau bukan pemberian seorang
yang amat berkesan secara mendalam, tentu engkau takkan melihat cincin itu
demikian terharunya”.
Si Bungsu jadi
merah mukanya karena malu.
“Dan kalau
seorang lelaki merenung sebuah cincin, pastilah yang memberinya seorang
perempuan. Dan kalau saya boleh menerka lebih lanjut maka gadis yang memberi
cincin itu pastilah bernama Salma…”
Sampai disini
si Bungsu benar-benar tak dapat menahan rasa kagetnya. Bahkan kagetnya
bercampur dengan perasaan ngeri. Perempuan ini benar-benar Jihin pikirnya.
“Jangan menatap
saya dengan mata membelalak begitu Bungsu. Kenapa harus heran kalau saya
mengetahui nama gadismu itu? Saya tak menenungnya. Saya ketahui nama itu dari
mulutmu sendiri. Nah kini mari kita makan dulu….”
Tapi mana bisa
si Bungsu makan. Kapan dia mengatakan nama Salma pada perempuan ini. Tak
pernah. Bahkan berhadapan muka baru hari ini. Emylia tak mempedulikan sikap si
Bungsu yang terlongo seperti anak-anak melihat sirkus.
Dia membuka
nasi bungkusnya. Nasi putih dengan sambal lado dan gulai ikan Patin. Sejenis
ikan yang amat enak dikawasan sungai Siak. Dan dia mulai menyuap.
“Makanlah. Oh
ya, ingin tahu bila engkau mengatakan nama Salma padaku? Nama itu
berulang-ulang kau sebut dalam tidurmu.”
Muka si Bungsu
benar-benar merah padam. Bicara perempuan ini ceplas-ceplos saja. Tak
berpematang dan tak berbandrol mulutnya, mana bisa dia menghadapi wanita
demikian.
Dia beranjak
dari tempat duduknya. Pergi ke jendela. Mengintai dari balik gordyn ke bawah.
“Dekat pohon
beringin, ada dua orang lelaki pura-pura memancing. Tapi mereka adalah anggota
Nevis. Mata-mata Belanda. Mana ada orang memancing didekat akar beringin bukan?
Di sana banyak orang mandi. Mereka mata-mata yang konyol….” Emylia bicara
sambil tetap menyuap nasinya.
Si Bungsu
menatap ke arah beringin yang disebutkannya. Dan di bawah pohon itu memang dia
lihat kedua pemancing itu.
Sebenarnya bisa
saja orang memancing di manapun. Tapi selain tempat itu ramai oleh orang mandi,
hingga mustahil ada ikan yang ke sana, sikap kedua orang itu juga membuat si
Bungsu hampir ketawa.
Kedua orang itu
secara bergantian setiap sebentar menoleh ke pintu penginapan. Sama sekali
mereka tak menyadari, bahwa mereka dimata-matai pula dari atas!
Si Bungsu
meninggalkan jendela itu. Kembali ke meja makan. Mata Emylia sudah berair,
mukanya merah padam. Hidungnya juga berair.
“Pedasy. Pedasy
betul…” katanya menghapus air mata.
Namun dia
melanjutkan juga menghabiskan nasinya. Selera makan si Bungsu timbul melihat
cara makan perempuan ini. Apalagi melihat gulai ikan patin yang kini tinggal
tulang belulangnya saja. Dia membuka bungkus nasinya yang masih panas. Mencuci
tangan. Dan mulai menyuap. Di depannya Emylia menghembus-hembuskan nafasnya
tiap sebentar karena kepedasan.
“He Salemo
meleleh…nanti masuk mulut..” si Bungsu berkata.
Emylia tak
mengerti apa yang dikatakan salemo, tapi karena mata si Bungsu menatap pada
hidungnya, dia segera bisa menebak bahwa salemo itu pastilah air yang mengalir
dari hidungnya. Mau tak mau si Bungsu juga ikut tertawa, sikap perempuan cantik
ini terasa lawak di hatinya.
Dalam waktu tak
begitu lama, si Bungsu selesai makan. Sementara Emylia menyuap gula pasir untuk
menghilangkan pedas yang menyengat mulutnya. Si Bungsu kini berfikir, bagaimana
cara sebaiknya agar perempuan ini mau beranjak dari biliknya. Dan Emylia memang
membuktikan bahwa dia adalah seorang ahli ilmu jiwa yang tangguh. Dengan senyum
tetap di bibirnya perempuan Amerika yang cantik ini lalu berkata:
“Sebelum anda
usir saya keluar, lebih baik saya permisi dulu bukan? Tapi ingat setiap saat
tentara Belanda akan datang kemari. Jika itu terjadi jangan malu-malu untuk
meminta bantuan. Betapapun di dunia ini kita tak bisa hidup sendiri. Kita
saling membutuhkan bantuan orang lain. Itu namanya hidup bermasyarakat. Nah,
istirahatlah….”
Berkata begini
perempuan itu mengambil bungkus nasi yang telah kosong itu. Kemudian keluar
dari kamar, si Bungsu menarik nafas lega. Lalu mempelajari kamar itu baik-baik.
Kalau sergapan Belanda datang dia harus bisa menyelamatkan diri sendiri. Tak
menggantungkannya pada perempuan asing itu.
Dia meneliti
jendela. Kalau dia keluar dari jendela ini maka dia akan tiba di jalan di depan
penginapan. Dari sana rasanya tak mungkin menyelamatkan diri.
Belanda tentu
meninggalkan pengawal di depan penginapan untuk menjaga setiap kemungkinan. Dia
kemudian menoleh ke loteng. Tak ada bahagian yang bisa dibuka. Loteng
penginapan itu terbuat dari papan yang dipakukan memanjang.
Maka tak ada
jalan lain. Kalau datang lagi tentara Belanda menyergapnya jalan satu-satunya
hanyalah melawan sampai mati. Tapi kemungkinan lain tetap ada. Yaitu pindah
dari penginapan ini. Dengan adanya dua orang mata-mata Belanda di luar sana,
yang pura-pura memancing itu, berarti Belanda telah menduga bahwa dia menginap
di sini. Kini bagaimana keluar dari sini tanpa tak diketahui kedua orang
mata-mata jahanam itu?
Dia raba
lehernya. Berbalut dengan perban. Si Bungsu akhirnya memutuskan untuk istirahat
sebentar. Dia harus mengumpulkan kekuatan dulu, Dia sudah bertekad untuk keluar
dari penginapan ini. Dengan kesimpulan begitu dia lalu kembali membaringkan
diri di atas tempat tidur dan meletakkan samurainya disampingnya. Dan matanya
mulai memberat. Dia mendengar suara kaki melangkah dijenjang penginapan. Ada
orang naik ke atas. Suara langkah itu sangat perlahan, tapi bagi telinganya
yang sangat terlatih, suara itu amat jelas. Dia lihat pintunya didorong
perlahan. Dia memegang samurai. Pintunya terbuka sedikit. Dia pura-pura tidur.
Tapi bukan pura-pura, matanya memang sangat berat. Dia berusaha bangkit, tak
bisa!
Kenapa tidak
bisa? Dia buka matanya. Terbuka sedikit. Tapi tubuhnya terasa letih sekali. Di
pintu sebuah kepala muncul. Dan dia segera mengenali wajah itu. Wajah salah
seorang dari mata-mata yang tadi memancing di bawah sana.
Lelaki itu
menatapnya. Kemudian masuk ke bilik. Ditangannya sebuah pisau. Si Bungsu
berusaha mencabut samurai tapi tak bisa. Benar-benar tak bisa! Lelaki itu
mengangkat pisaunya. Dan si Bungsu merasa betapa tangan kirinya disayat oleh
pisau itu. Darah mengucur keluar.
Tapi lelaki itu
tak meneruskan niatnya. Dia kemudian keluar dari kamar itu. Si Bungsu diantara
rasa rasa kantuk dan lelahnya amat sangat, hanya bisa menatap. Kenapa mata-mata
Belanda itu tak mau membunuh?
Tapi dia segera
ingat sesuatu, Racun! Bukankah dia telah terluka dilehernya dengan pisau
beracun. Dan meski dia tak ditikam langsung di jantungnya dia juga akan segera
mati karena racun itu. Jahanam, benar-benar jahanam.
Atau barangkali
dia memang tak dibunuh dengan sesuatu kesengajaan. Yaitu agar dia tetap hidup
sampai Belanda datang menangkapnya? Racun itu hanya sekadar untuk
melumpuhkannya saja. Dia melihat tangan kirinya yang luka. Darah mengalir
membasahi alas kasur. Rasa lelahnya dia tekan. Kantuknya lenyap melihat luka
dan karena berang dihatinya.
Dia bangkit.
Meski dengan perasaan tak stabil dia berjalan ke pintu. Dan saat itu dia lihat
lelaki tadi memasuki kamar Emylia.
Perempuan itu
tengah berbaring tak berbaju ketika kedua lelaki yang pura-pura memancing itu
masuk. Perempuan itu kaget.
“Mau apa kalian
masuk…..?” bentaknya sambil bangkit tanpa mempedulikan dadanya yang telanjang.
Namun kedua lelaki pribumi itu menatapnya dengan jijik.
“Mata-mata
jahanam!” kedua lelaki itu mendesis.
Dan sebelum
Emylia sempat berbuat apa-apa yang seorang menghujamkan pisau ditangannya ke
dada perempuan tersebut.
Perempuan itu
tersentak. Terhenyak ke kasus. Lelaki itu mencabut pisaunya. Darah menyembur.
Dan kedua lelaki itu cepat mengindar ketika di luar sana terdengar suara deru
mobil berhenti di depan hotel. Ketika mereka keluar dari bilik, mereka
berpapasan dengan si Bungsu. Si Bungsu masih sempat melihat Emylia terbaring
dengan darah membasahi dada.
“Jahanam.
Mata-mata jahanam!” si Bungsu berteriak sambil mencabut samurainya.
Tapi kedua
lelaki itu telah jauh di gang penginapan tersebut. Di bawah suara derap sepatu
terdengar memasuki penginapan.
“Ikut kami
kalau kau mau selamat!” salah seorang di antara lelaki itu berkata pada si Bungsu.
Anak muda itu
mendengar suara derap sepatu di bawah jadi sadar bahwa Belanda datang untuk menangkapnya.
Sesaat dia menoleh pada Emylia. Perempuan itu juga kebetulan tengah menatap
padanya. Dia tak sampai hati membiarkan begitu saja perempuan yang telah
membantunya itu.
Dan melangkah
masuk. Membungkuk dekat tubuh Emylia.
“Larilah…
Bungsu…. Belanda datang untuk menangkapmu. Aku…. Aku mencintaimu…Bungsu!” dan
matanya terpejam. Dan dia mati…!
“Jahanam!
Kubunuh mereka!” si Bungsu memaki.
Dan dia
mendengar suara langkah sepatu mulai menaiki jenjang menuju ke tingkat atas
dimana dia berada. Dengan cepat dia lari keluar. Di ujung gang, mata-mata tadi
masih tegak, nampaknya dia menghalangi jalan si Bungsu untuk keluar.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 056
No comments:
Post a Comment