Bedil mereka
yang terkokang tetap diarahkan pada ketiga lelaki tersebut. Maut benar-benar
mengiringi langkah ketiga lelaki ini. Dan si Bungsu anak muda yang ditempa di rimba
raya gunung Sago itu, adalah orang pertama yang mencium bahaya maut ini!
Inderanya yang
amat tajam terhadap bahaya yang akan menimpa dirinya membuat seluruh tubuhnya
menegang. Dia tak mengetahui pembicaraan serdadu KL yang berbahasa Belanda itu.
Namun nalurinya
yang tajam, matanya yang terlatih, dapat membaca niat serdadu-serdadu Belanda
tersebut. Dia membaca niat dari cahaya mata mereka.
Dia yakin,
keenam serdadu itu akan membunuh kedua lelaki ini. Dan membunuh kedua mereka
berarti membunuh dirinya yang tercekik dan terancam oleh pisau yang alangkah
tajamnya!
Soalnya kini,
bagaimana harus mengatakannya pada lelaki yang mengancamnya dan menduga bahwa
dia adalah mata-mata Nevis?
Tak ada waktu.
Benar-benar tak ada waktu ! Dia kini harus mendahului Belanda-Belanda itu.
Harus. Kalau tidak, mereka bertiga akan mati. Dia segera tahu bahwa kedua
lelaki yang mengancamnya ini adalah pejuang-pejuang Indonesia.
Dan kini
langkah demi langkah mereka mendekati keenam serdadu KL itu untuk menuju
keluar. Lelaki yang mengancam si Bungsu, segera pula membuat rencana. Dia akan
mengancam mata-mata ini untuk naik ke Jeep yang sedang ditunggui sopir.
Dia akan
memaksa untuk membawa Jeep itu keluar kota. Dengan demikian pelarian mereka
bisa lebih cepat. Dan kini, mereka berada dua langkah dari pintu dimana serdadu
itu tegak dengan diam. Selangkah lagi. Dan kini mereka persis berada sejajar
dengan serdadu itu.
Dan saat
itulah, dengan mempergunakan kesempatan yang amat kecil, si Bungsu mencoba
lewat dari lobang jarum!
Dia berteriak:
“Mereka akan
membunuh kita!” seiring pekiknya ini, sikunya dia hantam kerusuk kanan lelaki
yang mengancamnya dengan pisau itu.
Hantaman itu
membuat kaget lelaki tersebut. Namun dengan cepat pula si Bungsu mencekal
tangannya yang berpisau, melemparkannya jauh-jauh. Dan dalam jarak waktu yang
hanya dua detik, tangan kanannya menghunus Samurai!
Pada gebrakan
pertama, samurainya memakan leher Leutenant yang tegak di depannya. Sabetan
kedua memakan perut si Sersan!! Kedua pejuang itu merasa kaget. Serdadu-serdadu
itu kaget! Mereka menembak! Namun kedua orang Indonesia itu sudah waspada.
Mereka membungkuk dan pisau mereka bekerja.
Si Bungsu
menyabetkan lagi samurainya. Seorang serdadu lagi mati! Yang mengancamnya tadi
menghujamkan pisaunya kepada seorang kopral. Dan empat orang mati. Sebuah
letusan bergema lagi. Dan teman yang mengancam itu kena kepalanya pecah dan
mati.
Namun si Bungsu
berguling di tanah. Samurainya bekerja! Snapp! Snapp! Kedua serdadu KL yang
masih hidup mampus dimakan samurainya!
Ada sekitar
belasan manusia didekat kedai itu, semua mereka tertegak diam! Kejadian itu
amat cepat. Hanya dalam sepuluh hitungan! Alangkah cepatnya!
Tiba-tiba
mereka mendengar mesin Jeep dihidupkan. Lelaki yang mengancam si Bungsu itu menoleh,
si Bungsu juga. Sopir Jeep yang berpangkat Soldat (Prajurit) itu rupanya merasa
tak ada gunanya melawan. Dia memilih melarikan diri.
Dia memasukkan
perseneling mobilnya, dan tancap gas! Lari!
Namun lelaki
yang tadi mengancam si Bungsu dengan pisaunya, bergerak dengan cepat. Seperti
tadi, yaitu seperti dia menyerang si Bungsu dengan dua pisaunya, kali ini
tangannya juga bergerak.
Pisau yang
berada di tangan kanannya meluncur memburu Jeep yang rodanya mulai berputar.
Dan tiba-tiba jeep itu meluncur seperti disentakkan ke depan. Lepas! Tapi tak
jauh dari mereka lari. Jeep itu seperti meliuk.
Ke kiri, ke kanan.
Dan tiba-tiba berhenti menabrak sebuah kedai! Mereka berlarian ke sana. Dan
soldat yang menyopiri Jeep itu mati tertelungkup di stirnya dengan tengkuk
tertancap pisau! Lemparan lelaki itu tepat menghantam sasarannya. Diam-diam si
Bungsu memuji keahlian lelaki ini memainkan pisaunya.
Lelaki yang
tadi melemparkan pisau itu menatap pada si Bungsu. Si Bungsu juga menatap padanya.
“Maaf, saya
salah duga. Terimakasih atas bantuan saudara. Kita akan berjumpa lagi dalam
waktu dekat. Selamat berjuang. Merdeka!” Ucapan lelaki itu mengalir cepat dan
tegas.
Sehabis
ucapannya, sebelum si Bungsu cepat menyahut, lelaki itu menyelinap ke deretan
rumah penduduk. Kemudian menghilang. Si Bungsu tahu bahwa setiap detik bahaya
bisa mengancam jiwanya kalau dia tetap juga tegak disini.
Karenanya, dia
juga mengambil arah lain dari yang ditempuh oleh lelaki tadi. Dia juga
menyelinap ke balik rumah-rumah penduduk. Dan bergegas pergi ke arah pelabuhan!
Jauh dibelakangnya dia dengar suara deruman kendaraan militer mendekati tempat
tadi. Balatentara Belanda pasti telah munju tempat tersebut.
Dia percepat
langkahnya. Dia tak khawatir pada serdadu Belanda. Sebab mereka segera bisa
dikenali. Tubuh dan kulit mereka berbeda dengan kulitnya. Yang dia takutkan
adalah anggota-anggota Nevis dari bangsanya sendiri.
Mereka sulit
diketahui. Sebab mata-mata ini berpakaian seperti umumnya orang Indonesia dan
karena mereka juga bangsa Indonesia, maka mereka sulit diketahui. Si Bungsu
mempercepat langkah. Berusaha bergegas, tapi jangan sampai mencurigakan!
Peluh telah
meleleh ditubuhnya ketika dengan hati-hati dia menghampiri penginapan kecil
dimana dia tinggal.
Dia berhenti.
Memperhatikan dari kejauahan. Apakah ada hal-hal yang mencurigakan. Sepi.
Apakah sepi karena tak terjadi apa-apa atau sepi karena Belanda telah memasang
perangkap?
Tiba-tiba dia
lihat pemilik penginapan itu keluar bersama orang Amerika yang menyelidiki
Istana Siak Sri Indrapura. Mereka bicara sebentar, kemudian orang Amerika itu
pergi. Pemilik penginapan masuk kembali. Dan orang Amerika itu pergi sendiri
tanpa istrinya yang bertubuh montok, menggiurkan. Dan dari suasana itu, si
Bungsu mengetahui bahwa Belanda belum mencium jejaknya. Dia berjalan ke
penginapan.
Naik ke tingkat
dua dengan melewati tangga papan. Ketika dia baru saja di atas, dia berpapasan
dengan perempuan Amerika.
Perempuan
cantik itu terkejut, dia tertegun menatap si Bungsu. Namun si Bungsu bergegas
ke biliknya. Di biliknya dia mengambil bubuk obat yang dia bawa dari
Bukittinggi. Kemudian menebarkannya disepotong kain bersih. Kemudian mengambil
saputangannya. Membasahkannya dengan air dalam ceret kecil di atas meja. Dengan
saputangan basah itu dia bersihkan lukanya. Dan ia terhenti sebentar.
Ingatannya melayang pada Salma. Tanpa sengaja dia melihat cincin bermata
berlian di jari manisnya. Cincin yang diberikan Salma ketika dia akan berangkat
meninggalkan Bukittinggi.
Ah, terasa
benar betapa sepinya tanpa gadis itu.
Di Bukittinggi,
dia tak usah susah-susah mengurus dirinya yang luka. Berkali-kali dia kembali
dari perkelahian mengalami luka-luka. Dan Salma selalu merawatnya sampai
sembuh. Merawat dirinya dengan kasih sayang.
Dia menarik
nafas. Kemudian mengambil kain yang telah ditaburi bubuk obat itu. Kemudian
menempelkannya ke lehernya yang luka oleh pisau pejuang itu tadi.
Tapi ketika
akan melekatkannya, bubuk obat itu jatuh. Terserak dilantai. Tubuhnya terasa
lemah. Dia raba lehernya yang luka itu. Dan tiba-tiba dia merasa sesuatu yang
ganjil. Dia lihat telapak tangannya. Dia perhatikan kuku jari-jari tangannya.
Pucak agak kebiru-biruan. Ya Tuhan, racun, dia berbisik sendiri. Celaka,
dirinya bisa celaka. Dan kini panas mulai terasa menjalar. Pandangannya mulai
berkunang-kunang. Tapi belum begitu dia rasakan karena dia bergegas saja menuju
penginapan. Dan karena bergegas itu racun ternyata bekerja lebih cepat.
Jahanam!
Pejuang itu benar-benar jahanam. Mengapa dia tak memperingatkan ketika akan
berpisah tadi bahwa pisaunya beracun? Dia angkat cepat-cepat bubuk yang telah
dia serakkan lagi di kain itu. Dia berbaring, dan dia coba lekatkan kain
berbubuk itu ke lehernya. Namun lagi-lagi usahanya gagal.
Dan waktu
itulah pintu biliknya terbuka. Kepalanya sudah mulai pusing. Racun pisau
pejuang itu mulai menghilangkan kesadarannya.
Tangannya
meraih samurai dimeja. Bersiap terhadap kemungkinan masuknya Belanda.
Dan yang
berdiri dipintu memang orang yang berkulit putih. Berhidung mancung dan bermata
biru, berambut pirang. Tapi dia bukan Belanda.
Yang berdiri dipintu adalah wanita Amerika itu. Di tangannya terjinjing
sebuah ransel kecil, di luar ransel kecil itu ada tanda palang merah. Itulah
yang sempat diingat si Bungsu. Setelah itu dia tak sadar diri.
Yang masih
diingatnya dalam ketidaksadarannya itu adalah tentang diri Salma. Rasanya,
gadis itu datang merawat lukanya.
Rasanya dia
mencium bau harum yang biasanya dia cium dari tubuh gadis itu ketika dirawat
dulu.
“Diamlah agar
saya rawat luka abang…” suara gadis itu berbisik perlahan di telinganya.
Si Bungsu tak
mejawab. Dia rasakan gadis itu membalut luka di lehernya. Gadis itu
membersihkan pakaiannya. Matanya menatap loteng. Di loteng, seekor cecak tengah
mengintai lelatu yang merayap tak jauh dari mulutnya.
Cecak itu
menatap pada belatu itu dengan diam. Lelatu itu nampaknya tak sadar bahwa
dirinya diancam bahaya. Si Bungsu ingin berteriak mengusir cecak itu. Atau
ingin berteriak memperingatkan lelatu itu.
Tapi dia tak
bersuara. Cecak itu makin dekat. Dan si Bungsu yakin, bahwa mulut cecak itu
akan menerkam lelatu itu. Makin dekat-makindekat. Nafas si Bungsu memburu. Dia
ingin mencegah. Tapi…snap!! Cecak itu berhasil menangkap lelatu itu persih
tentang kepalanya!
Cecak itu
menutupkan mulutnya. Lelatu yang tubuhnya sudah masuk separoh itu meronta.
Menggelinjang berusaha mengeluarkan kepalanya yang tertelan. Kakinya
menerjang-nerjang. Tapi cecak itu melulurnya terus. Cecak itu sendiri
menggoyang kepalanya melawan gerakan lelatu itu. Dan akhirnya lelatu itu memang
tak berdaya untuk keluar dengan selamat dari mulut cecak.
Tubuh si Bungsu
sampai berpeluh melihat betapa lelatu itu teraniaya. Beberapa kali dia
menggeliat. Dan akhirnya dia tertidur pulas.
Entah berapa
lama dia tak sadar diri. Udara yang panas di kota itu membuat dia gelisah dan
perlahan membuka mata. Lambat-lambat matanya terbuka. Menatap ke loteng
penginapan.
Cecak yang
menatap lelatu tadi tak ada lagi di loteng. Dia merasa lehernya yang luka dan
agak dingin. Tangan kanannya terangkat meraba leher yang luka itu. Namun
tangannya tak pernah sampai ke sana. Ada sesuatu yang ganjil yang menghalangi
dirinya.
Selimut tebal
menutupi tubuhnya. Tapi ada sesuatu di samping. Tangannya meraba, ada orang.
Meski dengan kepala agak berdenyut dia menoleh ke kanan. Dengan mengucap
istighfar dia berusaha untuk bangkit takkala dilihatnya siapa yang berbaring di
sisinya di bawah satu selimut itu.
Orangnya tak
lain dari perempuan Amerika yang cantik itu. Tapi begitu dia berusaha untuk
bangkit, perempuan itu terbangun pula dari tidurnya yang letih. Dan sambil
miring ke kanan menghadap si Bungsu, perempuan itu tersenyum.
“Sudah merasa
agak baik?” perempuan itu bertanya dalam bahasa Indonesia yang fasih.
Si Bungsu tak
segera bisa menemukan jawaban. Dia segera ingin duduk. Tapi kembali maksudnya
tertahan. Bukan karena dia keenakan berbaring di sisi perempuan cantik bertubuh
ranum itu. Tidak.
Yang
menyebabkan dia tak bisa bergerak untuk bangkit adalah kesadaran bahwa di bawah
selimut yang menutupi tubuhnya, rasanya dia tak memakai apa-apa.
“tetaplah
berbaring. Racun pada luka itu amat berbisa. Untung saya cepat tahu dan punya
obat pemunahnya”. Perempuan Amerika itu berkata sambil keluar dari bawah
selimut. Kemudian melekatkan kembali pakaiannya. Tapi tiba-tiba terdengar suara
derap sepatu di tangga menuju ke atas.
Lalu terdengar
suara-suara tentara dalam bahasa Belanda diiringi bentakan dan gedoran pada
pintu kamar di empat kamar yang ada ditingkat dua penginapan tersebut.
Si Bungsu
menyambar samurainya yang terletak di atas meja. Tapi dia masih tetap
berbaring. Perempuan Amerika yang tengah berpakaian itu juga tertegun. Lalu
cepat-cepat membuka baju kembali. Dan masuk kebawah selimut disebelah si
Bungsu. Saat persis ketika pintu yang lupa mereka kunci dibuka oleh seorang
tentara Belanda.
Pintu itu
terbuka hanya sedetik setelah perempuan itu menutup kepala si Bungsu dengan
selimut.
“Tetaplah
berbaring diam…” bisik perempuan itu begitu pintu terbuka.
Dan dia sendiri
pura-pura kaget terpekik kecil sambil menutup dadanya yang telanjang dengan
tangan.
“Oh, sory!
Sory…!” tentara Belanda tersebut kaget dan buru-buru mundur. Tapi pintu tetap
terbuka.
“Maaf, kami
sedang mencari seorang lelaki Inlander yang memakai samurai atau sejenis pedang
yang amat tajam. Dia telah membunuh tujuh orang tentara Belanda siang tadi di
pasar. Apakah nona melihatnya disekitar daerah ini….?” Kapten yang membuka
pintu tadi berkata dari luar.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 055
No comments:
Post a Comment