Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 056

Bedil mereka yang terkokang tetap diarahkan pada ketiga lelaki tersebut. Maut benar-benar mengiringi langkah ketiga lelaki ini. Dan si Bungsu anak muda yang ditempa di rimba raya gunung Sago itu, adalah orang pertama yang mencium bahaya maut ini!

Inderanya yang amat tajam terhadap bahaya yang akan menimpa dirinya membuat seluruh tubuhnya menegang. Dia tak mengetahui pembicaraan serdadu KL yang berbahasa Belanda itu.

Namun nalurinya yang tajam, matanya yang terlatih, dapat membaca niat serdadu-serdadu Belanda tersebut. Dia membaca niat dari cahaya mata mereka.

Dia yakin, keenam serdadu itu akan membunuh kedua lelaki ini. Dan membunuh kedua mereka berarti membunuh dirinya yang tercekik dan terancam oleh pisau yang alangkah tajamnya!

Soalnya kini, bagaimana harus mengatakannya pada lelaki yang mengancamnya dan menduga bahwa dia adalah mata-mata Nevis?

Tak ada waktu. Benar-benar tak ada waktu ! Dia kini harus mendahului Belanda-Belanda itu. Harus. Kalau tidak, mereka bertiga akan mati. Dia segera tahu bahwa kedua lelaki yang mengancamnya ini adalah pejuang-pejuang Indonesia.



Dan kini langkah demi langkah mereka mendekati keenam serdadu KL itu untuk menuju keluar. Lelaki yang mengancam si Bungsu, segera pula membuat rencana. Dia akan mengancam mata-mata ini untuk naik ke Jeep yang sedang ditunggui sopir.

Dia akan memaksa untuk membawa Jeep itu keluar kota. Dengan demikian pelarian mereka bisa lebih cepat. Dan kini, mereka berada dua langkah dari pintu dimana serdadu itu tegak dengan diam. Selangkah lagi. Dan kini mereka persis berada sejajar dengan serdadu itu.



Dan saat itulah, dengan mempergunakan kesempatan yang amat kecil, si Bungsu mencoba lewat dari lobang jarum!

Dia berteriak:



“Mereka akan membunuh kita!” seiring pekiknya ini, sikunya dia hantam kerusuk kanan lelaki yang mengancamnya dengan pisau itu.



Hantaman itu membuat kaget lelaki tersebut. Namun dengan cepat pula si Bungsu mencekal tangannya yang berpisau, melemparkannya jauh-jauh. Dan dalam jarak waktu yang hanya dua detik, tangan kanannya menghunus Samurai!

Pada gebrakan pertama, samurainya memakan leher Leutenant yang tegak di depannya. Sabetan kedua memakan perut si Sersan!! Kedua pejuang itu merasa kaget. Serdadu-serdadu itu kaget! Mereka menembak! Namun kedua orang Indonesia itu sudah waspada. Mereka membungkuk dan pisau mereka bekerja.



Si Bungsu menyabetkan lagi samurainya. Seorang serdadu lagi mati! Yang mengancamnya tadi menghujamkan pisaunya kepada seorang kopral. Dan empat orang mati. Sebuah letusan bergema lagi. Dan teman yang mengancam itu kena kepalanya pecah dan mati.

Namun si Bungsu berguling di tanah. Samurainya bekerja! Snapp! Snapp! Kedua serdadu KL yang masih hidup mampus dimakan samurainya!



Ada sekitar belasan manusia didekat kedai itu, semua mereka tertegak diam! Kejadian itu amat cepat. Hanya dalam sepuluh hitungan! Alangkah cepatnya!

Tiba-tiba mereka mendengar mesin Jeep dihidupkan. Lelaki yang mengancam si Bungsu itu menoleh, si Bungsu juga. Sopir Jeep yang berpangkat Soldat (Prajurit) itu rupanya merasa tak ada gunanya melawan. Dia memilih melarikan diri.

Dia memasukkan perseneling mobilnya, dan tancap gas! Lari!

Namun lelaki yang tadi mengancam si Bungsu dengan pisaunya, bergerak dengan cepat. Seperti tadi, yaitu seperti dia menyerang si Bungsu dengan dua pisaunya, kali ini tangannya juga bergerak.



Pisau yang berada di tangan kanannya meluncur memburu Jeep yang rodanya mulai berputar. Dan tiba-tiba jeep itu meluncur seperti disentakkan ke depan. Lepas! Tapi tak jauh dari mereka lari. Jeep itu seperti meliuk.

Ke kiri, ke kanan. Dan tiba-tiba berhenti menabrak sebuah kedai! Mereka berlarian ke sana. Dan soldat yang menyopiri Jeep itu mati tertelungkup di stirnya dengan tengkuk tertancap pisau! Lemparan lelaki itu tepat menghantam sasarannya. Diam-diam si Bungsu memuji keahlian lelaki ini memainkan pisaunya.

Lelaki yang tadi melemparkan pisau itu menatap pada si Bungsu.  Si Bungsu juga menatap padanya.



“Maaf, saya salah duga. Terimakasih atas bantuan saudara. Kita akan berjumpa lagi dalam waktu dekat. Selamat berjuang. Merdeka!” Ucapan lelaki itu mengalir cepat dan tegas.



Sehabis ucapannya, sebelum si Bungsu cepat menyahut, lelaki itu menyelinap ke deretan rumah penduduk. Kemudian menghilang. Si Bungsu tahu bahwa setiap detik bahaya bisa mengancam jiwanya kalau dia tetap juga tegak disini.

Karenanya, dia juga mengambil arah lain dari yang ditempuh oleh lelaki tadi. Dia juga menyelinap ke balik rumah-rumah penduduk. Dan bergegas pergi ke arah pelabuhan! Jauh dibelakangnya dia dengar suara deruman kendaraan militer mendekati tempat tadi. Balatentara Belanda pasti telah munju tempat tersebut.

Dia percepat langkahnya. Dia tak khawatir pada serdadu Belanda. Sebab mereka segera bisa dikenali. Tubuh dan kulit mereka berbeda dengan kulitnya. Yang dia takutkan adalah anggota-anggota Nevis dari bangsanya sendiri.

Mereka sulit diketahui. Sebab mata-mata ini berpakaian seperti umumnya orang Indonesia dan karena mereka juga bangsa Indonesia, maka mereka sulit diketahui. Si Bungsu mempercepat langkah. Berusaha bergegas, tapi jangan sampai mencurigakan!

Peluh telah meleleh ditubuhnya ketika dengan hati-hati dia menghampiri penginapan kecil dimana dia tinggal.



Dia berhenti. Memperhatikan dari kejauahan. Apakah ada hal-hal yang mencurigakan. Sepi. Apakah sepi karena tak terjadi apa-apa atau sepi karena Belanda telah memasang perangkap?

Tiba-tiba dia lihat pemilik penginapan itu keluar bersama orang Amerika yang menyelidiki Istana Siak Sri Indrapura. Mereka bicara sebentar, kemudian orang Amerika itu pergi. Pemilik penginapan masuk kembali. Dan orang Amerika itu pergi sendiri tanpa istrinya yang bertubuh montok, menggiurkan. Dan dari suasana itu, si Bungsu mengetahui bahwa Belanda belum mencium jejaknya. Dia berjalan ke penginapan.

Naik ke tingkat dua dengan melewati tangga papan. Ketika dia baru saja di atas, dia berpapasan dengan perempuan Amerika.

Perempuan cantik itu terkejut, dia tertegun menatap si Bungsu. Namun si Bungsu bergegas ke biliknya. Di biliknya dia mengambil bubuk obat yang dia bawa dari Bukittinggi. Kemudian menebarkannya disepotong kain bersih. Kemudian mengambil saputangannya. Membasahkannya dengan air dalam ceret kecil di atas meja. Dengan saputangan basah itu dia bersihkan lukanya. Dan ia terhenti sebentar. Ingatannya melayang pada Salma. Tanpa sengaja dia melihat cincin bermata berlian di jari manisnya. Cincin yang diberikan Salma ketika dia akan berangkat meninggalkan Bukittinggi.

Ah, terasa benar betapa sepinya tanpa gadis itu.



Di Bukittinggi, dia tak usah susah-susah mengurus dirinya yang luka. Berkali-kali dia kembali dari perkelahian mengalami luka-luka. Dan Salma selalu merawatnya sampai sembuh. Merawat dirinya dengan kasih sayang.

Dia menarik nafas. Kemudian mengambil kain yang telah ditaburi bubuk obat itu. Kemudian menempelkannya ke lehernya yang luka oleh pisau pejuang itu tadi.

Tapi ketika akan melekatkannya, bubuk obat itu jatuh. Terserak dilantai. Tubuhnya terasa lemah. Dia raba lehernya yang luka itu. Dan tiba-tiba dia merasa sesuatu yang ganjil. Dia lihat telapak tangannya. Dia perhatikan kuku jari-jari tangannya. Pucak agak kebiru-biruan. Ya Tuhan, racun, dia berbisik sendiri. Celaka, dirinya bisa celaka. Dan kini panas mulai terasa menjalar. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Tapi belum begitu dia rasakan karena dia bergegas saja menuju penginapan. Dan karena bergegas itu racun ternyata bekerja lebih cepat.



Jahanam! Pejuang itu benar-benar jahanam. Mengapa dia tak memperingatkan ketika akan berpisah tadi bahwa pisaunya beracun? Dia angkat cepat-cepat bubuk yang telah dia serakkan lagi di kain itu. Dia berbaring, dan dia coba lekatkan kain berbubuk itu ke lehernya. Namun lagi-lagi usahanya gagal.

Dan waktu itulah pintu biliknya terbuka. Kepalanya sudah mulai pusing. Racun pisau pejuang itu mulai menghilangkan kesadarannya.

Tangannya meraih samurai dimeja. Bersiap terhadap kemungkinan masuknya Belanda.

Dan yang berdiri dipintu memang orang yang berkulit putih. Berhidung mancung dan bermata biru, berambut pirang. Tapi dia bukan Belanda.  Yang berdiri dipintu adalah wanita Amerika itu. Di tangannya terjinjing sebuah ransel kecil, di luar ransel kecil itu ada tanda palang merah. Itulah yang sempat diingat si Bungsu. Setelah itu dia tak sadar diri.

Yang masih diingatnya dalam ketidaksadarannya itu adalah tentang diri Salma. Rasanya, gadis itu datang merawat lukanya.

Rasanya dia mencium bau harum yang biasanya dia cium dari tubuh gadis itu ketika dirawat dulu.



“Diamlah agar saya rawat luka abang…” suara gadis itu berbisik perlahan di telinganya.



Si Bungsu tak mejawab. Dia rasakan gadis itu membalut luka di lehernya. Gadis itu membersihkan pakaiannya. Matanya menatap loteng. Di loteng, seekor cecak tengah mengintai lelatu yang merayap tak jauh dari mulutnya.

Cecak itu menatap pada belatu itu dengan diam. Lelatu itu nampaknya tak sadar bahwa dirinya diancam bahaya. Si Bungsu ingin berteriak mengusir cecak itu. Atau ingin berteriak memperingatkan lelatu itu.

Tapi dia tak bersuara. Cecak itu makin dekat. Dan si Bungsu yakin, bahwa mulut cecak itu akan menerkam lelatu itu. Makin dekat-makindekat. Nafas si Bungsu memburu. Dia ingin mencegah. Tapi…snap!! Cecak itu berhasil menangkap lelatu itu persih tentang kepalanya!

Cecak itu menutupkan mulutnya. Lelatu yang tubuhnya sudah masuk separoh itu meronta. Menggelinjang berusaha mengeluarkan kepalanya yang tertelan. Kakinya menerjang-nerjang. Tapi cecak itu melulurnya terus. Cecak itu sendiri menggoyang kepalanya melawan gerakan lelatu itu. Dan akhirnya lelatu itu memang tak berdaya untuk keluar dengan selamat dari mulut cecak.

Tubuh si Bungsu sampai berpeluh melihat betapa lelatu itu teraniaya. Beberapa kali dia menggeliat. Dan akhirnya dia tertidur pulas.



Entah berapa lama dia tak sadar diri. Udara yang panas di kota itu membuat dia gelisah dan perlahan membuka mata. Lambat-lambat matanya terbuka. Menatap ke loteng penginapan.

Cecak yang menatap lelatu tadi tak ada lagi di loteng. Dia merasa lehernya yang luka dan agak dingin. Tangan kanannya terangkat meraba leher yang luka itu. Namun tangannya tak pernah sampai ke sana. Ada sesuatu yang ganjil yang menghalangi dirinya.

Selimut tebal menutupi tubuhnya. Tapi ada sesuatu di samping. Tangannya meraba, ada orang. Meski dengan kepala agak berdenyut dia menoleh ke kanan. Dengan mengucap istighfar dia berusaha untuk bangkit takkala dilihatnya siapa yang berbaring di sisinya di bawah satu selimut itu.

Orangnya tak lain dari perempuan Amerika yang cantik itu. Tapi begitu dia berusaha untuk bangkit, perempuan itu terbangun pula dari tidurnya yang letih. Dan sambil miring ke kanan menghadap si Bungsu, perempuan itu tersenyum.



“Sudah merasa agak baik?” perempuan itu bertanya dalam bahasa Indonesia yang fasih.



Si Bungsu tak segera bisa menemukan jawaban. Dia segera ingin duduk. Tapi kembali maksudnya tertahan. Bukan karena dia keenakan berbaring di sisi perempuan cantik bertubuh ranum itu. Tidak.

Yang menyebabkan dia tak bisa bergerak untuk bangkit adalah kesadaran bahwa di bawah selimut yang menutupi tubuhnya, rasanya dia tak memakai apa-apa.



“tetaplah berbaring. Racun pada luka itu amat berbisa. Untung saya cepat tahu dan punya obat pemunahnya”. Perempuan Amerika itu berkata sambil keluar dari bawah selimut. Kemudian melekatkan kembali pakaiannya. Tapi tiba-tiba terdengar suara derap sepatu di tangga menuju ke atas.

Lalu terdengar suara-suara tentara dalam bahasa Belanda diiringi bentakan dan gedoran pada pintu kamar di empat kamar yang ada ditingkat dua penginapan tersebut.

Si Bungsu menyambar samurainya yang terletak di atas meja. Tapi dia masih tetap berbaring. Perempuan Amerika yang tengah berpakaian itu juga tertegun. Lalu cepat-cepat membuka baju kembali. Dan masuk kebawah selimut disebelah si Bungsu. Saat persis ketika pintu yang lupa mereka kunci dibuka oleh seorang tentara Belanda.

Pintu itu terbuka hanya sedetik setelah perempuan itu menutup kepala si Bungsu dengan selimut.



“Tetaplah berbaring diam…” bisik perempuan itu begitu pintu terbuka.



Dan dia sendiri pura-pura kaget terpekik kecil sambil menutup dadanya yang telanjang dengan tangan.



“Oh, sory! Sory…!” tentara Belanda tersebut kaget dan buru-buru mundur. Tapi pintu tetap terbuka.

“Maaf, kami sedang mencari seorang lelaki Inlander yang memakai samurai atau sejenis pedang yang amat tajam. Dia telah membunuh tujuh orang tentara Belanda siang tadi di pasar. Apakah nona melihatnya disekitar daerah ini….?” Kapten yang membuka pintu tadi berkata dari luar.



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 055

No comments:

Post a Comment