“Watashi o
wasurenaide kudasai…
Nakanaide
kuda-sai
Ame ga futtemo
ikimasu”
(Jangan lupakan
saya
Jangan menangis
Meskipun hujan
turun, saya akan pergi)
Nyanyian itu
adalah nyanyian pelaut-pelaut yang berangkat meninggalkan pelabuhan. Yang
menyanyi adalah Kenji abang Hannako. Dia tiba di pintu depan yang tertutup. Berhenti
sejenak di bawah teras depan. Membuka mantel tebalnya yang dipenuhi salju.
Mengipaskannya.
“Hanako-saaan……”
panggilnya sambil menyangkutkan mantelnya di paku di tiang depan.
Kemudian dengan
menjinjing Judoki (pakaian Judo) nya dia membuka pintu. Dia membuka pintu
sambil hidungnya mencium bau harum masakan Hannako yang terletak di meja.
Siulnya
berhenti. Dua lelaki berpotongan kasar yang tak dia kenal kelihatan duduk di
meja dan di kursi. Duduk dengan sikap yang benar-benar kurang ajar. Kedua orang
itu memandang padanya dengan sikap cengar cengir dan anggap enteng. Kenji masih
akan bersikap sopan bertanya siapa mereka, tapi pertanyaan itu dia lulur cepat
takkala dari pintu yang terbuka dia lihat Hannako terlentang tanpa pakaian. Dan
disampingnya berdiri seorang lelaki yang tengah menanggalkan celana.
“Hanako………!”
serunya sambil menghambur.
Namun secepat
itu pula kedua lelaki itu memegangnya. Dia meronta.
“Diamlah anak
baik. Adikmu tak apa-apa. Dia justru tengah merasakan nikmatnya hidup….”
Kenji
menggertakkan gigi. Dan tiba-tiba dengan sebuah bentakan nyaring, orang yang
memegang tangan kanannya dia renggutkan. Dan dengan sebuah bantingan yang telak
orang itu terhempas ke lantai. Tak hanya berhenti disitu, tangan kanannya
bergerak cepat pula. Dan yang tegak di kirinya kena bogem mentah yang tak
tanggung-tanggung. Sebuah pukulan karate bernama Cudan tsuki menghajar gigi
lelaki itu hingga rontok enam buah! Lelaki itu terlolong. Lelaki yang di kamar
mengurungkan niatnya. Menghambur ke luar kamar dan di tangannya memegang
samurai pendek.
“Hai! Berani
kau melawan Jakuza…” katanya sambil mengayunkan samurai pendek itu.
Namun Kenji
yang telah kalap melihat adiknya diperkosa menghantam tangan lelaki itu dengan
sebuah tendangan Mae Geri yang telak. Tangan orang itu berderak. Sikunya kena
tendangan Kenji. Samurainya terlempar ke atas dan menancap di loteng. Dan
serangan berikutnya merupakan sebuah tendangan Kikomi. Tendangan menyamping
yang menghajar dada lelaki itu. Dia tersurut dengan mata mendelik. Jantungnya
pecah kena tendang. Dan maut merenggutnya segera! Namun saat itu pula sebuah
tikaman samurai dari lelaki yang tadi dia banting tak bisa dihindarkan. Lelaki
itu, setelah merasakan sakit yang amat sangat, merangkak bangkit dan menghunus
samurainya. Dan ketika Kenji memusatkan amarah dan konsentrasinya pada lelaki
yang keluar dari kamar adiknya itu saat itu pula tikaman tiba.
Rusuknya terasa
pedih begitu samurai merobek kimono dan pakaian dalamnya. Darah menyembur.
Tikaman samurai itu cukup dalam dan memanjang. Dia berbalik, dan samurai itu
kembali menghajar perutnya. Dia terpekik. Perutnya robek dan darah menyembur
lagi. Dia jatuh terduduk. Dan saat itu pintu terbuka.
Di pintu tegak
si Bungsu! Kedua lelaki anggota Jakuza itu menoleh. Si Bungsu tegak dengan
mulut terpaut rapat. Matanya bersinar seperti api yang siap membakar.
“Siapa kau!”
desis lelaki yang memegang samurai itu.
Si Bungsu
menyapu ruangan itu dengan pandangan mata. Dan sekilas dia dapat menerka apa
yang terjadi. Teman anggota Jakuza yang pernah dia bunuh ketika menolong
Hannako di terowongan daerah Yotsui dulu, kini datang lagi mencari Hannako.
Dan dari pintu
kamar Kenji yang terbuka, dia melihat kaki sebatas paha Hannako terkulai ke
bawah tempat tidur.
“Siapa kau!”
Jepang bersamurai pendek dan bertubuh besar itu menggeram takkala melihat orang
asing yang baru masuk itu tak mengindahkan pertanyaan pertamanya.
“Saya malaikat
maut…..” desis si Bungsu sambil maju perlahan.
Di tangan
kirinya samurainya terpegang kukuh. Sementara tangan kanannya tergantung lemah.
Anggota Jakuza itu ingin segera menyudahi pekerjaannya. Dia maju menyongsong si
Bungsu.
“Bungsu-san…..larilah.
selamatkan dirimu. Mereka anggota Jakuza….” Suara Kenji terdengar lemah
memperingatkan.
Namun
peringatannya sudah terlambat. Karena saat itu anggota Jakuza itu telah
menghayunkan samurainya membabat perut si Bungsu. Anggota Jakuza adalah
bandit-bandit yang mahir dalam beladiri. Karate, Judo dan Aikido mereka kuasai
dengan baik. Hanya saja tadi mereka dilumpuhkan oleh Kenji karena tingkatan
kemahiran Kenji jauh lebih di atas mereka. Tapi selain beladiri tangan kosong,
mereka juga menguasai dengan sangat baik teknik samurai! Dan samurai adalah
sesuatu yang tak dipahami oleh Kenji. Dan kini anggota Jakuza itu tengah
memancungkan samurai pendeknya ke perut si Bungsu. Namun seperti kecepatan
cahaya, selarik sinar putih panjang memintas gerak samurai pendek itu. Gerak
samurai Jakuza itu terhenti. Ada rasa perih yang melumpuhkan terasa. Dan dengan
terkejut bercampur heran dia menatap dadanya berdarah. Memandang ke kiri ke
kenan. Dan dia berusaha melanjutkan gerak samurainya. Bukankah dia termasuk
seorang yang mahir dalam samurai? Tapi kembali sinar putih yang amat cepat itu
memintas. Dan kini tangannya yang memegang samurai itu putus. Potongan itu
jatuh ke lantai berikut samurai pendeknya. Kepala Jepang itu berpaling heran
dan takjub.
“Saya adalah
malaikat maut….” Si Bungsu mengulangi kata-katanya tadi.
Dan seiring
dengan itu samurainya bekerja lagi. Kepala anggota Jakuza itu terdongak ke
belakang. Lehernya hampir putus! Dia rubuh dan mati dengan darah
menyembur-nyembur dari leher dan tangan serta dadanya. Anggota Jakuza yang
seorang lagi, termasuk Kenji, ternganga melihat kejadian itu. Benar-benar
takjub dan kaget.
Perlahan si
Bungsu memalingkan tegak menghadap pada anggota Jakuza yang gemuk pendek itu.
Anggota Jakuza itu sudah hancur mentalnya. Dia menggigil. Dia memang pintar
memainkan samurai. Tapi melihat lelaki asing ini mempergunakan samurainya, dia
merasa beraknya hampir keluar.
“Ini bukan
orang, ini syetan. Hanya syetan yang bisa mempergunakan samurai secepat itu…”
hati lelaki itu berbisik kecu.
“Engkau saya
ampuni. Dan sampaikan pada pimpinanmu, di sini Kenji-san dan saya si Bungsu
dari Gunung Sago Indonesia, menanti kalian. Datanglah, dan akan kami nanti
dengan samurai di tangan. Sebagai bukti bahwa kami menantang Jakuza yang telah
menodai Hannako, bawa pesan berdarah ini…!!
Seiring
ucapannya, samurai keluar lagi dalam kecepatan kilat. Dan sebelum Kenji atau
lelaki Jakuza itu tahu apa yang dimaksud oleh si Bungsu dengan “Pesan Berdarah”
itu, anggota Jakuza itu terlolong. Tangan kananya putus hingga bahu! Darah
menyembur-nyembur dari bahu yang putus itu. Namun lelaki itu tak berani
bergerak. Sebab ujung samurai si Bungsu melekat di lehernya.
“Katakan pada
pimpinanmu, atau siapa saja di antara anggota Jakuza jahanam itu, jika mereka
berani mengganggu Hannako, Kenji atau adik-adiknya, mereka akan menerima nasib
seperti temanmu ini. Kini tinggalkan tempat ini segera!”
Dan lelaki itu
tak usah diperintah untuk kedua kalinya. Lepas saja dari “syetan samurai” itu
sudah mujur baginya. Dia segera angkat kaki seribu. Persetan dengan dua bangkai
temannya yang tergeletak dalam rumah itu. Dan lelaki itu tak mau melapor ke
rumah Kawabata. Buat apa dia ke sana. Kalau dia datang ke sana, dia pasti
disuruh menunjukkan rumah Hannako. Dan itu berarti harus berhadapan dengan anak
muda dari Indonesia itu kembali. Ai mak, berhadapan dengannya? Minta ampun. Daripada
berhadapan dengannya lebih baik bunuh diri pikirnya. Dan dengan pikiran begitu,
dia lalu berlari ke rumah sakit. Selesai mengobati tangannya yang pontong itu,
dia naik kereta api. Pulang ke kampungnya di mudik sana. Persetan dengan
Jakuza. Kalau mereka mau, biar berhadapan sendiri dengan anak muda itu, pikirnya.
Dan selama perjalanan menuju kampung, lelaki gemuk pendek bekas bandit itu tak
henti-hentinya mensyukuri nikmat Dewa yang telah memanjangkan umurnya.
Kalau anak muda
itu silap sedikit saja, dan samurainya dihadapkan ke jantungnya, iiii!
Dan dia berniat
untuk potong ayam sebagai tanda sukur bila sampai ke kampungnya.
Isteri dan
anak-anak serta mertuanya pasti akan kaget dan menangis melihat tangannya
putus. Tapi dia akan berduta, bahwa tangannya putus karena terjepit kendaraan
bermotor. Dan kalau mereka tak percaya, dia akan ceritakan bahwa masih untung
hanya kehilangan sebelah tangan. Bagaimna kalau dia kehilangan kepala? Dalam
perjalanan dengan kereta api itu, anggota Jakuza ini kembali membayangkan wajah
anak muda Indonesia itu. Berwajah tampan, pendiam tapi di dalamnya seperti ada
kawah berapi yang siap memuntahkan laharnya setiap saat. Bulu tengkuknya
merinding bila mengingat betapa cepatnya anak muda itu mempergunakan samurai.
Dia telah melihat beberapa orang Jepang yang mahir samuirai. Misalnya Kawabata,
gurunya sendiri. Tapi manakah yang lebih cepat? Ah, persetan pikirnya.
Tapi orang
gemuk pendek ini hanya dua hari hidup dengan tenteram dikampungnya.
Hari ketiga,
datang ke kampung itu empat orang lelaki. Meski dia tak kenal, tapi dari caranya,
dia tahu bahwa orang ini pastilah suruhan Kawabata, anggota Jakuza dari wilayah
lain.
Memang begitu
aturan permainan yang berlaku dalam Jakuza. Bila seorang anggota membelot
misalnya, maka yang akan membereskan si belot itu adalah anggota dari wilayah lain.
Dan si gemuk
pendek ini yakin bahwa Kawabata pasti menyuruh menyudahi nyawanya.
“Hmm, gemuk.
Kenapa kau pergi saja tanpa melapor pada Kawabata-san….” Yang memimpin utusan
itu bicara dengan suara baritonnya.
“Si gemuk” itu
hanya tersenyum.
Dia yakin orang
ini pasti tak begitu saja mau menyudahi nyawanya. Mereka ingin tahu lebih
dahulu persoalan Hannako dan kedua temannya yang mati.
“Saya masih ada
urusan lain yabg penting. Nanti saya menghadap pada Kawabata-san….” Dia
menjawab.
“Sekarang saja jelaskan.
Kawabata-san sedang ke Hokkaido…”
“Biar saya yang
menjelaskan sendiri padanya…”
“Jelaskan pada
kami….”
“Apakah kalian
ingin kekerasan?” si gemuk yang bertangan pontong itu menggertak.
Tapi dia salah
duga. Keempat lelaki ini memang sudah diperintahkan untuk menyudahinya bila dia
banyak tingkah. Salah seorang segera saja maju memukulinya. Tapi berbareng
dengan itu, si gemuk ini juga sudah siap dengan samurainya. Begitu lelaki itu
akan memukul si gemuk menghantamnya dengan samurai. Tak ampun lagi orang itu
terjungkal dengan dada tembus. Tapi itu pulalah pembelannya yang terakhir.
Sebab yang tiga orang lagi segera menikamnya dengan samurai. Tiga bilah samurai
segera melumpuhkannya. Si Gemuk itu rubuh. Dai menyeringai kesakitan.
“Jahanam
kalian….kalian akan disudahi oleh orang Indonesia itu….percayalah, saya berdoa
untuk itu…” dan dia mati.
Ketiga lelaki
anggota Jakuza itu saling pandang.
“Dia menyebut
Indonesia….” Salah seorang bicara.
“Apa yang dia
maksud…?”
Tak ada yang
mengerti. Dan mereka lalu pergi meninggalkan rumah itu persis ketika isteri si
gemuk itu pulang dari pasar bersama anaknya. Ketika mereka naik taksi, mereka
mendengar perempuan itu memekik. Dalam kekacauan setelah perang berakhir di
negeri ini, kerusuhan demi kerusuhan timbul terus hari demi hari. Kerusuhan
yang ditimbulkan oleh orang-orang yang ingin menangguk di air keruh. Untuk itu
korban berjatuhan. Mereka tak peduli apakah mereka akan membunuh orang lain,
ataupun saling bunuh sesama bangsanya sendiri. Yang dituju organisasi ini
adalah kekayaan untuk diri pribadi mereka,.
Ketika
perkelahian itu usai, ketika si gemuk itu melarikan diri dengan tangannya yang
putus sebelah, si Bungsu menghampiri Kenji.
“Bungsu-san…engkau
benar-benar luar biasa….Terimakasih, engkau kembali menyelamatkan kami…..”
“Tenanglah
Kenji-san…”
“Tolong lihat
bagaimana keadaan Hannako, dia…dia.. ya, Tuhan, tolonglah adikku itu
Bungsu-san…”
Bungsu segera
teringat Hannako.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 072
No comments:
Post a Comment