Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 074

Dia tegak dan masuk ke kamar, Hannako tengah duduk di sudut pembaringan dengan kain asal membalut tubuhnya saja.

Matanya berair menatap hampa ke depan.



“Hanako-san…”



Gadis itu tersentak. Dia makin menghindar ke sudut.



“Engkau tak apa-apa Hanako…?”

“Pergi, jangan dekati aku….pergi!”



Gadis itu berteriak.



“Tenanglah Hanako….” Si Bungsu berusaha mendekat.



Namun gadis itu melompat ke bawah dan berusaha untuk lari. Si Bungsu mencegatnya di pintu.



“Pergi! Jangan dekati aku….pergilah….!”



Gadis itu memukul bahu si Bungsu hingga kain yang menutupi tubuhnya jatuh lagi.



“Tenanglah Hanako, mereka yang mencemarkan dirimu telah kubunuh…tenanglah..” dan tiba-tiba gadis itu memeluk si Bungsu. Menangis di dadanya.



Si Bungsu mengambil kain dan menyelimutkan ke tubuh gadis malang itu, lalu mengangkatnya ke pembaringan. Gadis itu makin menjadi tangisnya.



“Nakanaide kudasai Hanako-san…nakanaide kudasai..” (Hanako, jangan menangis, jangan menangis..) katanya perlahan.

Tapi gadis itu menangis terus. Dia menelungkupkan wajahnya ke bantal.



“Mereka telah menodai saya Bungsu-san…mereka benar-benar jahanam…”

“Tenanglah…..”

“Bungsu-san, apa jadinya diriku. Aku tak berharga lagi…apa artinya seorang gadis bila telah ternoda…?”

“Tenanglah Hanako. Tuhan akan melindungimu. Tuhan menyayangi orang-orang yang teraniaya…”

“Tetapi Tuhan tak menolong kami. Budha tak menolong kami. Budha membiarkan diriku tercemar, Budha membiarkan abangku teraniaya. Mereka tak menolong kami dari kekejaman bangsa kami sendiri…”

“Tenanglah Hanako-san. Bukan saya yang menolong kalian. Saya hanya pejalan takdir Tuhan. Tuhan telah mengatur segalanya…tenanglah. Tabahkan hatimu. Saya akan membantu Kenji-san..”



Gadis itu bangkit, duduk dan tiba-tiba memeluk si Bungsu erat-erat.



“Terimakasih Bungsu-san. Kami tak lagi punya orang tua. Engkaulah kini tempat kami berlindung. Engkau dan Kenji-san. Jangan tinggalkan kami…”

“Saya akan membantu kalian Hannako, percayalah…”



Hannako beberapa saat masih menangis di bahunya. Kemudian si Bungsu membaringkannya kembali. Gadis ini benar-benar patut dikasihani. Dia mendapat goncangan jiwa yang dahsyat.

Di ruang tengah Kenji tengah berusaha merawat lukanya.



“Bagaimana adikku, Bungsu-san?”

“Dia tak apa-apa. Dia tengah istirahat….bagaimana lukamu Kenji-san..?

“Mereka memakai samurai… di kamarku ada obat Bungsu-san…tolonglah…”



Dan mereka sibuk mengurus luka-luka Kenji. Mujur Naruito adik lelaki Kenji tak di rumah.

Selesai merawat luka Kenji, si Bungsu memberesi ruang tengah yang berlumur darah itu. Dia mengintip keluar. Tak ada orang. Salju turun seperti kapas. Hari sudah sore.



“Kita buang kemana mayat ini Kenji-san?”

“Saya tak tahu harus dibuang ke mana Bungsu-san. Saya tak sanggup berpikir. Nasib kami, saya serahkan padamu…” Kenji berkata dari pembaringan dengan lemah. Dia cukup banyak mengeluarkan darah.



Bungsu bertindak cepat. Orang tak boleh tahu tentang apa yang telah terjadi di rumah ini. Terutama adik lelaki Kenji yang kecil. Bungsu mengangkat mayat itu satu persatu. Di belakang rumah mereka ada parit besar sekali. Parit ini dalam musim dingin begini penuh airnya. Airnya tak membeku karena seluruh air yang masuk ke sana disaring lewat penutup riol. Seluruh air akan berkumpul di saluran yang besarnya ada tiga meter bundaran.

Dan saluran induk pembuang kotoran ini berada di belakang rumah mereka. Tanpa banyak pikiran Bungsu membuang mayat itu ke dalam riol besar tersebut. Tak peduli apakah mayatnya dihanyutkan atau tidak. Persetan. Kemudian dia membersihkan darah yang bergelimang di lantai. Lalu mengepel lantai itu hingga kering. Ketika dia berhenti, dia melihat Hannako tegak di pintu. Gadis itu sejak tadi tegak di sana dengan tubuh lemah melihat si Bungsu bekerja.



“Bungsu-san…” katanya perlahan.



Si Bungsu tersenyum. Mendekati gadis itu. Memegang bahunya. Dan tiba-tiba gadis itu kembali memeluknya. Menangis lagi dipundaknya.



“Tenanglah Hanako, semuanya sudah lewat…” Hannako menggeleng.

“Belum ada yang lewat Bungsu-san. Ini baru permulaan. Jakuza tak pernah meninggalkan sisa bila ia membereskan suatu soal. Mereka akan datang lagi dalam jumlah yang lebih banyak. Dan mereka akan membunuh kita. Engkau pergilah jauh-jauh Bungsu-san. Selamatkan dirimu. Biarkan kami menyelesaikan soal ini sendiri. Ini persoalan kami Bungsu-san. Jangan libatkan dirimu terlalu jauh…”

“Tenanglah Hanako. Siapa bilang ini bukan urusanku. Bukankah aku justru yang memulai membuat soal dengan Jakuza. Yaitu takkala membunuh ke empat lelaki yang akan membawamu dari terowongan di daerah Yotsui dulu? Nah, akan kita lihat bagaimana akhirnya soal ini. Kita sudah memulai bersama, dan kita akan tetap berkumpul bersama sampai soal ini selesai..”



Hannako kembali menangis. Dia beru menghentikan tangisnya ketika di luar terdengar suara anak-anak menyanyi. Naruito pulang dari sekolah. Dia masuk dengan melompat gembira. Namun terhenti dan membungkuk dalam-dalam memberi hormat takkala di balik pintu dia lihat si Bungsu tegak sambil tersenyum.



“Selamat sore Bungsu-san…” katanya.

“Selamat sore Naruito, kenapa sore baru pulang?

“Saya sudah bilang sama kakak tadi, bahwa ada acara di sekolah…mana kakak?”



Hanako mendengar adiknya pulang segera ke kamar mandi membersihkan diri. Dia tak ingin adiknya mengetahui bencana yang telah menimpa mereka siang ini.



“Kakakmu di kamar. Nah, letakkanlah buku. Sudah saatnya kita makan bukan?”

“Haii…!” seru anak itu sambil berlari ke kamarnya.



Sementara itu Hannako muncul di kamar makan menyiapkan makanan adiknya. Mereka memang belum ada yang makan sejak siang tadi.



“Engkau bisa iku makan bersama Kenji-san?”



Si Bungsu bertanya pada Kenji yang terbaring di tempat tidurnnya.



“Ya, saya akan ikut makan. Perut saya memang lapar. Tapi, apa jawab saya kalau Ito bertanya tentang luka ini?”



Mereka bertatapan. Tak ada yang bicara.



“Katakan saja engkau cedera dalam latihan…”

“Mereka tahu, dalam latihan Karate dan Judo tak dipergunakan senjata tajam…”

“Bagaimana kalau dikatakan bahwa engkau mendapat kecelakaan mobil ketika ke pasar tadi?”

“Ya, itu lebih baik…” kata Kenji sambil bangkit.



Dan ketika makan Naruito menanyakan luka Kenji. Dan mereka menjawabnya sesuai rencana semula. Lalu hari-hari setelah itu, mereka lalui penuh ketegangan. Pagi, siang, sore, petang dan malam mereka menanti dengan tegang. Tak seorangpun yang bisa tidur dengan lelap.

Jakuza seperti akan tiba setiap saat. Mereka demikian tegangnya. Hingga Hannako jatuh demam. Meski demikian, Naruito tetap disuruh sekolah seperti biasa. Anak itu akan tetap aman. Sebab mereka pergi dan pulang sekolah dijemput oleh bus sekolah yang dijaga oleh petugas keamanan. Kepada kedua kanak-kanak itu kejadian yang menimpa mereka tetap dirahasiakan. Akhirnya suatu malam.



“Kenji-san….kita bisa gila menanti begini…” si Bungsu berkata perlahan agar tak membangunkan Hannako yang baru saja tidur. Saat itu sudah lewat tengah malam.

“Ya. Begini memang taktik Jakuza dalam menghancurkan mental lawan yang mereka anggap kuat Bungsu-san…”

“Mereka mengharap kita lengah. Atau menyerah. Atau mengharap kita pindah dan mereka menyikat kita di perjalanan…”



Si Bungsu menarik nafas panjang mendengar penjelasan Kenji. Dan akhirnya si Bungsu memutuskan untuk datang sendiri kerumah Kawabata! Menanti atau mendatangi, akhirnya toh sama saja. Yaitu pertarungan hidup atau mati. Perbedaan antara menanti dan mendatangi adalah lama dan cepatnya pertarungan itu terjadi. Jika Jakuza ingin menyiksa mental mereka lebih lama, maka itu berarti penantian itu bisa sebulan, dua bulan atau lebih.

Dalam saat penantian begitu, keseimbangan jiwa dan keteguhan mental benar-benar diuji.

Mungkin dalam penantian itu mereka lengah. Menyangka Jakuza telah melupakan peristiwa itu. Dan disaat lengah itulah Jakuza beraksi. Atau kalau tidak lengah, maka mereka yang menanti dengan tegang itu bisa pecah sarafnya. Hanya soalnya dia kini sendiri. Kalau saja Kenji tidak luka parah, maka dia yakin bisa berbuat lebih banyak jika pergi berdua.

Tapi kini Kenji luka parah. Dan kini masih belum pulih. Dia tak memberitahu Kenji akan niatnya itu. Yang jelas dia harus menyelesaikan masalah ini secepat mungkin. Betapapun jua, Kenji dan adik-adkinya harus dia bantu. Dia berhutang budi banyak pada Kenji yang telah mengajarnya bahasa Jepang. Yang telah mengajarkan padanya tentang segala sesuatu kehidupan di negeri ini. Dia datang kemari untuk membunuh orang Jepang. Dia datang karena orang Jepang telah melaknati negeri dan keluarganya. Dia datang sendiri, ternyata ada keluarga Jepang yang mau bersahabat dengannya. Yang mengajarkan padanya tentang tatacara kehidupan negeri asing ini. Kalau tak ada Kenji, dia tak tahu bagaimana dia hidup di Tokyo ini. Bayangkan, berada di suatu negeri yang asing sama sekali. Asing bahasa dan asing segala-galanya. Dia datang hanya dengan modal dendam di hati, samurai di tangan dan keberanian di dada. Hanya itu modalnya. Dan di negeri ini modal itu ditambah oleh Kenji dan adik-adiknya. Dan kini Kenji serta dik-adiknya terancam bahaya. Bukankah dia harus membelanya?



Esoknya, sehabis makan pagi, dia berkata akan pergi ke stasiun kereta api. Siang itu di rumah Kawabata ada rapat penting yang dihadiri oleh Tokugawa. Yaitu kepala Jakuza untuk wilayah Tokyo dan sekitarnya. Rapat itu dihadiri oleh dua puluh anggota pilihan. Ada pengangkatan kepala-kepala Cabang baru. Dalam organisasi Jakuza ada suatu wilayah tertentu yang dikepalai oleh pimpinan cabang. Saat ini Tokyo dibagi dalam 12 cabang utama. Dan Tokyo merupakan kota kedua bagi organisasi Jakuza. Kota pertamanya adalah Kyoto. Yaitu suatu kota yang terletak sekitar 500 kilometer di selatan Tokyo.



Wilayah Tokyo dan sekitarnya dipimpin oleh Tokugawa. Tokugawa adalah keluarga turunan samurai yang tersohor sejak zaman dahulu. Dari suku Tokugawa inilah lahir pahlawan-pahlawan samurai yang tersohor di seluruh Jepang. Dinasti Tokugawa terkenal dengan pemerintahannya yang bersih. Dari suku mereka lahir perwira-perwiara yang tangguh. Prajurit-prajurit yang bersedia mati untuk kerajaannya. Dan kalau ada Tokugawa yang hari ini menjadi seorang kepala begal seperti organisasi Jakuza ini, maka itu hanyalah sebagai kewajaran proses zaman saja. Tak seluruh suku pahlawan akan melahirkan pahlawan. Ada juga diantaranya yang jadi pengkhianat. Sama halnya, tak semua penjahat melahirkan turunan penjahat. Ada pula yang melahirkan penegak hukum, ulama atu pendidik.



Mereka sedang mengangkat minuman sake atas selesainya pemilihan pimpinan cabang yang baru takkala seorang anak muda tiba-tiba saja sudah berada di ujung ruangan.



“Gomenkudasai…” katanya tenang.



Suaranya menyebabkan gelas-gelas yang diangkat untuk meminum sake itu pada terhenti. Dan dengan cawan masih terangkat, semua kepala menoleh ke ujung ruangan. Semua mereka, tak terkecuali Kawabata, merasa heran atas kehadiran orang asing bertongkat ini. Tokugawa yang bermata tajam segera dapat mengetahui bahwa yang di tangan orang asing itu bukanlah tongkat biasa.


Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 073

No comments:

Post a Comment