Dia tegak dan
masuk ke kamar, Hannako tengah duduk di sudut pembaringan dengan kain asal
membalut tubuhnya saja.
Matanya berair
menatap hampa ke depan.
“Hanako-san…”
Gadis itu
tersentak. Dia makin menghindar ke sudut.
“Engkau tak
apa-apa Hanako…?”
“Pergi, jangan
dekati aku….pergi!”
Gadis itu
berteriak.
“Tenanglah
Hanako….” Si Bungsu berusaha mendekat.
Namun gadis itu
melompat ke bawah dan berusaha untuk lari. Si Bungsu mencegatnya di pintu.
“Pergi! Jangan
dekati aku….pergilah….!”
Gadis itu
memukul bahu si Bungsu hingga kain yang menutupi tubuhnya jatuh lagi.
“Tenanglah
Hanako, mereka yang mencemarkan dirimu telah kubunuh…tenanglah..” dan tiba-tiba
gadis itu memeluk si Bungsu. Menangis di dadanya.
Si Bungsu mengambil
kain dan menyelimutkan ke tubuh gadis malang itu, lalu mengangkatnya ke
pembaringan. Gadis itu makin menjadi tangisnya.
“Nakanaide
kudasai Hanako-san…nakanaide kudasai..” (Hanako, jangan menangis, jangan
menangis..) katanya perlahan.
Tapi gadis itu
menangis terus. Dia menelungkupkan wajahnya ke bantal.
“Mereka telah
menodai saya Bungsu-san…mereka benar-benar jahanam…”
“Tenanglah…..”
“Bungsu-san,
apa jadinya diriku. Aku tak berharga lagi…apa artinya seorang gadis bila telah
ternoda…?”
“Tenanglah Hanako.
Tuhan akan melindungimu. Tuhan menyayangi orang-orang yang teraniaya…”
“Tetapi Tuhan
tak menolong kami. Budha tak menolong kami. Budha membiarkan diriku tercemar,
Budha membiarkan abangku teraniaya. Mereka tak menolong kami dari kekejaman
bangsa kami sendiri…”
“Tenanglah
Hanako-san. Bukan saya yang menolong kalian. Saya hanya pejalan takdir Tuhan.
Tuhan telah mengatur segalanya…tenanglah. Tabahkan hatimu. Saya akan membantu
Kenji-san..”
Gadis itu
bangkit, duduk dan tiba-tiba memeluk si Bungsu erat-erat.
“Terimakasih
Bungsu-san. Kami tak lagi punya orang tua. Engkaulah kini tempat kami
berlindung. Engkau dan Kenji-san. Jangan tinggalkan kami…”
“Saya akan
membantu kalian Hannako, percayalah…”
Hannako
beberapa saat masih menangis di bahunya. Kemudian si Bungsu membaringkannya
kembali. Gadis ini benar-benar patut dikasihani. Dia mendapat goncangan jiwa
yang dahsyat.
Di ruang tengah
Kenji tengah berusaha merawat lukanya.
“Bagaimana
adikku, Bungsu-san?”
“Dia tak
apa-apa. Dia tengah istirahat….bagaimana lukamu Kenji-san..?
“Mereka memakai
samurai… di kamarku ada obat Bungsu-san…tolonglah…”
Dan mereka
sibuk mengurus luka-luka Kenji. Mujur Naruito adik lelaki Kenji tak di rumah.
Selesai merawat
luka Kenji, si Bungsu memberesi ruang tengah yang berlumur darah itu. Dia
mengintip keluar. Tak ada orang. Salju turun seperti kapas. Hari sudah sore.
“Kita buang
kemana mayat ini Kenji-san?”
“Saya tak tahu
harus dibuang ke mana Bungsu-san. Saya tak sanggup berpikir. Nasib kami, saya
serahkan padamu…” Kenji berkata dari pembaringan dengan lemah. Dia cukup banyak
mengeluarkan darah.
Bungsu
bertindak cepat. Orang tak boleh tahu tentang apa yang telah terjadi di rumah
ini. Terutama adik lelaki Kenji yang kecil. Bungsu mengangkat mayat itu satu
persatu. Di belakang rumah mereka ada parit besar sekali. Parit ini dalam musim
dingin begini penuh airnya. Airnya tak membeku karena seluruh air yang masuk ke
sana disaring lewat penutup riol. Seluruh air akan berkumpul di saluran yang
besarnya ada tiga meter bundaran.
Dan saluran induk
pembuang kotoran ini berada di belakang rumah mereka. Tanpa banyak pikiran
Bungsu membuang mayat itu ke dalam riol besar tersebut. Tak peduli apakah
mayatnya dihanyutkan atau tidak. Persetan. Kemudian dia membersihkan darah yang
bergelimang di lantai. Lalu mengepel lantai itu hingga kering. Ketika dia
berhenti, dia melihat Hannako tegak di pintu. Gadis itu sejak tadi tegak di
sana dengan tubuh lemah melihat si Bungsu bekerja.
“Bungsu-san…”
katanya perlahan.
Si Bungsu
tersenyum. Mendekati gadis itu. Memegang bahunya. Dan tiba-tiba gadis itu
kembali memeluknya. Menangis lagi dipundaknya.
“Tenanglah
Hanako, semuanya sudah lewat…” Hannako menggeleng.
“Belum ada yang
lewat Bungsu-san. Ini baru permulaan. Jakuza tak pernah meninggalkan sisa bila
ia membereskan suatu soal. Mereka akan datang lagi dalam jumlah yang lebih
banyak. Dan mereka akan membunuh kita. Engkau pergilah jauh-jauh Bungsu-san.
Selamatkan dirimu. Biarkan kami menyelesaikan soal ini sendiri. Ini persoalan
kami Bungsu-san. Jangan libatkan dirimu terlalu jauh…”
“Tenanglah
Hanako. Siapa bilang ini bukan urusanku. Bukankah aku justru yang memulai
membuat soal dengan Jakuza. Yaitu takkala membunuh ke empat lelaki yang akan
membawamu dari terowongan di daerah Yotsui dulu? Nah, akan kita lihat bagaimana
akhirnya soal ini. Kita sudah memulai bersama, dan kita akan tetap berkumpul
bersama sampai soal ini selesai..”
Hannako kembali
menangis. Dia beru menghentikan tangisnya ketika di luar terdengar suara
anak-anak menyanyi. Naruito pulang dari sekolah. Dia masuk dengan melompat
gembira. Namun terhenti dan membungkuk dalam-dalam memberi hormat takkala di balik
pintu dia lihat si Bungsu tegak sambil tersenyum.
“Selamat sore
Bungsu-san…” katanya.
“Selamat sore
Naruito, kenapa sore baru pulang?
“Saya sudah
bilang sama kakak tadi, bahwa ada acara di sekolah…mana kakak?”
Hanako
mendengar adiknya pulang segera ke kamar mandi membersihkan diri. Dia tak ingin
adiknya mengetahui bencana yang telah menimpa mereka siang ini.
“Kakakmu di
kamar. Nah, letakkanlah buku. Sudah saatnya kita makan bukan?”
“Haii…!” seru
anak itu sambil berlari ke kamarnya.
Sementara itu
Hannako muncul di kamar makan menyiapkan makanan adiknya. Mereka memang belum
ada yang makan sejak siang tadi.
“Engkau bisa
iku makan bersama Kenji-san?”
Si Bungsu
bertanya pada Kenji yang terbaring di tempat tidurnnya.
“Ya, saya akan
ikut makan. Perut saya memang lapar. Tapi, apa jawab saya kalau Ito bertanya
tentang luka ini?”
Mereka
bertatapan. Tak ada yang bicara.
“Katakan saja
engkau cedera dalam latihan…”
“Mereka tahu,
dalam latihan Karate dan Judo tak dipergunakan senjata tajam…”
“Bagaimana
kalau dikatakan bahwa engkau mendapat kecelakaan mobil ketika ke pasar tadi?”
“Ya, itu lebih
baik…” kata Kenji sambil bangkit.
Dan ketika
makan Naruito menanyakan luka Kenji. Dan mereka menjawabnya sesuai rencana
semula. Lalu hari-hari setelah itu, mereka lalui penuh ketegangan. Pagi, siang,
sore, petang dan malam mereka menanti dengan tegang. Tak seorangpun yang bisa tidur
dengan lelap.
Jakuza seperti akan
tiba setiap saat. Mereka demikian tegangnya. Hingga Hannako jatuh demam. Meski
demikian, Naruito tetap disuruh sekolah seperti biasa. Anak itu akan tetap
aman. Sebab mereka pergi dan pulang sekolah dijemput oleh bus sekolah yang
dijaga oleh petugas keamanan. Kepada kedua kanak-kanak itu kejadian yang
menimpa mereka tetap dirahasiakan. Akhirnya suatu malam.
“Kenji-san….kita
bisa gila menanti begini…” si Bungsu berkata perlahan agar tak membangunkan
Hannako yang baru saja tidur. Saat itu sudah lewat tengah malam.
“Ya. Begini
memang taktik Jakuza dalam menghancurkan mental lawan yang mereka anggap kuat
Bungsu-san…”
“Mereka
mengharap kita lengah. Atau menyerah. Atau mengharap kita pindah dan mereka
menyikat kita di perjalanan…”
Si Bungsu
menarik nafas panjang mendengar penjelasan Kenji. Dan akhirnya si Bungsu
memutuskan untuk datang sendiri kerumah Kawabata! Menanti atau mendatangi,
akhirnya toh sama saja. Yaitu pertarungan hidup atau mati. Perbedaan antara
menanti dan mendatangi adalah lama dan cepatnya pertarungan itu terjadi. Jika
Jakuza ingin menyiksa mental mereka lebih lama, maka itu berarti penantian itu
bisa sebulan, dua bulan atau lebih.
Dalam saat
penantian begitu, keseimbangan jiwa dan keteguhan mental benar-benar diuji.
Mungkin dalam
penantian itu mereka lengah. Menyangka Jakuza telah melupakan peristiwa itu.
Dan disaat lengah itulah Jakuza beraksi. Atau kalau tidak lengah, maka mereka
yang menanti dengan tegang itu bisa pecah sarafnya. Hanya soalnya dia kini
sendiri. Kalau saja Kenji tidak luka parah, maka dia yakin bisa berbuat lebih
banyak jika pergi berdua.
Tapi kini Kenji
luka parah. Dan kini masih belum pulih. Dia tak memberitahu Kenji akan niatnya
itu. Yang jelas dia harus menyelesaikan masalah ini secepat mungkin. Betapapun
jua, Kenji dan adik-adkinya harus dia bantu. Dia berhutang budi banyak pada
Kenji yang telah mengajarnya bahasa Jepang. Yang telah mengajarkan padanya
tentang segala sesuatu kehidupan di negeri ini. Dia datang kemari untuk
membunuh orang Jepang. Dia datang karena orang Jepang telah melaknati negeri
dan keluarganya. Dia datang sendiri, ternyata ada keluarga Jepang yang mau
bersahabat dengannya. Yang mengajarkan padanya tentang tatacara kehidupan
negeri asing ini. Kalau tak ada Kenji, dia tak tahu bagaimana dia hidup di
Tokyo ini. Bayangkan, berada di suatu negeri yang asing sama sekali. Asing
bahasa dan asing segala-galanya. Dia datang hanya dengan modal dendam di hati,
samurai di tangan dan keberanian di dada. Hanya itu modalnya. Dan di negeri ini
modal itu ditambah oleh Kenji dan adik-adiknya. Dan kini Kenji serta
dik-adiknya terancam bahaya. Bukankah dia harus membelanya?
Esoknya,
sehabis makan pagi, dia berkata akan pergi ke stasiun kereta api. Siang itu di
rumah Kawabata ada rapat penting yang dihadiri oleh Tokugawa. Yaitu kepala
Jakuza untuk wilayah Tokyo dan sekitarnya. Rapat itu dihadiri oleh dua puluh
anggota pilihan. Ada pengangkatan kepala-kepala Cabang baru. Dalam organisasi
Jakuza ada suatu wilayah tertentu yang dikepalai oleh pimpinan cabang. Saat ini
Tokyo dibagi dalam 12 cabang utama. Dan Tokyo merupakan kota kedua bagi
organisasi Jakuza. Kota pertamanya adalah Kyoto. Yaitu suatu kota yang terletak
sekitar 500 kilometer di selatan Tokyo.
Wilayah Tokyo
dan sekitarnya dipimpin oleh Tokugawa. Tokugawa adalah keluarga turunan samurai
yang tersohor sejak zaman dahulu. Dari suku Tokugawa inilah lahir
pahlawan-pahlawan samurai yang tersohor di seluruh Jepang. Dinasti Tokugawa
terkenal dengan pemerintahannya yang bersih. Dari suku mereka lahir
perwira-perwiara yang tangguh. Prajurit-prajurit yang bersedia mati untuk
kerajaannya. Dan kalau ada Tokugawa yang hari ini menjadi seorang kepala begal
seperti organisasi Jakuza ini, maka itu hanyalah sebagai kewajaran proses zaman
saja. Tak seluruh suku pahlawan akan melahirkan pahlawan. Ada juga diantaranya
yang jadi pengkhianat. Sama halnya, tak semua penjahat melahirkan turunan
penjahat. Ada pula yang melahirkan penegak hukum, ulama atu pendidik.
Mereka sedang
mengangkat minuman sake atas selesainya pemilihan pimpinan cabang yang baru
takkala seorang anak muda tiba-tiba saja sudah berada di ujung ruangan.
“Gomenkudasai…”
katanya tenang.
Suaranya
menyebabkan gelas-gelas yang diangkat untuk meminum sake itu pada terhenti. Dan
dengan cawan masih terangkat, semua kepala menoleh ke ujung ruangan. Semua
mereka, tak terkecuali Kawabata, merasa heran atas kehadiran orang asing
bertongkat ini. Tokugawa yang bermata tajam segera dapat mengetahui bahwa yang
di tangan orang asing itu bukanlah tongkat biasa.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 073
No comments:
Post a Comment