Melainkan
sebilah samurai! Perbedaan samurai biasa dengan samurai yang di tangan orang
asing itu adalah pada hulu dan sarungnya. Samurai anak muda ini sarungnya sudah
dibuat sedemikian rupa, sehingga jika mata tak terlalu tajam akan kelihatan
seperti tongkat kayu biasa saja. Namun Tokugawa memang seorang keturunan
samurai.
Dia mengenal
dengan baik puluhan jenis buatan samurai yang ada di seluruh Jepang. Dan sekali
pandang saja, melihat lengkung dan ukuran panjang samurai di tangan anak muda
itu, dia segera tahu bahwa anak muda itu memegang samurai buatan kota Sakamoto.
Yaitu sebuah kota kecil di tepi danau Biwa di Propinsi Chubu. Dan samurai dari
negeri tepi danau Biwa itu adalah salah satu diantara tiga samurai terbaik yang
dibuat oleh Jepang.
“Maafkan saya
mengganggu…” lelaki asing itu, yang tak lain daripada si Bungsu, berkata lagi.
Kawabata
memberi isyarat pada dua orang lelaki untuk menyuruh orang itu keluar. Tapi Tokugawa
memberi isyarat lain. Dia justru tertarik dengan kedatangan orang asing ini.
“Siapa anda?”
tanyanya sambil meletakkan cawan berisi sake yang belum diminum.
Ke 20 orang
pimpinan Jakuza daerah Tokyo itu ikut meletakkan cawan mereka seperti yang dilakukan
Tokugawa.
“Watashi wa
Indonesia-jin desu, Bungsu desu…” (nama saya Bungsu, saya orang Indonesia..)
katanya tenang.
“Aa, orang
Indonesia, Selamat datang. Anda rupanya datang dari jauh, mari silakan minum
bersama kami….” Tokugawa memberi isyarat pada pelayan.
Pelayan segera
mengisi sebuah cawan dengan sake. Karena si Bungsu tetap tak mendekat, maka
Tokugawa menyuruh mengantarkan Sake itu padanya dekat pintu.
“Terimalah.
Mari kita minum bersama. Kami baru saja mengangkat pimpinan-pimpinan cabang yang
baru. Sekalian sambil mengucapkan selamat datang pada anda, mari kita minum
sake…”
Tokugawa
mengangkat cangkirnya. Ke 20 orang pemuka Jakuza Tokyo itu, termasuk Kawabata
mengangkat cangkirnya. Si Bungsu menerima cangkir sake tersebut. Dan ketika
semua mengangkat cawan tinggi-tinggi, dia juga ikut mengangkatnya. Semua
memandang padanya sebelum meminum sakenya. Kemudian serentak mereka meminum
sake tersebut. Si Bungsu juga meminumnya. Selama di Jepang ini, dia sudah
terbiasa minum sake. Minuman itni memanaskan badan. Tak banyak bedanya dari air
tapai di kampungnya. Hanya saja sake yang dia minum di Jepang ini, kwalitasnya
lebih baik dan wangi serta lebih keras. Itu menyebabkan tubuh lebih cepat panas
dalam cuaca dingin bersalju seperti sekarang.
Tokugawa
meletakkan cangkirnya.
“Nah, anak muda
dari Indonesia, apa yang bisa kami bantu? Patut anda ketahui, kami adalah
kelompok Jakuza. Kau pernah dengar nama itu?”
“Di Indonesia
saya tak pernah mendengarnya. Saya hanya merasakan kekejaman tentara Jepang di
negeri saya itu. Saya baru mendengar nama Jakuza di Tokyo ini. Dan saya segera
melihat bahwa kelompok tuan adalah kelompok penjahat yang benar-benar tak kenal
peri kemanusiaan…”
Ke 20 anggota
pilihan Jakuza wilayah Tokyo itu pada menahan nafas mendengar kekurang ajaran
anak muda dari Indonesia itu. Mereka menahan nafas, karena yakin sebentar lagi
anak muda ini akan disembelih oleh Tokugawa.
Namun suatu
keanehan terjadi. Tokugawa justru tertawa menyeringai.
“Ya. Anda
benar. Kelompok kami adalah kelompok bandit. Nah, kalau sudah mendengar bahwa
kami adalah manusia yang tak berperi kemanusiaan, kenapa berani masuk kemari?’
Ucapan ini
adalah semacam ancaman. Dan ke 20 anggota Jakuza itu pada diam tak bergerak.
“Saya datang
mencari tuan Kawabata…” suara si Bungsu terdengar perlahan. Matanya meneliti
mencari mana lelaki yang bernama Kawabata itu.
Semua mata,
kecuali mata Tokugawa, pada menoleh pada seorang lelaki berdegap yang duduk
persisi di depan Tokugawa. Dan si Bungsu segera mengetahui, dialah Kawabata!
Dan dengan
cepat dia mengukur lelaki itu. Dia yakin lelaki itu adalah lelaki tangguh. Tapi
licik dan sadis. Kawabata sendiri kaget mendengar bahwa dialah yang dicari anak
muda ini. Dia benar-benar tak pernah mengenalnya.
“Hmm, ada perlu
apa engkau mencari salah seorang pimpinan cabang Jakuza anak muda?” suara
Tokugawa terdengar bergema.
“Saya mempunyai
perhitungan dengan dia…” kembali semua mata menatap pada Kawabata.
“Saya tak
mengenal… “ Kawabata coba memutus pembicaraan, tapi tangan Tokugawa yang
terangkat membuat dia terdiam.
“Teruskan anak
muda. Perhitungan apa yang ada diantara kalian berdua?” suara Tokugawa
terdengar lagi.
Si Bungsu
segera mengerti, orang inilah pastilah pimpinan Jakuza yang disegani. Sebab
semua hormat sekali padanya.
“Saya telah membunuh
lima orang anak buahnya” dan kali ini tak ada yang terdiam. Suara seperti lebah
terdengar berdengung. Tak kurang dari Tokugawa sendiri juga jadi kaget.
“Siapa yang kau
bunuh?”
“Empat orang
Jakuza yang beroperasi di terowongan bawah tanah di daerah Yotsui. Saat itu
mereka mencoba dengan kasar menangkap seorang gadis bernama Hannako. Saya telah
memintanya untuk melepaskan gadis itu dengan baik-baik. Tapi mereka melakukan
kekerasan. Maka saya terpaksa membunuhnya”
Kawabata jadi
merah mukanya. Semua yang hadir di sana jadi berpandangan. Mereka sudah lama
menyelidiki siapa yang membunuh keempat Jakuza itu. Mereka selama ini yakin
bahwa yang membunuh keempat anggota mereka adalah seorang samurai Jepang. Sebab
luka ditubuh anggota mereka jelas bekas samurai. Mana mereka pernah berfikir
bahwa ada orang asing yang melebihi kemahiran anggoat Jakuza memakai samurai. Kini
rupanya anak muda inilah yang telah membunuh anggota mereka itu. Betapa mereka
takkan kaget.
“Setelah itu,
mereka datang ke rumah kami di Uchibori Dori. Mereka memperkosa Hannako di sana.
Dan melukai kakaknya Kenji. Mereka datang bertiga. Yang satu mati di tangan
Kenji. Yang satu saya yang membunuhnya, yang satu lagi saya suruh menyampaikan
pesan kemari, pada Kawabata. Bahwa saya menanti Jakuza di rumah itu. Pesan itu
saya suruh sampaikan dengan memotong sebelah tangannya..”
Ruangan itu
benar-benar sepi seperti di kuburan,. Suara anak muda itu mengagetkan mereka.
Ceritanya seperti tak bisa mereka percayai. Namun itulah yang terjadi. Mereka
menatap anak muda itu dengan pandangan takjub. Mungkinkah anak Indonesia ini
sanggup melakukan seperti yang dia ceritakan?
“Apakah gadis
yang kau ceritakan itu, e…siapa namanya?’
“Hanako..”
“Ya, apakah
Hanako itu adalah isteri atau kekasihmu?” Suara Tokugawa terdengar lagi.
“Tidak”
“Lalu kenapa
engkau membelanya?”
Si Bungsu lalu
menceritakan pertemuannya dengan Hannako di terowongan di daerah Yotsui itu.
Kemudian ternyata Hannako adalah adik Kenji. Teman sekapal yang telah
mengajarnya bahasa dan tatacara kehidupan Jepang.
“Tapi terlepas
dari masalah hubungan saya dengan Kenji, saya merasa perlakukan Kawabata atau
Jakuza terhadap gadis itun sudah sangat keterlaluan. Terlalu biadab. Untuk
itulah saya datang kemari. Mereka kini dicekam ketakutan di rumahnya. Mereka
tak lagi punya ayah dan ibu. Setiap saat mereka merasa Jakuza yang ditakuti
itu, yang bagi saya tak lain daripada bajingan busuk yang hanya berani menindas
orang lemah, akan datang mencelakai mereka. Kini saya datang untuk membuat
perhitungan..”
Tokugawa sampai
berdiri mendengar ucapan anak muda ini. Yang lain juga pada tegak segera. Suara
kursi bergeser terdengar bising sejenak. Mereka semua memakai kimono pelindung
udara dingin. Kini mereka membuat setengah lingkaran. Di ujung lingkaran yang
setengah itu, tegak si Bungsu!
“Perhitungan
bagaimana yang maksud akan kau buat dengan Kawabata?” Suara Tokugawa terdengar
berat dan mengandung amarah.
Si Bungsu tahu
gelagat itu. Dia kini berada di sarang Harimau. Namun dia datang sendiri.
Kalaupun dia mati, maka takkan ada seorang pun yang akan menangisinya di
Minangkabau sana. Tak seorangpun!
“Maaf, bolehkah
saya tahu siapa tuan?” suara si Bungsu tetap tenang.
Tangan kirinya
memegang samurai dengan kukuh. Sementara tangan kanannya lemas tergantung.
Seperti tak bertenaga. Namun Tokugawa arif bahwa tangan kanan anak muda ini
siap menyebar maut, setiap detik. Dia arif benar akan hal itu. Dan dia segera
dapat mengetahui bahwa anak muda ini adalah seorang samurai yang otodidak.
Seorang yang mahir karena belajar sendiri. Diam-diam dia merasa bangga. Bangga
bahwa ada anak muda asing yang mahir mempergunakan samurai. Senjata kebanggan
sukunya. Suku Tokugawa yang masyur turun temurun.
“Nama saya
Tokugawa. Saya pimpinan bandit yang tak berperikemanusiaan, Jakuza, untuk
daerah Tokyo dan sekitarnya….” Tokugawa memperkenalkan diri sambil mengulangi
ucapan si Bungsu tadi.
Si Bungsu
membungkuk memberi hormat. Dan tanpa merasa rendah diri Tokugawa juga
membungkuk dalam-dalam membalas penghormatan itu. Ke 20 anggota Jakuza disana
menjadi heran bercampur kaget melihat sikap pimpinan mereka ini. Bahkan
Gubernur atau Walikota sendiri tak pernah dia hormati seperti itu.
“Tokugawa..”
“Ya, saya
Tokugawa. Kau pernah mendengar nama itu?”
“Maaf, saya
banyak mendengar nama Tokugawa. Tapi yang saya dengar hanya tentang yang
baik-baik saja. Tokugawa yang saya dengar adalah turunan pahlawan sejati.
Turunan samurai yang tak ada duanya si seluruh Jepang. Tak pernah saya dengar
seorang Tokugawa yang kepala bandit”
Ke 20 Jakuza lainnya
jadi menciut saking takutnya akan murka yang akan menyembur dari Tokugawa. Anak
muda ini benar-benar mencari penyakit, pikir mereka. Tapi lagi-lagi mereka
melihat suatu keanehan. Tokugawa bukannya murka. Malah tegak dengan diam dan
menatap dengan tepat-tepat pada si Bungsu.
“Terimakasih
atas peringatanmu anak muda. Engkau membangkitkan kebanggaan saya terhadap
keluarga Tokugawa. Akan saya ingat ucapanmu itu”
Semua orang
terdiam. Si Bungsu sendiri kaget, tak dia sangka orang tua ini sabarnya begitu
hebat.
“Nah,
katakanlah, apa perhitungan yang akan kau buat dengan Kawabata…”
“Saya datang
kemari untuk mengajukan dua hal. Pertama, hentikan mengganggu Hannako, Kenji
dan adiknya. Kedua, kalau hal itu tak dapat dilakukan dengan baik-baik, saya mempertaruhkan
jiwa saya agar Kawabata tidak menggangu gadis itu…”
Tokugawa diam.
Kawabata diam. Ke 20 anggota pimpinan Jakuza Tokyo itu diam. Tantangan anak
muda ini benar-benar luar biasa. Luar biasa beraninya. Luar biasa hebatnya.
“Apakah engkau
mencintai Hannako?” suara Tokugawa terdengar lagi.
Semua orang
saling diam menunggu jawaban anak muda itu…
“Tidak…saya
hanya menyayanginya….”
“Engkau
mempertaruhkan nyawa bagi orang yang tak kau cintai. Lalu apa sebenarnya alasan
pengorbananmu?”
Si Bungsu menatap
keliling. Menatap pada Tokugawa, tiba-tiba dia merasa simpati pada orang tua
gagah. Tiba-tiba dia teringat pada orang tuanya. Tokugawa dan seluruh anggota
Jakuza di ruangan itu jadi heran bercampur kaget takkala pipi anak muda itu
basah air mata.
“Saya datang
kemari karena seluruh keluarga saya telah punah dibunuh. Tak usah saya katakan
siapa yang membunuhnya. Saya merasa betapa pahitnya hidup tanpa ayah, tanpa ibu
dan tanpa saudara. Dan Kenji serta adik-adiknya juga akan mengalami nasib
seperti saya kalau Jakuza tak berhenti mencelakai mereka. Saya pertaruhkan
nyawa saya untuk mereka, agar mereka tak mengalami nasib malang seperti saya…”
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 074
No comments:
Post a Comment