Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 075

Melainkan sebilah samurai! Perbedaan samurai biasa dengan samurai yang di tangan orang asing itu adalah pada hulu dan sarungnya. Samurai anak muda ini sarungnya sudah dibuat sedemikian rupa, sehingga jika mata tak terlalu tajam akan kelihatan seperti tongkat kayu biasa saja. Namun Tokugawa memang seorang keturunan samurai.



Dia mengenal dengan baik puluhan jenis buatan samurai yang ada di seluruh Jepang. Dan sekali pandang saja, melihat lengkung dan ukuran panjang samurai di tangan anak muda itu, dia segera tahu bahwa anak muda itu memegang samurai buatan kota Sakamoto. Yaitu sebuah kota kecil di tepi danau Biwa di Propinsi Chubu. Dan samurai dari negeri tepi danau Biwa itu adalah salah satu diantara tiga samurai terbaik yang dibuat oleh Jepang.



“Maafkan saya mengganggu…” lelaki asing itu, yang tak lain daripada si Bungsu, berkata lagi.



Kawabata memberi isyarat pada dua orang lelaki untuk menyuruh orang itu keluar. Tapi Tokugawa memberi isyarat lain. Dia justru tertarik dengan kedatangan orang asing ini.



“Siapa anda?” tanyanya sambil meletakkan cawan berisi sake yang belum diminum.



Ke 20 orang pimpinan Jakuza daerah Tokyo itu ikut meletakkan cawan mereka seperti yang dilakukan Tokugawa.



“Watashi wa Indonesia-jin desu, Bungsu desu…” (nama saya Bungsu, saya orang Indonesia..) katanya tenang.

“Aa, orang Indonesia, Selamat datang. Anda rupanya datang dari jauh, mari silakan minum bersama kami….” Tokugawa memberi isyarat pada pelayan.



Pelayan segera mengisi sebuah cawan dengan sake. Karena si Bungsu tetap tak mendekat, maka Tokugawa menyuruh mengantarkan Sake itu padanya dekat pintu.



“Terimalah. Mari kita minum bersama. Kami baru saja mengangkat pimpinan-pimpinan cabang yang baru. Sekalian sambil mengucapkan selamat datang pada anda, mari kita minum sake…”



Tokugawa mengangkat cangkirnya. Ke 20 orang pemuka Jakuza Tokyo itu, termasuk Kawabata mengangkat cangkirnya. Si Bungsu menerima cangkir sake tersebut. Dan ketika semua mengangkat cawan tinggi-tinggi, dia juga ikut mengangkatnya. Semua memandang padanya sebelum meminum sakenya. Kemudian serentak mereka meminum sake tersebut. Si Bungsu juga meminumnya. Selama di Jepang ini, dia sudah terbiasa minum sake. Minuman itni memanaskan badan. Tak banyak bedanya dari air tapai di kampungnya. Hanya saja sake yang dia minum di Jepang ini, kwalitasnya lebih baik dan wangi serta lebih keras. Itu menyebabkan tubuh lebih cepat panas dalam cuaca dingin bersalju seperti sekarang.

Tokugawa meletakkan cangkirnya.



“Nah, anak muda dari Indonesia, apa yang bisa kami bantu? Patut anda ketahui, kami adalah kelompok Jakuza. Kau pernah dengar nama itu?”

“Di Indonesia saya tak pernah mendengarnya. Saya hanya merasakan kekejaman tentara Jepang di negeri saya itu. Saya baru mendengar nama Jakuza di Tokyo ini. Dan saya segera melihat bahwa kelompok tuan adalah kelompok penjahat yang benar-benar tak kenal peri kemanusiaan…”



Ke 20 anggota pilihan Jakuza wilayah Tokyo itu pada menahan nafas mendengar kekurang ajaran anak muda dari Indonesia itu. Mereka menahan nafas, karena yakin sebentar lagi anak muda ini akan disembelih oleh Tokugawa.

Namun suatu keanehan terjadi. Tokugawa justru tertawa menyeringai.



“Ya. Anda benar. Kelompok kami adalah kelompok bandit. Nah, kalau sudah mendengar bahwa kami adalah manusia yang tak berperi kemanusiaan, kenapa berani masuk kemari?’



Ucapan ini adalah semacam ancaman. Dan ke 20 anggota Jakuza itu pada diam tak bergerak.



“Saya datang mencari tuan Kawabata…” suara si Bungsu terdengar perlahan. Matanya meneliti mencari mana lelaki yang bernama Kawabata itu.



Semua mata, kecuali mata Tokugawa, pada menoleh pada seorang lelaki berdegap yang duduk persisi di depan Tokugawa. Dan si Bungsu segera mengetahui, dialah Kawabata!

Dan dengan cepat dia mengukur lelaki itu. Dia yakin lelaki itu adalah lelaki tangguh. Tapi licik dan sadis. Kawabata sendiri kaget mendengar bahwa dialah yang dicari anak muda ini. Dia benar-benar tak pernah mengenalnya.



“Hmm, ada perlu apa engkau mencari salah seorang pimpinan cabang Jakuza anak muda?” suara Tokugawa terdengar bergema.

“Saya mempunyai perhitungan dengan dia…” kembali semua mata menatap pada Kawabata.

“Saya tak mengenal… “ Kawabata coba memutus pembicaraan, tapi tangan Tokugawa yang terangkat membuat dia terdiam.

“Teruskan anak muda. Perhitungan apa yang ada diantara kalian berdua?” suara Tokugawa terdengar lagi.



Si Bungsu segera mengerti, orang inilah pastilah pimpinan Jakuza yang disegani. Sebab semua hormat sekali padanya.



“Saya telah membunuh lima orang anak buahnya” dan kali ini tak ada yang terdiam. Suara seperti lebah terdengar berdengung. Tak kurang dari Tokugawa sendiri juga jadi kaget.



“Siapa yang kau bunuh?”

“Empat orang Jakuza yang beroperasi di terowongan bawah tanah di daerah Yotsui. Saat itu mereka mencoba dengan kasar menangkap seorang gadis bernama Hannako. Saya telah memintanya untuk melepaskan gadis itu dengan baik-baik. Tapi mereka melakukan kekerasan. Maka saya terpaksa membunuhnya”



Kawabata jadi merah mukanya. Semua yang hadir di sana jadi berpandangan. Mereka sudah lama menyelidiki siapa yang membunuh keempat Jakuza itu. Mereka selama ini yakin bahwa yang membunuh keempat anggota mereka adalah seorang samurai Jepang. Sebab luka ditubuh anggota mereka jelas bekas samurai. Mana mereka pernah berfikir bahwa ada orang asing yang melebihi kemahiran anggoat Jakuza memakai samurai. Kini rupanya anak muda inilah yang telah membunuh anggota mereka itu. Betapa mereka takkan kaget.



“Setelah itu, mereka datang ke rumah kami di Uchibori Dori. Mereka memperkosa Hannako di sana. Dan melukai kakaknya Kenji. Mereka datang bertiga. Yang satu mati di tangan Kenji. Yang satu saya yang membunuhnya, yang satu lagi saya suruh menyampaikan pesan kemari, pada Kawabata. Bahwa saya menanti Jakuza di rumah itu. Pesan itu saya suruh sampaikan dengan memotong sebelah tangannya..”



Ruangan itu benar-benar sepi seperti di kuburan,. Suara anak muda itu mengagetkan mereka. Ceritanya seperti tak bisa mereka percayai. Namun itulah yang terjadi. Mereka menatap anak muda itu dengan pandangan takjub. Mungkinkah anak Indonesia ini sanggup melakukan seperti yang dia ceritakan?



“Apakah gadis yang kau ceritakan itu, e…siapa namanya?’

“Hanako..”

“Ya, apakah Hanako itu adalah isteri atau kekasihmu?” Suara Tokugawa terdengar lagi.

“Tidak”

“Lalu kenapa engkau membelanya?”



Si Bungsu lalu menceritakan pertemuannya dengan Hannako di terowongan di daerah Yotsui itu. Kemudian ternyata Hannako adalah adik Kenji. Teman sekapal yang telah mengajarnya bahasa dan tatacara kehidupan Jepang.



“Tapi terlepas dari masalah hubungan saya dengan Kenji, saya merasa perlakukan Kawabata atau Jakuza terhadap gadis itun sudah sangat keterlaluan. Terlalu biadab. Untuk itulah saya datang kemari. Mereka kini dicekam ketakutan di rumahnya. Mereka tak lagi punya ayah dan ibu. Setiap saat mereka merasa Jakuza yang ditakuti itu, yang bagi saya tak lain daripada bajingan busuk yang hanya berani menindas orang lemah, akan datang mencelakai mereka. Kini saya datang untuk membuat perhitungan..”



Tokugawa sampai berdiri mendengar ucapan anak muda ini. Yang lain juga pada tegak segera. Suara kursi bergeser terdengar bising sejenak. Mereka semua memakai kimono pelindung udara dingin. Kini mereka membuat setengah lingkaran. Di ujung lingkaran yang setengah itu, tegak si Bungsu!



“Perhitungan bagaimana yang maksud akan kau buat dengan Kawabata?” Suara Tokugawa terdengar berat dan mengandung amarah.



Si Bungsu tahu gelagat itu. Dia kini berada di sarang Harimau. Namun dia datang sendiri. Kalaupun dia mati, maka takkan ada seorang pun yang akan menangisinya di Minangkabau sana. Tak seorangpun!



“Maaf, bolehkah saya tahu siapa tuan?” suara si Bungsu tetap tenang.



Tangan kirinya memegang samurai dengan kukuh. Sementara tangan kanannya lemas tergantung. Seperti tak bertenaga. Namun Tokugawa arif bahwa tangan kanan anak muda ini siap menyebar maut, setiap detik. Dia arif benar akan hal itu. Dan dia segera dapat mengetahui bahwa anak muda ini adalah seorang samurai yang otodidak. Seorang yang mahir karena belajar sendiri. Diam-diam dia merasa bangga. Bangga bahwa ada anak muda asing yang mahir mempergunakan samurai. Senjata kebanggan sukunya. Suku Tokugawa yang masyur turun temurun.



“Nama saya Tokugawa. Saya pimpinan bandit yang tak berperikemanusiaan, Jakuza, untuk daerah Tokyo dan sekitarnya….” Tokugawa memperkenalkan diri sambil mengulangi ucapan si Bungsu tadi.



Si Bungsu membungkuk memberi hormat. Dan tanpa merasa rendah diri Tokugawa juga membungkuk dalam-dalam membalas penghormatan itu. Ke 20 anggota Jakuza disana menjadi heran bercampur kaget melihat sikap pimpinan mereka ini. Bahkan Gubernur atau Walikota sendiri tak pernah dia hormati seperti itu.



“Tokugawa..”

“Ya, saya Tokugawa. Kau pernah mendengar nama itu?”

“Maaf, saya banyak mendengar nama Tokugawa. Tapi yang saya dengar hanya tentang yang baik-baik saja. Tokugawa yang saya dengar adalah turunan pahlawan sejati. Turunan samurai yang tak ada duanya si seluruh Jepang. Tak pernah saya dengar seorang Tokugawa yang kepala bandit”



Ke 20 Jakuza lainnya jadi menciut saking takutnya akan murka yang akan menyembur dari Tokugawa. Anak muda ini benar-benar mencari penyakit, pikir mereka. Tapi lagi-lagi mereka melihat suatu keanehan. Tokugawa bukannya murka. Malah tegak dengan diam dan menatap dengan tepat-tepat pada si Bungsu.



“Terimakasih atas peringatanmu anak muda. Engkau membangkitkan kebanggaan saya terhadap keluarga Tokugawa. Akan saya ingat ucapanmu itu”



Semua orang terdiam. Si Bungsu sendiri kaget, tak dia sangka orang tua ini sabarnya begitu hebat.



“Nah, katakanlah, apa perhitungan yang akan kau buat dengan Kawabata…”

“Saya datang kemari untuk mengajukan dua hal. Pertama, hentikan mengganggu Hannako, Kenji dan adiknya. Kedua, kalau hal itu tak dapat dilakukan dengan baik-baik, saya mempertaruhkan jiwa saya agar Kawabata tidak menggangu gadis itu…”



Tokugawa diam. Kawabata diam. Ke 20 anggota pimpinan Jakuza Tokyo itu diam. Tantangan anak muda ini benar-benar luar biasa. Luar biasa beraninya. Luar biasa hebatnya.



“Apakah engkau mencintai Hannako?” suara Tokugawa terdengar lagi.



Semua orang saling diam menunggu jawaban anak muda itu…



“Tidak…saya hanya menyayanginya….”

“Engkau mempertaruhkan nyawa bagi orang yang tak kau cintai. Lalu apa sebenarnya alasan pengorbananmu?”



Si Bungsu menatap keliling. Menatap pada Tokugawa, tiba-tiba dia merasa simpati pada orang tua gagah. Tiba-tiba dia teringat pada orang tuanya. Tokugawa dan seluruh anggota Jakuza di ruangan itu jadi heran bercampur kaget takkala pipi anak muda itu basah air mata.



“Saya datang kemari karena seluruh keluarga saya telah punah dibunuh. Tak usah saya katakan siapa yang membunuhnya. Saya merasa betapa pahitnya hidup tanpa ayah, tanpa ibu dan tanpa saudara. Dan Kenji serta adik-adiknya juga akan mengalami nasib seperti saya kalau Jakuza tak berhenti mencelakai mereka. Saya pertaruhkan nyawa saya untuk mereka, agar mereka tak mengalami nasib malang seperti saya…”


Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 074

No comments:

Post a Comment