Tokugawa merasa
jantungnya seperti ditikam mendengar ucapan anak muda asing ini. Di negerinya
ada orang asing yang mau mengorbankan dirinya demi membela anak-anak Jepang
dari penindasan. Dia adalah kepala bandit yang terkenal kejam. Namun mendengar
apa yang dikatakan anak muda dari Indonesia ini, hatinya jadi luluh.
“Bagaimana
engkau akan memaksakan Kawabata agar tak mengganggu Hanako?”
“Saya memang
tak punya kekuatan untuk memaksanya. Tapi sebagai seorang lelaki, saya
menantangnya untuk bertarung memakai samurai..”
Kembali
terdengar suara berdengung dalam ruangan itu mendengar tantangan anak muda ini.
Semua orang pada berbisik. Pada menatapnya. Dan tiba-tiba mereka semua baru
menyadari bahwa di tangan kiri anak muda itu sebenarnya tergenggam sebilah
samurai. Bukan tongkat kayu seperti yang mereka duga semula.
Tokugawa
menatap pada Kawabata. Menatap dengan sinar mata yang sulit diartikan. Kemudian
dia berpaling pada si Bungsu.
“Merupakan
kehormatan bagi saya, bahwa engkau menantang Jakuza dengan samurai. Saya,
Tokugawa, pimpinan Jakuza wilayah Tokyo sekitarnya, memberi jaminan padamu,
bahwa setelah pertarunganmu dengan Kawabata, tak perduli engkau kalah atau
menang, maka tak seorangpun anggota Jakuza yang akan mengganggu Hannako dan
Kenji serta adiknya”
Semua pimpinan
Jakuza dalam ruangan itu pada terdiam.
“Domo arigato
gozaimasu. Tapi, barangkali saya mati dalam pertarungan ini. Apakah bukti bahwa
Tokugawa memegang janjinya untuk takkan mengganggu Kenji, Hanako dan adiknya”
suara si Bungsu terdengar lagi.
Tokugawa
berjalan ke depan. Di samping si Bungsu ada sebuah meja kecil dimana terletak
sebuah kendi porselin putih. Tokugawa menurunkan porselin itu. Kemudian
tiba-tiba dari balik kimononya dia mengeluarkan sebilah samurai pendek. Dia
memberi isyarat. Seorang pelayan bergegas membawa sehelai kain putih.
Dia meletakkan
tangan kirinya di atas kain putih itu. Lalu menghunus samurai pendeknya. Dia
menatap pada si Bungsu. Menatap pada 20 anggotanya yang memandang padanya
dengan kaget. Ke 20 anggota pimpinan Jakuza itu tiba-tiba berlutut. Si Bungsu
tak mengerti apa yang akan diperbuat pimpinan Jakuza ini. Dan tiba-tiba sekali,
tangan Tokugawa bergerak cepat. Samurai di tangan kanannya memutus kelingking
kirinya!
Kelingking yang
putus itu dia bungkus dengan kain putih. Dan tangan kirinya segera dibalut dan
diberi obat oleh pelayannya.
Tokugawa
mengambil kelingkingnya yang telah putus yang terbungkus kain putih itu. Dia
berjalan menghampiri si Bungsu. si Bungsu benar-benar kaget. Dia tak mengerti,
bahwa yang dilakukan Tokugawa sebentar ini adalah sumpah seorang samurai.
Dalam hal-hal
yang muskil, bila seorang samurai sejati bersumpah, sebagai tanda bahwa
sumpahnya itu takkan pernah dimungkiri, maka mereka memotong kelingking.
Dan ke 20
pimpinan Jakuza di Tokyo yang hadir itu menjadi maklum, bahwa sumpah Tokugawa
terhadap anak muda ini, untuk tidak mengganggu keluarga Hannako adalah sumpah
yang tak boleh siapapun melanggarnya.
Dengan
pemotongan kelingking itu, maka Hannako dan saudara-saudaranya, sepenuhnya
berada di bawah lindungan Tokugawa. Siapapun yang mengganggu, tak peduli dia
anggota Jakuza atau tentara Amerika sekalipun, maka Tokugawa akan tegak di
depan sekali membelanya.
“Ini bahagian
tubuhku, kuberikan padamu sebagai bukti bahwa janjiku adalah janji samurai.
Siapapun yang mengganggu Hannako dan saudaranya akan berhadapan denganku…”
Tokugawa
mengulurkan kain putih yang berdarah itu. Si Bungsu tertegun. Kaget, heran dan
takjub bercampur baur dihatinya. Juga perasaan terharu.
“Jika aku mati
sekalipun dalam pertarungan ini, saya takkan kecewa. Saya berterimakasih atas
kebaikan hati Tokugawa bersedia melindungi Hannako dan saudara-saudaranya…”
Berkata begini,
anak muda dari Gunung Sago di Minangkabau itu membungkuk dalam-dalam dan
menerima kelingking yang telah putus itu. Dia memasukkannya ke kantong baju.
“Domo arigato
gozaimasu…” katanya sambil sekali membungkuk dalam-dalam. Tokugawa membalas
membungku.
Dan ketika
mereka bertatapan, si Bungsu melihat di sudut mata lelaki tua gagah kepala
komplotan bandit itu, berlinang air mata. Ada sesuatu yang membuat Tokugawa
terharu atas sikap anak muda itu. Yaitu keinginannya untuk membela orang lain
tanpa memperdulikan keselamatan dirinya. Orang yang dia bela itu adalah orang
Jepang yang dianiaya oleh orang Jepang sendiri. Dan dia berani datang ke Jepang
ke sarang harimau sendirian demi membela anak-anak Jepang yang teraniaya. Usahkan
memikirkan, malah orang-orang Jakuza yang menyebar bencana dan kesulitan di
tengah orang-orang Jepang yang jelas telah sengsara. Kini, ada orang lain,
entah siapa dia, entah darimana datangnya, yang mau mengorbankan nyawanya demi
membela anak-anak yang tertindas itu. Inilah yang membuat Tokugawa terharu. Dia
menitikkan air mata, sesuatu yang tak pernah dia lakukan selama hidupnya. Tokugawa
lalu berbalik, berjalan ke arah tempat dia tegak tadi.
“Nah, dengan
apa engkau akan menantang Kawabata?” tanya Tokugawa.
“Terimakasih
atas kesempatan ini. Saya memiliki sebuah samurai dan mengetahui sedikit cara
mempergunakannya. Saya dengar Jakuza mahir mempergunakan samurai. Maka saya
berharap Kawabata mau memberi pelajaran pada saya dalam hal ini..”
Ucapan anak
muda ini jelas merendahkan diri. Tapi hal itu justru mengundang rasa kaget dan
kagum dihati Tokugawa dan seluruh pimpinan Jakuza Tokyo padanya. Seorang asing,
anak muda yang berusia sekitar 28 tahun, menantang Kawabata yang kemahirannya
bersamurai diantara anggota Jakuza Tokyo terkenal sangat tinggi. Tokugawa menoleh
pada Kawabata. Kemudian terdengar suaranya berbegu dingin:
“Sudah
kukatakan beberapa kali pada kalian. Jangan mengganggu gadis Jepang. Jangan
mengganggu anak-anak yatim. Ternyata kalian tak menjalankan perintahku.
Kawabata, engkau harus melayani tantangan anak muda ini. Kalau engkau mati,
maka persoalan selesai di sana. Tapi kalau engkau menang dan tetap hidup, maka
peradilan organisasi terhadap kesalahanmu seperti yang dilaporkan anak muda ini
akan dilanjutkan. Bersiaplah!”
Tak ada yang
bisa diperbuat Kawabata selain membungkuk dalam-dalam memberi hormat. Tokugawa
adalah pimpinan Jakuza yang disegani di seluruh Jepang. Dia memang tidak
pimpinan Jakuza tertinggi. Dia menduduki rangking ke 2 dalam urutan
kepemimpinan Jakuza. Tapi meski di urutan ke 2, Tokugawa adalah orang yang tak
bisa dilewatkan begitu saja dalam oragnisasi. Dia memimpin Jakuza Tokyo. Dan
kota ini adalah kota ke 2 di Jepang setelah Kyoto. Kini sejak perang dunia ke 2
berakhir, maka Tokyo justru menjadi kota pertama di Jepang. Posisinya ini,
ditambah dengan wibawa dan kemahirannya serta nama besar keluarga Tokugawa,
membuat dia seorang yang amat disegani. Malah dalam pemilihan pimpinan pusat di
musim semi yang akan datang. Tokugawa disebut-sebut sebagai calon pimpinan yang
tangguh.
Meski kerjanya
memimpin komplotan bandit, namun Tokugawa orangnya sportif dan bebudi. Aturan
organisasi dia jalankan dengan ketat. Tak sembarang anggota boleh membunuh atau
memeras atau maling sesukanya. Ada aturan. Dan kalaupun ada anak buahnya yang
melakukan semua hal itu, seperti Kawabata memperkosa Hanako, atau seperti
Kawabat yang memeras di terowongan bawah tanah, maka itu adalah semacam ekses
daripada ketidak disiplinan pimpinan bawahannya seperti Kawabata.
Untuk melawan
Tokugawa? Amboi mak, minta ampunlah. Semua anggota Jakuza sangat kenal siapa
Tokugawa ini. Namanya saja sudah Tokugawa. Suatu klan yang melahirkan jago-jago
samurai di seluruh tanah Jepang. Suatu klan keluarga yang mula pertama
memperkenalkan senjata tradisional Jepang itu kepada manusia ribuan tahun yang
lalu.
Dan Tokugawa
ini termasuk seorang dari empat atau lima belas orang pemakai samurai tersohor
di Jepang saat ini. Itulah kenapa sebabnya Kawabata atau dedengkot-dedengkot
Jakuza lainnya tak berani membangkang terhadap putusan Tokugawa. Dan itu pula
sebab kenapa Kawabat terpaksa harus melayani tantangan si Bungsu. Meskipun
sebenarnya dia ingin anak buahnya saja yang menyudahi si Bungsu. Namun dia juga
bersyukur bahwa dia yang diperintah untuk menghadapi anak muda asing ini. Dengan
demikian dia bisa membalaskan sakit hatinya pada anak muda yang telah membunuh
lima anggotanya dan mencelakai seorang dengan memutus tangannya.
Dia segera maju
ke tengah rumah setelah menghormat pada Tokugawa. Yang lain pada membuat
lingkaran di sekitar dinding. Bagian tengah rumah besar itu kini terluang.
Kawabata
membuat semacam acara tradisional di tengah ruangan. Kemudian seorang
pembantunya mengantarkan padanya sebilah samurai. Samurai itu sebilah samurai
panjang. Bergagang coklat seperti dari kulit kelas satu. Di pangkal gagangnya
ada jumbai kuning keemasan. Sarungnya di ujung dan di pangkalnya dibalut ukiran
kuning keemasan pula. Bukan kuning keemasan, balut sarung samurainya itu yaitu
balut ujung dan pangkalnya memang terbuat dari loyang emas murni.
“Nah, anak muda
bersiaplah…: Tokugawa memperingatkan.
Kawabata telah
menghunus samurainya. Si Bungsu sendiri memperhatikan upacara yang dibuat
Kawabata tanpa berkedip. Tanpa emosi dan tanpa ekspresi. Aneh, dia melihat
segalanya sebagai sebuah hal yang lumrah. Sebagai sesuatu yang tak patut untuk
diherankan apalagi untuk ditakuti. Bukankah dia sendiri yang datang dan menghendaki
peristiwa ini?
Dan Kawabata
kini mulai melangkah perlahan. Merendah sambil memegang samurai dengan kedua
tangannya. Langkah bergeser di lantai. Dan tiba-tiba si Bungsu teringat pada
perkelahiannya dengan Letnan Kolonel Akiyama di Bukittinggi dahulu. Langkah
kaki Kawabata persis langkah Akiyama. Bergeser perlahan dengan kuda-kuda lebar.
Mata lurus menatap pada lawannya. Tangan kukuh memegang samurai.
Tokugawa
menatap dengan tenang pada kedua orang ini. Terutama perhatiannya tertuju pada
si Bungsu, ke 19 orang pimpinan Jakuza daerah Tokyo dan sekitarnya itu juga
memandang anak muda itu. Mereka mulai ragu.
Apakah anak
muda ini benar-benar pandai mempergunakan samurai atau memang benar-benar ingin
belajar seperti yang dia katakan tadi? Kalau dia ingin belajar, maka pelajaran
yang akan dia terima dari Kawabata sesungguhnyalah pelajaran yang paling akhir
dan paling pahit. Yaitu kehilangan kepala dan nyawa. Jarak mereka hanya tinggal
sedepa setengah. Dalam jarak begini sebuah serangan kilat sudah bisa mematikan
lawan. Kawabata sudah benar-benar dalam keadaan sempurna siaga. Tapi anak muda
itu masih tegak dengan santai. Matanya saja yang nanap melihat Kawabata. Tapi
selain matanya yang mirip mata elang itu, tak ada tanda-tanda bahwa dia akan
bertempur.
Kakinya masih
terpentang lebar menghadap lurus ke depan. Tangan kirinya masih tergantung
biasa memegang “tongkat” usangnya itu. Tangan kanannya masih tergantung lemah
seperti tak bertenaga. Tubuhnya diam tak bergerak. Malah yang bermata tajam
dapat melihat bahwa dia sebenarnya tak bernafas sejak Kawabata melangkah
mendekatinya tadi. Dia telah menghirup nafas panjang perlahan, menahannya di
rongga dada. Mengeluarkan sedikit. Kini menahannya penuh. Yang kaget bukan main
melihat situasi ini adalah Tokugawa. Dia kaget luar biasa. Dia sudah bisa
dengan pasti mengatakan siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam
pertarungan ini. Pasti sudah!
Dan dia ingin melihat kekalahan dan kemenangan itu berlangsung dengan
pasti. Akan dia perhatikan setiap gerak kedua orang ini dengan cermat. Dan saat
itulah Kawabata melakukan serangan yang amat cepat. Serangannya tertuju pada
dua arah dengan dua kali hayunan cepat. Yang pertama menghantam kaki yang tegak
sejajar itu. Ada dua kemungkinan. Kalau anak muda itu cepat, maka dia akan
melompat tinggi. Dan saat itulah Kawabata akan menyerang bahagian kepalanya.
Yaitu di saat dia melompat tersebut. Ini adalah tipuan yang berbahaya. Dan
Kawabata tersohor dengan serangan tipuannya ini di antara para samurai.
Namun anak muda itu tak menggerakkan kakinya sedikitpun untuk melompat.
Tahu-tahu samurai Kawabata membentur samurai si Bungsu di bawah. Bunga api
memmercik!
Kawabata melanjutkan serangannya yang kedua, membabat kepala. Serangannya
bukan main cepat, namun si Bungsu adalah orang yang ditakdirkan untuk menjadi
seorang samurai yang mahir karena nasib. Begitu tangan Kawabata membabat ke
atas, kaki kanannya melangkah ke depan. Tubuhnya merendah dengan cepat dan
samurainya memintas di bawah rusuk Kawabata.
Cresss!
Kawabata tersurut. Kejadian itu amat cepat, tak seorangpun yang melihat
bagaimana anak muda itu menyerang. Mereka hanya melihat anak muda itu
menjatuhkan dirinya di atas lutut kiri. Hanya itu!
Dan tiba-tiba mereka berseru kaget, karena mereka melihat darah menetes ke
lantai dari rusuk kanan Kawabata! Kawabata sendiri bukan main kagetnya. Dia
menatap anak muda itu. Dan anak muda itu sudah tegak lagi seperti tadi dan
samurainya entah sejak kapan sudah tersarung lagi dalam sarangnya. Dia tegak
dengan tangan kiri memegang samurai dan tangan kanan kosong melompong. Mereka
semua seperti berhenti bernafas tatkala Kawabata maju lagi. Darah terus
mengalir dari lukanya yang cukup lebar. Tiba-tiba Kawabata memekik dan
menyerang bertubi-tubi ke arah anak muda itu.
Anak muda itu tiba-tiba berputar dan ketika berbalik, samurainya bekerja.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 075
No comments:
Post a Comment