Tiga babatan di bahagian atas, Kawabata berusaha menangkis. Tiga babatan di
atas, di tengah dan di bawah! Kawabata berusaha menangkis dan mengelak.
Benar-benar luar biasa. Kawabata yang tadi menyerang kini dipaksa untuk
bertahan dan bergerak mundur. Sebuah sabetan cepat ke tengah, Kawabata melompat
dua tindak ke belakang! Nafasnya terengah!
Dan di ujung sana, si Bungsu tegak seperti posisinya tadi. Persisi! Tak
berobah sedikitpun. Tegak dengan kaki terpentang, tangan kiri memegang samurai
yang tersarung dalam sarungnya, dan tangan kanan kosong serta merta menatap
lurus ke depan!
Peluh tidak hanya membasahi punggung Kawabata. Tapi juga membasahi tubuh ke
19 anggota Jakuza yang lain. Mereka belum pernah melihat pertarungan samurai
sehebat dan seaneh ini.
Orang asing ini jelas bergerak tanpa mempergunakan kuda-kuda samurai. Tapi
gerakannya hanya malaikat saja yang tahu betapa cepatnya.
Dan diantara semua orang itu, hanya ada tiga orang yang tahu dengan persis,
bahwa sebenarnya Kawabata sudah sejak tadi harus mati. Tapi dia sengaja
dipermainkan.
Ketiga orang yang tahu dengan pasti itu adalah si Bungsu yang sengaja
mempermainkan Kawabata. Kemudian Tokugawa
dan Kawabata sendiri. Si Bungsu sudah dapat menaksir sampai dimana
kecepatan orang ini. Karena itu dia ingin menghajarnya atas perbuatan yang dia
lakukan atas diri Hannako. Sebenarnya dalam gebrakan pertama tadi, dia sudah
bisa membunuh Kawabata. Tiba-tiba Kawabata menggeram dan maju lagi. Dan kali
ini, si Bungsu bergerak cepat. Ketika Kawabata maju, dia bergulungan di lantai.
Lompat tupai. Kawabata menghindar ke kiri sambil membacok rendah. Namun anak
muda itu melenting tegak tiba-tiba. Dan sret!!! Kimono Kwabata di bahagian
punggung belah dua! Punggungnya tersingkap dan belah mengalirkan darah!
Terdengar seruan tertahan dari para anggota pimpinan Jakuza itu.
Tokugawa memandang tak berkedip. Bagaimana bisa seorang yang memegang
samurai amat panjang bergulingan di lantai, kemudian menyerang? Bergulingan
dengan memegang samurai itu saja sudah suatu pekerjaan yang amat berbahaya.
Salah-salah mata samurai itu bisa melukai muka atau perut ketika
bergulingan. Gerak atau jurus seperti itu tak pernah dikenal oleh para samurai
Jepang bahkan nenek moyang Tokugawa sendiripun!
Kawabata menyerang lagi. Tapi tiga buah sabetan cepat menantinya. Pahanya
terbusai. Tangannya yang memegang samurai putus hingga siku. Dan perutnya
robek!
Kawabata jatuh berlutut. Si Bungsu tegak di depannya dengan samurai telah
masuk ke sarungnya! Suasana benar-benar sepi. Di luar salju turun seperti
kapas. Di dalam darah mengalir seperti kran yang terbuka sumbatnya.
Ke 19 anggota Jakuza Tokyo yang ada dalam ruangan itu jadi pucat melihat
kejadian tersebut. Andainya Tokugawa tak berjanji untuk melindungi Hannako,
maka mereka sendiripun kini takkan mau ambil resiko mengganggu gadis itu. Dengan
anak muda yang kecepatan samurainya seperti iblis ini yang melindungi Hannako,
siapa yang bakal berani mengganggu? Bah, lebih baik cari kerjaan lain daripada
mendekati orang begini, pikir mereka kecut.
“Bunuhlah saya…” Kawabata berkata perlahan dengan suara yang melemah.
“Saya bukan pembunuh…” si Bungsu menjawab.
“Tetapi…engkau telah membunuh lima orang anak buah saya…” Kawabata
menyanggah.
“Kematian terlalu enak buatmu Kawabata….” Si bungsu berkata lagi.
Tapi tiba-tiba ucapannya terhenti, ada angin bersuit ke arahnya. Anak muda
ini seorang yang memiliki indera yang sangat terlatih. Samurainya bekerja lagi
dan membabat ke samping.
Mata samurai itu beradu dengan sebuah benda tipis yang melayang amat cepat.
Benda itu terpukul dan mental lalu menancap di loteng! Sebilah samurai pendek!
Semua orang menoleh pada lelaki yang melemparkan samurai gelap itu. Dan dia
adalah Tokugawa!
Si Bungsu juga menghadap padanya. Tokugawa tersenyum.
“Sempurna! Seorang samurai yang sempurna. Memiliki kecepatan dan ketajaman
penglihatan. Memiliki ketajaman firasat, engkau adalah seorang samurai yang
sempurna yang pernah ditemui Tokugawa, anak muda. Kecuali gerak kakimu yang tak
bisa kami mengerti, maka engkau memang seorang hebat…” Tokugawa berkata dengan
nada jujur.
Dan sementara itu, Kawabata terjatuh di lantai. Dia mengerang, mengelupur.
Orang jadi ngeri melihat lelaki itu mengakhiri nyawanya. Sangat sakit dan
menggenaskan. Tangan Tokugawa bergerak lagi, kali ini sebilah samurai kecil,
tak lebih dari sejengkal, melayang dari tangannya. Samurai itu menancap persis
di jantung Kawabata. Kawabata mati saat itu. Berakhirlah penderitaannya. Gedung
tua itu sepi, tak ada yang bergerak. Si Bungsu yang tegak dengan kaki terpentang
dekat mayat Kawabata juga teka diam. Ketika dia merasa sudah cukup, maka dia
menarik nafas panjang. Dan bernafas biasa kembali.
“Sudah saatnya saya pergi. Terimakasih saya yang tak tehingga pada
Tokugawa….” Berkata begini dia membungkuk memberi hormat pada lelaki tua gagah
itu.
Lelaki itu membalas penghomatannya. Kemudian si Bungsu melangkah keluar. Di
luar, angin dingin dan salju yang turun seperti kapas, menyambutnya. Dia
melangkah melintasi taman Shinjuku yang seperti lapangan kapas itu. Di rumah
besar itu, Tokugawa dan 19 anggota pimpinan Jakuza lainnya menatap kepergiannya
dengan diam.
Dia sampai ke depan rumah ketika hari telah sore. Hannako berlari ke depan
begitu dia muncul.
“Bungsu-san, kami khawatir engkau tak kembali…”
“Saya sudah kembali bukan? Nah, bagaimana Kenji-san?’
“Dia sudah agak baik. Kini tengah melatih diri. Jakuza suatu saat, cepat
atau lambat pasti datang lagi kemari. Dan Kenji-san tak mau engkau sendiri yang
menghadapinya…”
Si Bungsu masuk, dia melihat Kenji tengah melatih tangan kananya yang luka.
Kenji terus melakukan gerakkan-gerakan Karate. Begitu dia melihat Bungsu masuk,
dia menghentikan latihannya.
“Kami khawatir engkau pergi terlalu lama Bungsu-san. Negeri ini sangat buas
terhadap orang-orang asing” Bungsu tersenyum.
Dia mengeluarkan bungkusan kain putih itu, memberikannya pada Kenji yang
menatapnya dengan heran.
“Apa ini Bungsu-san…?
“Bukalah. Hadiah untuk engkau dan Hannako..”
Kenji membuka kain itu, dan tiba-tiba matanya terbelalak melihat kelingking
yang putus itu. Hannako menjerit kecil.
“Sumpah samurai…” Kenji yang mengetahui sumpah pemotongan kelingking itu
bicara perlahan.
“Ya. Sumpah seorang samurai…”
“Kelingking siapa ini…?” tanya Kenji.
“Kelingking Tokugawa..”
“Tokugawa?”
“Ya. Tokugawa keturunan pahlawan samurai itu. Dia salah seorang diantara
mereka menjadi pimpinan Jakuza wilayah Tokyo. Kelingkingnya lah itu…”
Kenji dan Hannako tak mengerti, lalu si Bungsu menceritakan tentang
perjanjian itu. Menceritakan sedikit tentang perkelahiannya dengan Kawabata.
Menceritakan bahwa Kawabata telah mati. Dan menceritakan tentang janji
Tokugawa. Hannako tak dapat menahan rasa harunya, dia memeluk dan mencium si
Bungsu. Akan halnya Kenji beberapa kali berlutut memberi hormat dan mengucapkan
terimakasih pada si Bungsu.
Namun persoalan tidak selesai sampai disitu. Diantara anak buah Tokugawa,
yaitu salah seorang pimpinan cabangnya, ternyata mata-mata tentara pendudukan
Amerika. Dia hadir ketika pertarungan antara Kawabata dengan si Bungsu. Ketika
mendengar pengakuan anak muda itu, bahwa dialah yang membunuh kelima anggota
Jakuza itu, dan melihat bagaimana mahirnya dia mempergunakan samurai, maka dia
teringat pada pembunuhan dua orang tentara Amerika di penginapan Asakusa. Dia
tahu sampai saat ini pembunuhan kedua tentara Amerika itu belum terungkap.
Tentara Amerika berkeyakinan bahwa yang membunuh anggota mereka itu adalah
orang Jepang. Tapi penyelidikan menemui jalan buntu. Dan pimpinan cabang Jakuza
itu kini melihat suatu kemungkinan. Apakah tak mungkin bahwa yang membunuh
tentara Amerika itu adalah orang asing ini?
Dia tahu, Tokugawa sudah menjamin dengan sumpah seorang samurai bahwa
Jakuza takkan mengganggu Hannako dan saudara-saudaranya. Tapi kalau yang
diganggu itu adalah orang asing ini, bukankah tak ada soal? Yang dijamin di bawah
perlindungan Tokugawa adalah Hannako dan saudaranya. Tidak si Bungsu anak
Indonesia itu! Pimpinan cabang wilayah pelabuhan Tokyo itu tersenyum. Betapapun
juga dia merasa benci pada anak Indonesia itu. Bukankah Indonesia adalah negeri
di lautan Hindia yang direbut Jepang dari Belanda kemudian menyatakan diri
merdeka setelah Bom Atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki?
Anaknya seorang tentara Jepang, mati di Indonesia. Karenanya dia merasa
benci pada orang Indonesia itu. Untuk menghadapi sendiri atau menyuruh anak
buahnya anggota Jakuza menyikat anak muda itu, terang dia tak berani. Usahkan
anak buahnya, sedang Kawabata saja, seorang jagoan samurai di antara mereka,
dibuat tak berkutik sedikitpun.
Lagipula, bukankah Tokugawa sendiri telah memuji anak muda itu sesaat
setelah selesai pertarungan dengan ucapan : Samurai yang sempurna!
Kalau Tokugawa saja, tokoh samurai diantara mereka sampai memuji demikian,
bukankah itu sudah merupakan suatu bahaya yang luar biasa kalau dihadapi
sendiri? Pimpinan cabang pelabuhan Tokyo
itu, seorang Jepang dari keluarga Kawasaki. Dia mempergunakan otaknya yang
licik. Untuk menghadapi orang Indonesia itu, dia mempergunakan tangan Polisi
Militer Amerika. Seminggu setelah peristiwa perkelahian Kawabata dengan si
Bungsu, di hadapan rumah Kenji di jalan Uchibori berhenti sebuah Jeep putih
Polisi Militer. Di belakangnya berhenti sebuah truk penuh tentara. Mereka
berlompatan dan segera mengepung rumah itu.
Musim dingin sudah hampir berakhir. Salju tak turun lagi. Yang berada di
bumi atau di pohon sudah mulai mencair. Saat itu sudah di akhir bulan Nigatsu, dimana
salju berhenti turun. Tak lama lagi, musim bunga akan segera menyusul. Tapi
perpindahan musim yang indah itu justru perpindahan nasib yang malang bagi si Bungsu.
Dia tengah sholat lohor ketika pintu diketuk dari luar. Hannako membuka pintu
dan merasa heran bercampur kaget dengan kemunculan tentara Amerika dirumah
mereka. Merasa bahwa tentara Amerika itu salah alamat, dia membuka pintu
lebar-lebar.
“Selamat siang” sapa Polisi Militer itu dengan sikap tertib.
“Apa yang bisa saya bantu?” tanya Hanako.
Sementara itu Kenji juga keluar. Dia juga ikut merasa heran atas kunjungan
tentara Amerika itu. Mereka merasa heran sebab selama ini si Bungsu tak pernah
menceritakan peristiwa di penginapan Asakusa itu. Peristiwa itu tetap
disembunyikan si Bungsu agar mereka tak ikut panik memikirkannya. Sikap waspada
tentara Amerika itu mengundang perasaan tak sedap pada hati Kenji. Dan ketika
dia menoleh ke belakang, dengan terkejut dia mendapati bahwa rumah mereka telah
dikepung oleh seregu tentara Amerika bersenjata lengkap.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Kenji.
Sementara itu si Bungsu sudah mengucap salam akhir dari sholatnya di kamar.
Telinganya amat tajam menangkap desah sepatu menginjak salju. Dan telinganya
juga menangkap percakapan Kenji dan Hannako di luar. Dia segera tahu, tentara
Amerika telah mencium jejaknya. Perlahan dia menyelesaikan membaca doa.
“Apakah di sini tinggal seorang Indonesia?” Kapten yang memimpin penangkapan
itu bertanya dengan sikap hormat. Hannako bertukar pandangan dengan Kenji.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Hanako.
Dan hal itu sudah cukup bagi Kapten itu untuk mengetahui bahwa mereka
memang tak salah alamat. Dia mengeluarkan sepucuk surat.
“Markas besar memerintahkan kami menangkap orang Indonesia bernama..” dia
melihat surat perintah penangkapan itu, “ bernama Bungsu. Dia dituduh telah
membunuh dua tentara Amerika di penginapan Asakusa beberapa bulan yang lalu…”
Kapten itu berkata dengan sikap hormat sambil memberikan surat itu pada Kenji.
Kenji tak menerimanya. Mereka bertatapan, tapi saat itulah si Bungsu
muncul. Dia merasa kalaupun dia berniat melarikan diri, usahanya itu akan
sia-sia, sebab lebih dari selusin tentara mengepung rumah itu.
“Sayalah yang tuan cari….” Katanya perlahan. Kapten itu memandang keluar.
“Andakah yang bernama Bungsu?”
“Ya, sayalah orangnya…”
“Maafkan kami. Kami diperintahkan untuk menangkap anda dengan tuduhan
membunuh dua orang serdadu kami di penginapan Asakusa beberapa bulan yang lalu.
Kami harap saudara bisa mengikuti kami…”
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 076
No comments:
Post a Comment