Kapten itu memberi hormat sambil memperlihatkan surat perintah penangkapan.
“Ya, saya ikut…”
“Bungsu-san…” Hanako berteriak.
Tangisnya segera pecah, dan dia berlari sambil memeluk si Bungsu. Kenji
tertegak diam.
“Tenanglah Hanako-san. Saya harus pergi”
“Tidak…tidak, oh jangan tinggalkan kami Bungsu-san….jangan tinggalkan
kami…” tangis gadis itu tak terbendung lagi.
Kapten Amerika itu tetap tegak di luar dengan sikap hormat. Si Bungsu
menatap pada Kenji. Air mata Kenji berlinang. Tuduhan membunuh pendudukan
adalah tuduhan yang tak ada ampunannya. Bila terbukti, maka satu-satunya
hukuman adalah hukuman mati.
“Apakah engkau memang melakukannya Bungsu-san?” Kenji bertanya dengan suara
gugup.
Si Bungsu tak segera menjawabnya. Ada beberapa saat dia terdiam. Matanya
menatap pada Kenji, kemudian menatap pada Hanako pada Kenji. Kemudian menatap
pada Hanako. Mereka semua pada terdiam. Kemudian terdengar suara si Bungsu
perlahan, tapi pasti.
“Benar Kenji-san. Malam itu seorang letnan Amerika memakai kamar saya. Dia
membawa seorang gadis Jepang yang tak pernah saya kenal. Saya dengar gadis itu
menangis dan menolak untuk dinodai si Letnan. Saya tak bisa melihat orang lain
dianiaya. Saya minta letnan itu secara baik-baik untuk membebaskan gadis itu.
Tapi dia justru menghantam dan berniat membunuh saya. Maka tak ada jalan lain
bagi saya, saya harus membela diri bukan?
Begitu dia terbunuh temannya dari kamar sebelah datang dengan bedil di
tangan. Dan saya kembali harus mempertahankan nyawa saya. Keduanya mati karena
samurai saya.
Malam itu saya melarikan diri dari penginapan Asakusa. Berlindung dari udara
dingin di terowongan bawah tanah di Yotsui. Tak lama setelah saya berbaring,
seseorang datang dan tidur pula di sisi saya. Dan paginya saya ketahui, teman
baru itu adalah Hanako-san”
Hanako merasa dirinya runtuh.
“Kalau tak ada lagi yang akan dibicarakan, kami ingin tuan mengikuti kami…”
Kapten dari Polisi Militer tentara Amerika itu bicara dengan tetap dalam nada
yang sopan dan sikap hormat.
“Ya, saya sudah siap…nah, Kenji-san saya banyak belajar tentang hidup di
Jepang darimu. Terimakasih untuk segalanya, sahabat. Saya takkan melupakanmu.
Saya takkan melupakan kalian. Jaga adik-adikmu baik-baik. Barangkali kita
takkan bertemu lagi, selamat tinggal…”
Kenji tak dapat menahan airmatanya yang runtuh. Si Bungsu baginya tidak
hanya seorang sahabat, tapi juga seorang saudara yang telah melindungi mereka.
Dan dia tahu, Hanako adiknya mencintai pemuda itu. Dia suka kalu mereka
menikah. Tapi dia tak pernah mau memulai pembicaraan ke arah itu.
Dia tahu, si Bungsu mempunyai tugas yang amat besar datang kemari. Dia tak
punya waktu memikirkan jodoh.
Kini ketika anak muda itu pergi, dia merasa suatu kehilangan yang alangkah
pedihnya. Si Bungsu menyalaminya. Kemudian memegang bahu Hanako. Gadis itu tak
berani menatap mukanya.
“Baik-baik di rumah Hannako-san. Saya akan selalu mengingat budi baikmu….”
Dan dia berbalik. Kapten Polisi Militer itu melekatkan belenggu ke
tangannya, kemudian semua barang-barangnya diambil. Samurai, bungkusan dan
pakaiannya dimasukkan ke dalam sebuah kantong sebagai barang bukti.
Hanako terduduk di depan pintu begitu Jeep
Polisi Militer meninggalkan jalan Uchibori di depan rumah mereka.
“Kenji-san…dia telah pergi meninggalkan kita…” katanya lirih.
Kenji tiba-tiba teringat pada sesuatu.
“Tenanglah Hanako. Kita akan berusaha membebaskannya. Dia telah menolong
kita banyak sekali. Kita harus menolongnya. Tak ada orang lain yang akan
menolongnya kalau tidak kita. Dia tak punya siapa-siap di negeri ini….”
“Tapi bagaimana kita akan menolongnya…?”
“Tenanglah Hanako. Kita akan mengusahakannya…” namun bagaimana Hanako akan
bisa tenang? Pemuda Indonesia itu telah mencuri separuh hatinya. Kini pemuda
itu pergi, dirinya tiba-tiba terasa amat sepi.
Tokugawa sedang menerima laporan dari berbagai cabang Jakuza. Dia berkantor
di Nikko Hotel di jalan Ginza di bilangan pusat kota Tokyo. Dia mencarter lima
buah ruangan utama di tingkat paling atas dari hotel tersebut. Tak seorangpun
yang akan menyangka bahwa lantai teratas dari Nikko Hotel itu adalah pusat dari
suatu organisasi yang selalu mengacau di kota Tokyo. Teror terhadap individu
atau orang ramai yang dibuat oleh Jakuza, diatur dari hotel ini. Orang takkan
pernah menyangka, karena tak ada lift ke tingkat itu. Ada sebuah lift yang
sampai ke tingkat atas. Tapi lift itu tak boleh digunakan oleh umum. Di pintu lift tertulis kalimat : Khusus
Untuk Staff. Tak dijelaskan Staff apa yang boleh naik itu. Hanya di pintu lift
yang satu itu, selalu ada penjaga dengan pakaian sopan dan sikap ramah menolak
dan menyilahkan orang naik ke lift lain yang sama kunonya dengan lift yang satu
itu.
Orang-orang di hotel itu tak pernah memperdulikan akan orang yang turun
naik ke tingkat atas. Sebab di tingkat lain, ada juga beberapa ruangan yang dipakai untuk kantor.
Di hotel itu ada kantor Perusahaan Honda. Kantor perusahaan pembangunan dan
kantor perusahaan penerbangan. Dan tak seorangpun yang pernah menduga bahwa
pelayan lift yang sopan dan ramah itu, sewaktu-waktu bisa berobah menjadi
pembunuh yang berdarah dingin.
Tak ada yang tahu bahwa pelayan itu sebenarnya seorang ahli karate, judo
dan samurai.
Ketika Tokugawa sedang memberi beberapa instruksi, seseorang masuk, membungkuk
memberi hormat. Kemudian berbisik dan menyerahkan sesuatu.
Tokugawa menerima pemberian itu. Membuka bungkusnya. Dan segera dia
mengenal bahwa yang dikirim padanya itu adalah kain putih bekas pembungkus
potongan kelingkingnya dahulu.
“Dimana dia?”
“Di bawah”
“Antarkan dia kemari”
“Hai…”
“Rapat ini saya skor sementara. Saya menerima tamu. Seorang anak lindungan”
Tak lama mereka menanti, Kenji yang membawa bungkusan kain putih berdarah
bekas potongan kelingking Tokugawa itu masuk diantarkan penjaga tadi.
Tokugawa bangkit dari duduknya. Demikian pula tiga orang “staf” Jakuza
lainnya yang hadir disana.
“Anda pastilah Kenji-san. Kakak Hannako dan sahabat Bungsu-san orang
Indonesia itu…” katanya ramah menyambut Kenji.
“Selamat siang tuan Tokugawa….saya…”
“Saya senang dapat membantu anda dan adik-adik anda. Maafkan atas kejadian
yang lalu. Kawabata telah mendapat balasan yang setimpal atas dosanya. Bungsu-san
benar-benar seorang yang mahir mempergunakan samurai. Nah, apa yang bisa saya
bantu…?”
“Saya…saya…”
“Jangan gugup. Mari, silakan duduk. Kita sahabat bukan? Nah, ceritakan apa
yang terjadi. Ada yang mengganggu Hannako?”
“Tidak. Terimakasih, Tokugawa telah melindungi kami. Tapi… ini mengenai
Bungsu-san…”
“Ya, bagaimana dengan dia?”
Kenji terdiam. Dia tak tahu dari mana harus mulai. Tokugawa memberinya
minum sake. Begitu pula teman-temannya yang ada di kantor itu. Mereka minum
bersama.
Setelah agak tenang. Kenji bercerita tentang nasib yang menimpa Bungsu-san.
Tokugawa terdiam.
“Itulah yang terjadi tuan Tokugawa, saya mohon tuan bisa membantunya keluar
dari tahanan. Kalau tidak, hukuman mati menantinya di sana…”
“Maafkan saya Kenji-san. Kalau yang menangkap Bungsu-san adalah Polisi
Jepang, maka saya bisa menjamin untuk mengeluarkannya. Tapi yang menahannya
adalah tentara Amerika. Kami tak bisa berbuat apa-apa. Maafkan kami….”
Kenji berlutut lantai. Membungkuk memberi hormat.
“Tolonglah dia tuan. Dia membunuh tentara Amerika itu karena ingin menolong
seorang gadis Jepang yang tak dia ketahui siapa orangnya. Tentara itu akan
menodai gadis itu. Pemilik penginapan Asakusa itu sendiri orang Jepang, tapi
dia tak berniat menolong gadis Jepang malang itu. Malah dialah yang memberi
tempat untuk menodai gadis itu. Bungsu-san lah justru yang turun tangan
menolongnya.
Orang asing yang tak punya kepentingan apa-apa dengan negeri kita, bersedia
mempertaruhkan nyawanya untuk membela seorang gadis yang tak dia kenal. Apakah
kita tak patut membantu orang yang begini?”
“Engkau benar Kenji-san. Tapi percayalah, melawan tentara Amerika berarti
punahnya organisasi kami. Kami tak bisa berbuat apa-apa…”
Sekali lagi Kenji bersujud dilantai dan memohon:
“Maafkan saya kalau terlalu menyusahkan Tokugawa. Tapi, kami ikhlas
Tokugawa mencabut perlindungannya pada kami adik beradik asalkan Tokugawa mau
membebaskan Bungsu-san. Tolonglah dia….”
Tokugawa dan ketiga pimpinan Jakuza yang ada di sana jadi tertegun
mendengar permohonan ini. Tokugawa tak hanya tertegun. Tapi hatinya jadi sangat
terharu melihat kesetia-kawanan Kenji adik beradik dengan orang Indonesia ini.
Mereka bersedia tidak dilindungi. Artinya bersedia diganggu dan dianiaya
oleh Jakuza atau kelompok lain asal dapat membantu sahabatnya. Kepala penjahat
ini benar-benar diberi pelajaran tentang setia-kawan dan rasa saling menyayang
sesama makhluk.
“Bangkitlah anak muda. Rupanya dunia semakin tua. Kesetiaan kalian
bersahabat sangat mengharukan hati saya. Pertama saya mendapatkan betapa
Bungsu-san, seorang asing mau mengorbankan dirinya bertarung dengan orang-orang
Jakuza untuk menyelamatkan kalian. Kini engkau datang, rela untuk tak
dilindungi asal sahabatmu itu dibebaskan. Ah, kami selama ini tak pernah
berpikir tentang adanya persahabatan yang demikian mulia. Yang tak memandang
suku dan bangsa. Yang rela mengorbankan nyawa demi membela sahabat…. Kami
selama ini hanya berfikir, bahwa persahabatan hanya diikat atas dasar laba
rugi.
Baiklah, saya mendapat suatu pelajaran yang sangat berharga. Pulanglah,
sampaikan pada adik-adikmu, bahwa Tokugawa bersumpah akan membebaskan
Bungsu-san…”
Kenji bersujud di lantai. Lama sekali. Tubuhnya terguncang menahan tangis.
“Domo arigato gozaimasu. Domo arigato…. Terimakasih banyak tuan Tokugawa….terimakasih
banyak…” suaranya tersendat dalam sujud itu.
Tokugawa memegang bahunya. Membawanya bangkit.
“Tenanglah, tak ada yang tak bisa kita atur. Kenapa kita harus takut pada
Amerika di negeri kita ini? Ini negeri kita bukan? Tenanglah nak…”
Kenji diantar pulang dengan sedan milik Tokugawa. Dia menceritakan janji
Tokugawa pada Hannako. Siang itu juga mereka lalu pergi ke candi Gokokuji.
Sebuah candi jauh dipinggir kota. Mereka sembahyang bersyukur dan memohonkan
keselamatan si Bungsu.
Tokugawa memang seorang lelaki turunan Samurai yang memegang teguh
janjinya. Begitu Kenji meninggalkan kantornya, dia mengangkat telepon di
mejanya.
“Coba selidiki sebab musabab seorang lelaki Indonesia bernama Bungsu yang
ditangkap Polisi Militer Amerika dua hari yang lalu…”
Dia bicara di telepon itu. Tak diketahui pada siapa dan kemana dia bicara.
Tapi Jakuza mempunyai jaringan hampir di seluruh kantor di Tokyo.
Dua hari kemudian, laporan itu masuk. Tokugawa membacanya. Mengerutkan
kening. Dari kantornya yang tinggi itu dia menatap keluar melewati jendela
kaca. Memandang kesibukan kota yang bergerak di bawah sana. Lama dia memandang
keluar. Nampak bahwa dalam pikirannya bergulat pertarungan yang luar biasa.
Meski wajahnya tetap kelihatan tenang, namun matanya tak demikian. Akhirnya dia
berjalan kembali ke meja besarnya di sudut ruangan. Menekan sebuah tombol. Tak
selang berapa detik., dinding di sebelah kanannya terbuka. Nampaknya dinding
itu semacam pintu rahasia. Seorang lelaki bertubuh sedang berwajah tampan
muncul dan membungkuk memberi hormat.
“Kawasaki…” katanya perlahan.
“Hai….” Jawab lelaki itu.
Tokugawa menarik laci mejanya. Mengeluarkan sebuah kotak kecil sepanjang
dua jengkal berwarna merah. Menyerahkan pada lelaki tampan itu.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 077
No comments:
Post a Comment