Lelaki itu membungkuk lagi memberi hormat. Kemudian menghilang ke balik
dinding rahasia tadi. Dinding itu menutup kembali. Persis seperti tadi. Disana
tergantung sebuah lukisan candi besar. Tak ada tanda-tanda bahwa sebenarnya
ruang Tokugawa itu dihubungkan oleh pintu rahasia ke empat jurusan.
Kawasaki, pimpinan Jakuza cabang pelabuhan itu tinggal di seberang taman
Hamarikyu di tepai sungai Sumida yang besar di pinggir kota Tokyo.
Rumahnya indah dengan pekarangan luas. Dia tinggal dirumah itu bersama
isteri mudanya. Seorang gadis Jepang bekas Sri Panggung di Kabukiza Theater.
Gadis itu cantik. Bertubuh padat. Isteri pertamanya sudah terlalu gembrot.
Meski belum begitu tua, tapi Kawasaki sudah menceraikannya.
Saat itu dia tengah istirahat di ruangan tengah ketika sebuah kendaraan
berhenti jauh di jalan di depan rumahnya.
Dari pintu yang terbuka lebar, dia segera mengenal bahwa mobil yang
berhenti itu adalah mobil dari “markas besar” Jakuza.
“Ada pesan penting nampaknya,….” Katanya sambil berdiri.
“Masuklah ke dalam. Ada tamu penting….” Katanya pada isterinya yang sedang
membaca koran pagi.
Perempuan cantik itu tegak. Berjalan ke kamar dengan lenggang pinguulnya
yang meransang.
Dua orang lelaki kelihatan memasuki pintu pekarangannya. Kemudian melangkah
di taman. Semacam perasaan tak sedap menyelinap di hati Kawasaki. Kedua lelaki
ini dia ketahui sebagai pembawa pesan “amat khusus”. Dan keduanya adalah
pembunuh-pembunuh berdarah dingin. Dua orang spesialis yang langsung berada di
bawah perintah Pimpinan Wilayah, Tokugawa.
“Gomenkudasai…” salah seorang diantaranya bicara sopan di luar pintu.
“Hai, dozo ohairi kudasai…” jawabnya menyilahkan kedua tamu khusus itu
masuk
Kedua tamu itu membuka sepatu. Kemudian mereka masuk ke ruang tengah itu.
Duduk membelakangi pintu di lantai.
“Ogenki desu ka..” (apa kabar apa?) tanya Kawasaki sopan, setelah ikut
duduk berlutut dua depa di hadapan kedua tamunya ini.
“Kami disuruh menyampaikan pesan ini….” Jawab yang bertubuh kurus berwajah
dingin seperti burung gagak.
Dia mengangsurkan sebuah surat beramplop panjang ke hadapan Kawasaki.
Dengan perasaan tak sedap, Kawasaki mengambil surat itu. Dan darahnya serasa
seperti berhenti mengalir takkala melihat surat dalam amplop itu tertulis di
kertas merah. Itu berarti perintah bunuh diri!
Dia berusaha menguatkan hatinya. Kemudian membaca surat merah itu.
“Tuan hadir dalam rapat di Shinjuku
di rumah Kawabata. Saya telah menjamin dengan sumpah putus jari di hadapan
seorang Indonesia untuk keselamatan Hannako bersaudara. Saya telah membiarkan
Indonesia-jin itu pergi. Suatu pertanda bahwa saya juga menjamin
keselamatannya. Seorang Tokugawa tak mau melanggar sumpah. Dan lebih tak mau
lagi kalau ada orang yang menodai sumpah itu. Indonesia-jin (orang Indonesia)
itu kini ditangkap tentara Amerika atas penghianatan tuan.
Bersama ini saya kirimkan untuk tuan
sebuah peti merah.
“Tokugawa”
Begitu selesai membaca, lelaki yang tadi masuk ke kamar Tokugawa, segera
mengeluarkan kotak kecil berwarna merah yang diberikan Tokugawa. Kotak kecil
yang dia ambil dari dalam laci mejanya.
Dengan sikap sangat hormat, lelaki tampan ini meletakkan kotak ramping itu
di lantai. Kemudian dengan kedua tangannya dia menyorongkan kotak itu ke depan
Kawasaki.
Kawasaki jadi pucat.
“Ini tidak betul. Saya menghadap sendiri ke Pimpinan….” Katanya gugup.
Namun kedua lelaki itu menatap padanya dengan pandangan dingin.
“Saya bisa membebaskan Indonesia-jin itu…” dan ucapannya terhenti.
Dengan berkata begitu jadi jelas bahwa memang dia yang “mengatur” agar si
Bungsu tertangkap.
“Saya akan menelepon….” Suaranya terhenti.
Kedua lelaki itu menggeleng perlahan, dengan isyarat halus, keduanya
menunjuk pada kotak merah kecil itu. Namun Kawasaki tegak.
“Saya akan menemui pimpinan….” Suaranya lebih mirip orang takut dan putus
asa. Dia bergegas memutari kedua lelaki itu dalam jarak yang jauh menuju pintu.
Kedua lelaki itu tetap duduk tak memutar sedikitpun. Kawasaki sudah sampai
di pintu. Tiba-tiba kedua lelaki itu bergerak sangat cepat. Mereka berbalik
serentak setelah mengambil sesuatu dari balik jas mereka.
Demikian cepat gerakan kedua orang itu, sehingga tak diketahui siapa yang
lebih dahulu bergerak. Yang jelas, begitu mereka berbalik. Kawasaki merasa dada
dan rusuknya perih dan linu sekali. Dia berpaling, tapi tubuhnya tak kuat
tegak. Dia rubuh di atas kedua lututnya. Tangannya jadi lumpuh. Pada dada dan
rusuknya yang terasa linu dan menyebabkan kelumpuhan itu, tertancap dua bilah
samurai pendek. Tak lebih dari sejengkal.
“Pimpinan menghendaki tuan harakiri. Mati sebagai Jakuza yang terhormat.
Tapi tuan lebih menginginkan mati secara begini. Maafkan kami….”
Kedua lelaki itu, yang kini duduk berlutut di depan Kawasaki yang terhenyak
tak bisa bergerak, berkata perlahan. Aneh, tak sedikitpun wajah mereka
menunjukkan emosi. Tak terlihat mereka marah atau menyesal, apalagi takut.
Mereka bicara seperti sedang bicara dengan orang biasa saja. Padahal Kawasaki
sedang berjuang dengan sakratul maut. Mulut Kawasaki bergerak. Namun tak ada
suara yang keluar.
“Maafkan, kami mohon diri….” Kata yang berwajah tampan.
Kedua mereka segera membungkuk dalam-dalam ke lantai. Kemudian tegak. Yang
satu berjalan ke tengah ruangan. Mengambil surat yang tadi dibaca Kawasaki. Kemudian mereka
melangkah pergi. Melangkahi tubuh Kawasaki yang terbelintang di tengah pintu.
Kawasaki hanya bisa menatap kepergian orang itu dengan gerak matanya yang
makin melayu. Kedua orang itu berjalan di batu di tamannya. Suara sepatu mereka
berdetak satu-satu. Jantung Kawasaki juga berdetak satu-satu.
Kedua orang itu membuka pintu mobil, lalu masuk. Menghidupkan mesin, lalu
pergi. Suara mesin mobilnya makin jauh makin lenyap. Dan ketika suara deru
mobil itu lenyap sama sekali, nyawa Kawasaki juga lenyap.
Aneh terdengar. Seorang Tokugawa membunuh tokoh Jakuza bawahannya. Dia
bunuh hanya karena Kawasaki membocorkan rahasia pada Amerika bahwa yang
membunuh tentara Amerika di Asakusa adalah si Bungsu. Karenanya anak muda itu
tertangkap.
Namun seperti bunyi suratnya pada Kawasaki, dia membiarkan anak muda itu
bebas keluar dari rumah Kawabata setelah memenangkan perkelahian hari itu,
adalah sebagai tanda, bahwa dia juga menjamin keselamatan anak muda itu.
Dan keanehan-keanehan memang banyak terjadi di dunia para penjahat ini.
Meski mereka kumpulan pembunuh, pemeras, penodong, penjambret, namun mereka
mengenal kesetiaan, keperwiraan, kejujuran dan kasih sayang.
Si Bungsu mengakui seluruh tuduhan yang diajukan padanya. Memang dia yang
membunuh seorang letnan dan seorang sersan di penginapan Asakusa. Meskipun dia
membela orang lain, namun tentara pendudukan selalu berkuasa. Tentara yang
dalam perang selalu mendahulukan kepentingan para prajuritnya ketimbang
ketentuan hukum.
Lagipula, terhadap kasus si Bungsu, tak ada ketentuan hukum yang harus
dipertimbangkan. Di Jepang tak ada konsulat Indonesia saat itu. Karenanya, tak
ada perlindungan diplomatik.
Amerika tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia sepanjang menyangkut
hak-hak kewargaannya di negeri Jepang. Maka sesuai undang-undang yang berlaku,
si Bungsu diperlakukan dengan hukum perang. Meskipun belum disidangkan oleh
Mahkamah Militer, namun kepadanya telah disampaikan kira-kira hukuman apa yang
bakal dia dapatkan.
Hukuman tembak mati!
Si Bungsu tak menyesal. Dia malah berharap agar gadis yang dia tolong itu
selamat.
Sebulan dia dalam tahanan, persidangannya segera dibuka. Agak aneh juga,
ternyata pengadilan terhadap dirinya dipercepat. Di gedung pengadilan,
tiba-tiba dia bertemu dengan Kenji dan Hannako serta adiknya.
“Bungsu-san….” Terdengar suara halus ketika dia turun dari mobil tahanan.
Dia menoleh, dan melihat Hannako bersama Kenji. Hannako memeluknya.
“Bungsu-san…” katanya lirih.
“Hanako, Kenji….terimakasih, kalian datang menegokku, domo arigati
gizaimasu…” katanya perlahan.
Hannako menyerahkan ke tangannya setangkai bunga Sakura yang berwarna merah
jambu.
“Sekarang sudah musim bunga Bungsu-san …”katanya perlahan.
“Arigato…”
“Lihatlah, dimana-mana bunga Sakura pada mekar. Engkau akan bebas Bungsu-san….”tambah
Hannako.
Si Bungsu benar-benar terharu. Gadis itu memakai baju dari sutera berwarna
biru berkembang-kembang. Wajahnya cantik. Dia tersenyum menatapnya. Dan ketika
persidangan dimulai, seorang ahli Hukum terkenal di Tokyo saat itu, tuan
Yasuaki Yamada muncul sebagai pembela si Bungsu.
Tentara pendudukan Amerika seperti ditekan oleh pihak lain yang punya
kekuatan terselubung untuk mengadili orang Indonesia itu secara terbuka. Semula
tentara Amerika akan mengadilinya secara penjahat perang. Ada alasannya,
membunuh tentara Amerika yang sedang bertugas di negeri taklukan. Bukankah itu
sama dengan kejahatan perang? Namun “kekuatan terselubung” yang meminta agar
perkara itu diadili secara terbuka, nampaknya punya kekuatan yang benar-benar
tak dapat diabaikan. Tentara pendudukan Amerika terpaksa menyetujui permintaan
yang diajukan lewat ahli hukum Yasuaki Yamada itu. Dalam persidangan terjadi
debat yang amat sengit antara Jaksa Militer dengan pembela si Bungsu.
“Pembelaan terhadap terdakwa tak bisa diakui secara hukum. Terdakwa bukan
warganegara Jepang. Dan pembunuhan terhadap tentara Amerika yang sedang
bertugas haruslah diadili oleh mahkamah perang”
Demikian oditur militer Amerika menuntut pembatalan persidangan secara
terbuka ini.
Ruang sidang itu sendiri penuh sesak. Ada sekitar lima ratus orang hadir.
Terdiri dari tentara Amerika dan penduduk sipil Jepang. Yamada, pembela dan
ahli hukum terkenal itu segera bangkit.
“Terdakwa memang bukan orang Jepang. Tapi dia membunuh tentara Amerika karena
membela seorang warganegara Jepang. Maka selayaknyalah kami orang Jepang
membelanya”
Ucapannya mendapat tepuk tangan yang gemuruh dari pengunjung yang penduduk
Jepang.
“Meski demikian, dia membunuh 2 tentara Amerika yang sedang bertugas….”
“Apa tugasnya? Memperkosa seorang gadis Jepang?” potong Yamada.
Tepuk tangan gemuruh lagi. Muka oditur Militer yang berpangkat Mayor itu
jadi merah.
“Tak ada bukti yang menguatkan bahwa kedua tentara itu akan memperkosa
seorang gadis Jepang. Mana buktinya. Buktinya haruslah gadis yang akan
diperkosa itu sendiri….kami minta gadis itu diajukan sebagai saksi!”
Yamada benar-benar jadi terdiam. Semua isi pengadilan itu juga terdiam.
Inilah kartu mati bagi Yamada. Dalam sebulan ini dia telah berusaha mencari
tahu siapa gadis yang ditolong di hotel Asakusa. Namun usahanya sia-sia. Gadis
itu tak pernah ditemui. Dan kini, kelemahannya itu dijadikan sebagai truf oleh
Oditur untuk membatalkan persidangan ini. Pemilik penginapan yang diajukan
sebagai saksi, hanya mengatakan bahwa kedua tentara itu datang membawa dua
gadis. Sebenarnya mereka bertiga. Dan setelah mereka masuk kamar, dia tak tahu
lagi apa yang terjadi. Dia hanya mendengar serentetan tembakan dan ketika dia
muncul di kamar itu, kedua tentara itu telah mati.
Orang Indonesia yang menginap disana sudah lenyap entah kemana. Itulah
kesaksian yang bisa dia berikan. Dia tak mengenal siapa gadis yang dibawa
letnan Amerika itu.
Yamada sudah menyangka bahwa dia akan menghadapi kesulitan ini. Namun
Tokugawa yang berdiri dibalik pembelaan terhadap si Bungsu ini, membayarnya
amat tinggi untuk membela anak muda tersebut.
“Bela dia sampai bebas. Sekurang-kurangnya hanya dihukum setahun dua.
Tentang biaya jangan tuan pikirkan. Saya yang menjamin….” Kata Tokugawa.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 078
No comments:
Post a Comment