Persidangan diundur untuk memberi kesempatan pada Yamada mencari saksi.
Tokugawa tak berani memasang iklan untuk memanggil gadis itu. Pihak lain bisa
saja menjegal gadis tersebut di perjalanan. Terutama pihak Amerika yang ingin
persidangan itu dilakukan secara Militer.
Tokugawa menyebar mata-matanya ke seluruh pelosok untuk mencari gadis itu.
Ciri-cirinya ditanyakan pada si Bungsu dan pemilik penginapan. Si Bungsu teringat,
bahwa sebelum lama berdarah itu dia pernah bertemu dengan gadis itu di daerah
Ginza.
Maka Tokugawa menyapu seluruh toko, kantor, tempat-tempat mandi uap dan
rumah-rumah pelacuran atau rumah-rumah pribadi dalam usaha mencari gadis
tersebut.
Tapi mencari seorang gadis cantik di Tokyo dengan ciri-ciri yang
samar-samar alangkah sulitnya. Di Tokyo ada ratusan ribu gadis cantik. Dan
hampir semua punya ciri tubuh seperti gadis yang dikatakan si Bungsu. Bagaimana
menandainya?
Sepekan setelah
itu persidangan dibuka lagi.
“Kami berpendapat, percuma sidang ini diadakan kalau tak ada saksi utama.
Tak ada yang melihat atau mendengar bahwa ada perkosaan kecuali tertuduh. Dan
tertuduh tak bisa diminta keterangannya sebagai saksi. Hukuman mati patut
dijatuhkan padanya…” Oditur Militer itu berkata tegas setelah bertegang urat
leher dengan Yamada.
Yamada bangkit. Dia memandang keliling, kemudian memandang pada Hakim
Militer yang mengadili perkara ini.
“Amerika sudah cukup banyak membunuh orang di negeri ini. Hitunglah yang
mati di kancah peperangan. Terakhir hitung pula mereka yang mati tanpa dosa di
Hiroshima dan Nagasaki. Dimakan Bom Atom laknat itu. Apakah kalian masih akan
menambah angka kematian itu lagi?”
Tubuh Yamada sampai menggigil mengucapkan kalimat ini. Dia mengucapkan itu memang dengan penuh
kebencian. Tapi juga dengan penuh tantangan. Dia bisa diseret sebagai menghina
tentara Amerika! Beberapa pejabat kota Tokyo pada duduk dengan pucat. Meskipun
yang diucapkan pembela itu adalah isi hati mereka, namun mereka menilai Yamada
terlalu berani dengan ucapannya ini.
Ruangan pengadilan itu jadi sepi.
Semua pada terdiam dan gugup. Yamada sendiri tetap tegak ditempatnya yang
mirip api yang membakar sumbu dinamit. Yang bisa meledakkan seluruh Jepang
dalam peperangan yang lebih dahsyat. Seperti dikatakan, hampir seluruh
balatentara Jepang tak menghendaki menyerah pada sekutu. Semua mereka siap
untuk berperang sampai tetes darah terakhir. Itulah kenapa ribuan di antara
mereka yang memilih mati bunuh diri dengan harakiri ketika Tennoheika tetap
menyuruh mereka menyerah. Dan kini, masalah bom atom di Nagasaki dan Hiroshima
itu merupakan sesuatu yang tak pernah dibicarakan orang. Sesuatu yang amat
sensitif.
Akhirnya Hakim menarik nafas. Menjilat bibirnya. Kemudian bicara, suaranya
terdengar tenang berwibawa:
“Anda benar tuan Yamada. Kami tak dapat lagi untuk menambah korban. Oleh
karena itu peperangan harus dihentikan. Pengadilan ini akan berjalan terus. Tak
ada korban yang boleh jatuh dengan sia-sia. Kedua tentara Amerika itu menurut
file pemeriksaan sebelum tuan jadi pembela, membuktikan bahwa mereka memang
membawa gadis ke penginapan itu.
Saya undurkan sidang ini 15 hari untuk memberi kesempatan pada anda tuan
untuk mencari saksi utama itu. Saya juga akan memerintahkan Polisi Militer
Amerika untuk mencari gadis itu. Demi kemurnian hukum”
Dan dia mengetukkan palunya. Semua pengunjung di pengadilan bertepuk
menyambut putusan Hakim yang luar biasa itu. Yamada sendiri sampai berpeluh
karena tak yakin akan putusan itu. Orang-orang pada berdatangan memberi salam
padanya. Rasa simpati makin hari makin mengalir pada si Bungsu. Orang jadi
tahu, bahwa pemuda asing dari negeri bekas jajahan Jepang ini diadili karena
membela seorang gadis Jepang. Dan terungkap pula, pemuda itu juga telah
menyambung nyawanya melawan komplotan Jakuza dalam membela Hannako dan
saudara-saudaranya.
Sebuah badan sosial mengumpulkan dana untuk membiayai pembelaan si Bungsu.
semuanya berjalan tanpa diketahui oleh anak muda itu. Dia tetap berada dalam
kamar tahanannya, dan sama sekali tak terpengaruh oleh jalannya sidang.
Baginya, bebas ya syukur. Dengan demikian bisa melanjutkan pencariannya
terhadap saburo Matsuyama. Perwira Jepang yang membunuh keluarganya.
Kalau tak bebas dan dihukum kamti, dia juga tak keberatan. Dia sudah pasrah
pada Tuhan. Apakah lagi yang paling pokok dalam kehidupan ini selain daripada
pasrah pada kehendak Tuhan?
Orang yang telah berusaha, kemudian memasrahkan dirinya pada kehendak Tuhan
YME, adalah orang yang paling bahagia. Tenteram dan tenang hidupnya.
Kebahagiaan, ketenteraman dan ketenangan hidup tidak terletak pada harta atau
kekayaan. Tapi terletak pada hati.
Itulah yang dilakukan si Bungsu. Memasrahkan dirinya pada kehendak Yang
Satu!
Yamada tengah mempelajari berkas perkara
itu di kantornya di daerah Ginza ketika tiga orang berpakaian parlente
masuk.
“Kami dari Yayasan Universitas Tokyo. Ingin menyumbangkan pada tuan sedikit
uang untuk membiayai pembelaan terhadap si Bungsu…” kata salah seorang diantara
mereka.
Yamada menatap mereka. Pengacara terkenal dan termahal bayarannya ini
kemudian tersenyum.
“Terimakasih. Semula saya memang menerima bayaran dari seseorang untuk
membela pemuda itu. Tapi, semakin saya pelajari kasus ini, semakin saya malu
pada diri saya. Kenapa saya harus menerima bayaran untuk membela orang ini?
Yang saya bela ini bukan seorang Indonesia. Lebih dari itu. Yang sedang
diadili ini adalah harga diri dan moral orang Jepang. Selama bertahun-tahun di
negeri ini, terjadi erosi terhadap harga diri. Terjadi erosi terhadap moral
bangsa. Selama perang dunia berakhir, di negeri ini kota-kota berobah jadi
neraka bagi penduduk. Kita tak lagi terharu melihat orang-orang yang teraniaya.
Kita tak lagi prihatin mendengar berita perkosaan terhadap perempuan-perempuan
kita. Kita tak lagi peduli terhadap penderitaaan orang lain. Padahal sebelum
tentara Amerika menduduki negeri kita ini, kita terkenal sebagai bangsa yang
berbudi halus. Terkenal sebagai masyarakat yang paling homogen di dunia. Kita
cepat menaruh perhatian dan membantu penderitaan orang lain. Kini kemana
semuanya itu? Kita kini saling menyelamatkan diri sendiri. Kita malah menjauh
dari penderitaan orang lain. Takut kalau-kalau kita terserang pula oleh
penderitaan itu. Tiba-tiba seorang anak muda entah dari mana, entah siapa dia,
datang kemari. Dia datang dari negeri yang pernah dijajah dan dirobek-robek
oleh balatentara yang kita banggakan. Dia datang dari negeri yang dimana
ratusan ribu rakyat mati menjadi romusha. Kerja paksa di hutan belantara. Dia datang
dari negeri dimana balatentara Kemaharajaan Jepang pernah melakukan
pembantaian-pembantaian yang tak berperikemanusian. Dari sanalah dia datang.
Dan untuk kalian ketahui, secara kejiwaan saya dapat menebak, anak muda ini
datang kemari dengan membawa dendam yang dahsyat.
Dia mencari seseorang di negeri ini. Seseorang dari bangsa kita. Yang
barangkali pernah membunuh sanak keluarganya. Dia datang untuk membalas dendam.
Tapi takkala dia tiba di negeri ini, di saat dia sebenarnya bisa membiarkan
gadis di penginapan Asakusa itu ternoda oleh tentara Amerika. Atau di saat
seorang gadis lain bernama Hannako dan saudara-saudaranya terancam dibunuh oleh
Jakuza. Dia bisa saja membiarkannya. Apa guna dia ikut campur? Dia tak kenal
dengan mereka.
Tapi ternyata dia tak berlaku masa bodoh. Dia menyimpan dendam yang dia
bawa menyeberang laut itu di dalam hatinya. Tapi turun tangan mempertaruhkan
keselamatan dan nyawanya untuk membantu gadis itu di Asakusa. Dan dia turun
tangan membantu Hannako dan saudara-saudaranya dari ancaman Jakuza.
Anak muda Indonesia ini, yang berasal dari Gunung Sago, dari sebuah kampung
kecil bernama Situjuh Ladang Laweh di Minangkabau, yang dia perbuat di sini
hanya dapat disimpulkan dengan satu kalimat : dia telah membela harga diri
orang Jepang. Dia membelanya, disaat orang Jepang sendiri berlaku Homo
Homonilupus. Orang Jepang yang satu jadi serigala bagi orang Jepang lain.
Saya bisa buktikan itu dengan ketidak acuhan kita terhadap sesama bangsa.
Saya berani buktikan itu dengan ribuan manusia yang kini hidup di terowongan
bawah tanah. Ribuan kanak-kanak tanpa orang tua. Ribuan orang miskin tanpa
tempat berteduh. Sementara kita di atas ini hidup serba berkecukupan.
Saya merasa malu pada diri saya. Kenapa tak sadari dulu saya bela anak ini.
Saya telah menerima bayaran cukup tinggi dari seseorang yang tak mau disebutkan
nama dan alamatnya.
Uang bayarannya yang tinggi untuk menyelamatkan anak muda itu telah saya
kembalikan dua hari yang lalu. Dan kini saya akan membelanya mati-matian, kalau
sampai dia tak bisa saya bebaskan, saya tidak hanya akan berhenti menjadi
pengacara, tapi saya akan berhenti jadi orang Jepang! Saya akan harakiri!
Demi Budha, saya akan menepati sumpah saya ini. Membebaskannya atau bunuh
diri. Dan kini, tuan-tuan datang kepada saya untuk menyerahkan uang pembayar
pembelaan anak muda itu. Seharusnya saya marah, tapi karena tuan-tuan tak tahu,
tak apalah.
Bawalah uang itu kembali. Serahkan pada yayasan lain. Bantu anak-anak yang
ada dalam terowongan itu. Bantu orang-orang miskin itu. Tentang pembelaan anak
muda ini, serahkan pada saya. Seluruh kekayaan saya akan saya pergunakan untuk
menyelesaikan perkara ini”
Yasuaki Yamada berhenti.
Matanya berkaca-kaca. Namun wajahnya memperlihatkan sikap yang teguh. Ketiga
lelaki, yang terdiri dari para Sarjana Universitas Tokyo itu, yang datang
menyerahkan bantuan, duduk terdiam seperti patung mendengarkan ucapan pengacara
mashyur tersebut.
“Lalu, apa yang bisa kami perbuat untuk membantu membebaskan anak Indonesia
itu?” tanya salah seorang di antara mereka.
Yamada menarik nafas panjang.
“Ada satu hal, dan itu adalah soal terbesar yang bisa tuan bantu. Yaitu
mencari gadis yang akan diperkosa tentara Amerika itu, yang kemudian dibela
oleh si Bungsu. sampai saat ini saya belum bisa menemukannya. Jejaknya lenyap
seperti salju yang mencair kemudian menguap lagi ke udara. Kita tak tahu siapa
namanya. Dimana tinggalnya, nah tolonglah saya mencari gadis ini. Kalau dia
bertemu, dan dia berada dipihak kita, maka saya yakin anak muda itu bisa
dibebaskan…”
Dan akhirnya soal itulah yang mereka rembukan. Bagaimana mencari gadis
tersebut.
“Apakah tuan telah menanyakan pada pihak Polisi Milter Amerika tentang
gadis itu? Mungkin saja mereka mengetahui datanya…”
“Saya sudah tanyakan hal itu. Mereka
memang mengakui menahan gadis itu semalam. Lalu dilepas lagi. Tapi mereka
mengatakan tak menanyakan namanya dan tak mencatat alamat siapa-siapa…”
“Itu adalah dusta sama sekali…” kata seorang profesor diantara anggota
Tokyo University itu.
“Ya. Saya tahu itu dusta yang paling jahanam. Tapi mereka memang berhak
berbuat begitu menurut hukum di negeri mereka. Kitalah yang harus mencari bahan
bukti…”
“Apakah tak bisa didesak agar pengadilan itu diadili oleh Hakim Jepang.
Bukankah negeri ini bukan negeri Amerika, sehingga secara Juridis hukum Amerika
tak bisa diterapkan disini?”
“Ucapan tuan benar seandainya negeri kita tidak kalah perang. Status negeri
kita ini, diatas sedikit dari negeri jajahan, tak memungkinkan hal itu terjadi.
Mereka berhak menerapkan pengadilan menurut sistim di negeri mereka, karena
yang terbunuh justru tentara mereka. Hukum negeri kita bisa dipakai kalau kedua
belah pihak yang diadili tidak ada sangkut pautnya dengan warganegara atau
kepentingan orang Amerika”
“Apakah namanya juga tak diketahui?”
“Pihak Amerika mengatakan Michiko atau Machiko. Mereka tak begitu jelas
perbedaaannya. Soalnya gadis itu masih nerfus malam itu”
“Michiko, Machiko…ribuan gadis bernama seperti itu di kota ini…”
“Ya, itulah kesulitannya. Apalagi pihak Amerika katanya tak menyanyakan
siapa nama keluarganya. Tak pula mencatat alamatnya. Menurut proses verbal,
gadis itu didapat oleh tentara Amerika dari suatu taman di tengah kota. Kalau
keterangan itu benar, maka gadis itu pastilah kupu-kupu malam. Tapi saya tak
yakin, sebab menurut si Bungsu, si gadis menangis tak mau dinodai. Terjadi
pergumulan cukup lama. Si Bungsu mendengar suara gadis itu merintih…jangan,
jangan nodai saya. Jangan! Itu suatu pertanda, bahwa gadis itu bukan seorang
pelacur. Dia pastilah seorang gadis baik-baik. Hanya kenapa sampai ke taman itu
dimana berkumpul pelacur-pelacur yang lain? Inilah hal-hal yang menyulitkan
pencaharian terhadap gadis itu.
Saya juga telah menanyai dua perempuan yang sama-sama dibawa ke penginapan
Asakusa itu. Kedua perempuan itu yang telah lama beroperasi sebagai pelacur
mengatakan bahwa mereka baru malam itu bertemu dengan gadis itu. Mereka tak
mengenalnya sebelum peritiwa itu”
“Ya, di Universitas juga ada ratusan mahasiswi yang bernama Michiko atau
Machiko…” kata ketua Yayasan yang bergelar Profesor itu.
Mereka semua terdiam. Dan peradilan itu akhirnya dideponir oleh pihak
Amerika. Meski dibawah peraturan yang sangat ketat, namun puluhan mahasiswa dan
penduduk sipil suatu hari membawa poster berdemonstrasi menuntut pembebasan si Bungsu.
Tak kurang dari Jenderal Mac Arthur sendiri yang turun tangan mendeponir
perkara ini. Jenderal ini adalah Panglima balatentara sekutu untuk wilayah
Pasifik.
Dia bersama pasukannya semula “terusir” dari Filiphina oleh tentara Jepang.
Tapi dalam suatu pertarungan ulang, dia berhasil “revans” dan tidak hanya
merebut Filiphina saja, tapi menaklukan seluruh kawasan Asia yang diduduki
Jepang. Termasuk menduduki Jepang sendiri!
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 079
No comments:
Post a Comment