Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 083

Gadis itu segera bangkit akan pindah tempat. Meskipun dia tahu semua tempat sudah penuh, tapi daripada berdekatan dengan kedua lelaki ini, lebih baik tegak sampai ke tujuan. Namun yang jangkung menarik tangannya, menyentakkannya. Gadis itu terhenyak duduk kepangkuannya, dia menjerit. Kedua lelaki itu hanya tertawa, para penumpang lain hanya melirik. Kemudian kembali seperti tak tahu menahu. Mereka segara tahu, sikap demikian hanya dimiliki oleh penjahat-penjahat. Di daerah ini, ada dua kelompok penjahat yang berkuasa. Yaitu Jakuza dan Kumagaigumi (Beruang Gunung). Keduanya sama-sama berbahaya untuk dicampuri urusannya. Karena itu, para penumpang lebih suka berdiam diri.



Dengan jahanamnya, tangan si kurus ini meremas dada gadis tersebut. Gadis itu terpekik.

Saat itulah kedua penumpang yang duduk disebelah gadis itu muncul dari WC.

Melihat ada orang duduk di tempat mereka, yang lelaki, seorang pegawai kantor kota, berkata :



” Maaf Bung, ini tempat saya dan ibu ini”



Kedua lelaki itu, yang tengah tertawa cekikian terhenti. Menatap pada lelaki tersebut.



“Apa bukti bahwa disini tempat saudara?” Si gemuk pendek balik bertanya.



Lelaki itu mengeluarkan karcisnya. Perempuan itu juga. Si gemuk dan si jangkung mengambilnya. Melihatnya. Dan menyimpannya ke dalam jubahnya.



“Apa bukti bahwa di sini tempat saudara ?” si pendek gemuk mirip babi itu bertanya lagi.



Lelaki itu segera mengetahui bahwa orang ini mencari gara-gara. Karcis mereka kini  ada padanya. Dia tahu, kedua orang ini pastilah anggota bandit-bandit Jakuza atau Kumagaigumi.

Tapi harga dirinya sebagai seorang pegawai pamong, ditambah dengan tujuan yang masih jauh, maka dia tetap protes.



“Jangan main-main. Saudara bisa saya laporkan pada kondektur…” katanya.



Kedua lelaki itu tertawa. Kondektur lewat, lelaki itu menyampaikan persoalannya. Namun kondektur hanya menelan ludah. Wajahnya pucat, kesempatan itu dipergunakan gadis tadi untuk berdiri. Menghindar dari dua lelaki yang memuakkan itu. Dia sudah akan berhasil pergi, namun si gemuk pendek merenggutkan tangannya. Gadis itu kembali terpekik dan terjerembab ke lantai. Lelaki pegawai pamong itu berusaha menolakkan si gemuk. Namun si kurus menghajar perutnya dengan sebuah tendangan karate yang telak. Pegawai pamong itu terjajar. Suasana jadi heboh, gadis itu diangkat kembali oleh si kurus, didudukan ke pangkuannya. Orang-orang pada berdiri dari kursinya melihat kejadian itu.



“Duduklah kembali, kalau kalian tak ingin kehilangan kepala….” si pendek gemuk dengan suara bebeknya mengancam.



Kepala-kepala manusia itu seperti disentakkan alat otomoatis. Lenyap dan duduk kembali dengan diam.



“Nah, orang tua, pergilah cari tempat lain” suara si pendek gemuk seperti babi itu terdengar lagi.



Perempuan tua itu tahu, lelaki ini amat berbahaya. Dia membungkuk mengambil barang-barangnya di bawah tempat duduk. Ketika dia bangkit akan pergi, seorang lelaki berdiri di belakangnya.

“Akan kemana ibu ?” tanyanya perlahan.



Perempuan itu tak menjawab, dia mengangkat barangnya dan berputar.



“Jangan pergi,  tempat Ibu disini bukan ? Duduklah kembali…” lelaki itu mencegahnya dengan suara yang amat tenang.



Kedua lelaki yang duduk itu, yang kurus seperti jailangkung, yang pendek seperti babi, melotot pada lelaki yang baru datang itu. Lelaki itu justru tersenyum pada mereka.



“Berdirilah. Ibu ini akan duduk, kalian tak punya karcis bukan ?” katanya dengan suara yang alangkah tenangnya.



Para penumpang yang lain tentu saja jadi tertarik. Kalau Kondektur saja tak berani bertindak, kini ada orang lain yang berani, maka siapakah orang ini? Pikir mereka. Yang pendek gemuk segera saja jadi berang. Dia bangkit menghantam lelaki itu, namun begitu dia bangkit, begitu sebuah tendangan menghajar kerampangnya.

Dia mengeluh, terduduk lagi dengan muka yang putih karena menahan sakit.



“Jangan duduk di sana, pindahlah…” kata lelaki itu dengan perlahan.



Yang kurus tinggi bangkit, tangannya terhayun dalam bentuk pukulan karate, namun dia kembali terlambat. Sebuah pukulan dengan tongkat kayu menusuk bawah hidungnya “prakkk!” patah dua buah! Dan dia tersurut ke belakang!



“Pergilah, ini bukan tempat kalian..” lelaki yang baru datang itu berkata lagi dengan tenang.



Kedua lelaki itu jadi ragu. Mereka bertatapan, kemudian tangan mereka serentak berkelabat ke balik kimono mereka di mana samurai pendek mereka tersimpan. Namun demi malaikat, demi syetan dan iblis kedua lelaki itu hampir-hampir tak mempercayai mata mereka. Tangan lelaki itu justru lebih cepat! Sebuah tongkat kayu dengan cepat mendahului gerakan samurai mereka. Tongkat kayu itu menghentak persis tentang jantung mereka. Mata mereka mendelik. Karena hentakan ujung tongkat itu persis ketika mereka menghirup nafas. Mereka jadi pucat. Dan berikutnya, tongkat itu menghajar kepala mereka. “prakk! Prakk!” dua hentakan keras melanda kening. Dan kening mereka benjol sebesar telur. Penompang-penompang yang telah menjulurkan kepalanya kembali, jadi kaget dan kagum melihat kecepatan lelaki ini.



“Pergilah, sebelum kepala kalian makin besar oleh benjolan-benjolan…” lelaki itu berkata lagi, masih dengan suara tenang.



Dan kini, keberanian kedua lelaki itu ambruk. Meleleh seperti ingus. Dan mereka ngeloyor pergi. Tapi di pintu belakang, mereka berhenti, yang bersuara gagak berkata :



“Awas kau! Awas kau!”



Hanya itu, kemudian dia bergegas pergi.

Lelaki itu hanya menatap dengan matanya yang sayu. Lalu mendudukkan perempuan tua itu ke bangkunya. Dan dia tersenyum pada gadis yang duduk dekat jendela. Tapi senyumnya beku tiba-tiba. Gadis itu, yang sejak tadi meperhatikannya tiba-tiba juga jadi pucat. Mereka saling pandang kaget.



“Kau….?” Kata lelaki itu yang tak lain dari si Bungsu itu pada si gadis.

“Anda…?’ suara gadis itu serak.

“Engkau yang di penginapan Asakusa…?” Tanya si Bungsu.

“Ya…sayalah itu…” gadis itu berkata perlahan sambil matanya yang basah tak lepas-lepas menatap si Bungsu, perlahan dia bangkit.

“Engkau menyelamatkan aku kembali. Domo arigato gozaimasu…” kata gadis itu membungkuk.



Si bungsu menarik nafas. Lega dia. Tersenyum.



“Siapa namamu…?” tanyanya.

“Michiko…”

“Michiko, …ya Michiko…” kata si Bungsu mengulang.



Para penompang melihat saja kejadian itu dengan heran. Heran dan kagum menyaksikan seorang gadis Jepang yang cantik ngomong dengan lelaki asing yang gagah.



“Dimana anda duduk…? Tanya Michiko. Si Bungsu memalingkan kepalanya ke depan.

“Di sana, di bangku paling depan…” katanya sambil menunjuk ke bangku tiga deret di depan tempat Michiko.

“Maaf, saya belum tahu nama anda…”

“Oh ya, nama saya si Bungsu…”

“Bungsu-san terimakasih banyak atas budimu. Dua kali anda menolong saya….”

“Hei, bangku saya kebetulan kosong di depan sana. Hanya saya sendiri. Anda mau pindah ke sana ?”



Wajah Michiko berseri, dia mengangguk. Si Bungsu juga tersenyum, lalu menoleh pada ibu tua dan pegawai pamong yang duduk di sebelah Michiko.



“Saya harap ibu dan tuan senang duduk disini…” katanya perlahan.

“Terimakasih banyak nak… anda mahir berbahasa Jepang. Saya yakin anda bukan orang sini. Anda orang Malaya ?” perempuan tua itu bicara.

“Tidak, Watashi wa Indonesia-jin desu…”

“Aa, Indonesia-jin desu….” Ulang perempuan itu.



Dan Michiko juga baru tahu, bahwa pemuda yang menolongnya ini adalah orang Indonesia.

Perempuan itu mengucapkan terimakasih kembali. Demikian juga pegawai pamong yang perutnya kena schak oleh kaki si kurus jailangkung tadi.



Michiko yang ternyata berpergian sendirian lalu pindah ke tempat si Bungsu di depan. Si Bungsu membawakan tasnya. Para penumpang pada mengangguk memberi hormat ketika dia lewat di dekat mereka. Si Bungsu membalas mengangguk dan tersenyum. Para penumpang saling berbisik. Orang Indonesia. Bukankah itu adalah negeri yang dijajah oleh tentara kita enam tahun yang lalu, bisik mereka. Kini anak muda dari negeri itu datang menolong tiga penduduk Jepang yang akan dianiaya oleh penduduk Jepang lainnya ?.



Si Bungsu meletakkan tas Michiko di rak bagasi di depan mereka, di sisi ransel lusuhnya. Dia menyilahkan Michiko duduk dekat jendela. Kursinya memang kosong. Dia duduk di samping gadis itu. Michiko menatap pada si Bungsu, dia seperti tak yakin akan pertemuan ini.



“Kemana saja engkau setelah peristiwa di Asakusa itu?” tanya si Bungsu.

“Saya…saya…” Michiko menunduk.



Akan dia katakankah bahwa setelah dilepas oleh Polisi Militer Amerika dulu dia lalu mencari si Bungsu? Ah, dia jadi malu.



“Untuk beberapa hari saya masih di sana. Tapi hari ke enam, saya lalu ke tempat bibi di kota Hamamatsu”

“Oh, engkau naik di stasiun Hamamatsu pagi tadi?”

“Ya, saya naik di sana..”

“Kota kecil sebelum danau Hamana?”

“Ya, di sanalah saya selama ini…”



Si bungsu mengangguk. Dia jadi mengerti kenapa selama dua bulan usaha pengacara Yamada untuk mencari gadis ini tak pernah berhasil. Rupanya dia sudah berada ratusan kilometer dari Tokyo. Di sebuah kota kecil yang tak begitu dikenal. Peluit kereta api terdengar memekik.



“Kereta akan berangkat” kata Michiko.



Mereka sama menoleh lewat jendela ke luar. Teluk Atsumi kelihatan indah dalam udara sore yang merah. Burung-burung camar kelihatan terbang berkelompok. Terbang rendah, tiba-tiba seekor menukik terjun ke air. Lalu tiba-tiba membubung ke udara.



“Itu teluk Atsumi….” Kata Michiko perlahan takkala sebuah sampan nelayan bergerak di puncak ombak dengan layar yang berwarna kuning.

“Alangkah indahnya….” Kata si Bungsu.



Michiko menoleh, dan tiba-tiba wajahnya berhadapan dengan wajah si Bungsu yang tetap melihat ke teluk. Jarak wajah mereka hanya sejengkal. Si Bungsu tertegun. Mata Michiko yang hitam bersinar, hidungnya yang mancung dengan anak-anak rambut keluar dari balik penutup kepala yang terbuat dari bulu binatang. Gadis ini adalah salah satu diantara sekian gadis Jepang yang cantik.

Mereka bertatapan. Michiko menatap mata si Bungsu tepat-tepat. Pemuda ini, bermata hitam dengan sinar yang teguh, beralis tebal dengan rambut yang juga tebal hitam, adalah pemuda asing yang telah dua kali menyelamatkan dirinya.

Dulu, ketika dia selamat dari perkosaan tentara Amerika di Asakusa, seminggu lamanya dia memutari kota Tokyo. Mencari pemuda ini. Dan dengan kecewa dia akhirnya pergi ke tempat bibinya di kota Hamamatsu. Dan di tempat bibinya itu, selama beberapa bulan, dia tak bisa melupakan wajah anak muda ini. Seorang yang berwajah murung, bermata sayu tapi kukuh, berkulit hitam manis yang entah kenapa tak bisa dia lupakan. Kini anak muda itu ada sejengkal di depannya.



“Bungsu-san,…. “ katanya perlahan dari jarak sejengkal itu, tanpa melepaskan tatapan matanya dari wajah si Bungsu.


Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 082

No comments:

Post a Comment