Gadis itu
segera bangkit akan pindah tempat. Meskipun dia tahu semua tempat sudah penuh,
tapi daripada berdekatan dengan kedua lelaki ini, lebih baik tegak sampai ke
tujuan. Namun yang jangkung menarik tangannya, menyentakkannya. Gadis itu
terhenyak duduk kepangkuannya, dia menjerit. Kedua lelaki itu hanya tertawa, para
penumpang lain hanya melirik. Kemudian kembali seperti tak tahu menahu. Mereka
segara tahu, sikap demikian hanya dimiliki oleh penjahat-penjahat. Di daerah
ini, ada dua kelompok penjahat yang berkuasa. Yaitu Jakuza dan Kumagaigumi
(Beruang Gunung). Keduanya sama-sama berbahaya untuk dicampuri urusannya.
Karena itu, para penumpang lebih suka berdiam diri.
Dengan
jahanamnya, tangan si kurus ini meremas dada gadis tersebut. Gadis itu
terpekik.
Saat itulah
kedua penumpang yang duduk disebelah gadis itu muncul dari WC.
Melihat ada
orang duduk di tempat mereka, yang lelaki, seorang pegawai kantor kota, berkata
:
” Maaf Bung,
ini tempat saya dan ibu ini”
Kedua lelaki itu,
yang tengah tertawa cekikian terhenti. Menatap pada lelaki tersebut.
“Apa bukti
bahwa disini tempat saudara?” Si gemuk pendek balik bertanya.
Lelaki itu
mengeluarkan karcisnya. Perempuan itu juga. Si gemuk dan si jangkung
mengambilnya. Melihatnya. Dan menyimpannya ke dalam jubahnya.
“Apa bukti
bahwa di sini tempat saudara ?” si pendek gemuk mirip babi itu bertanya lagi.
Lelaki itu
segera mengetahui bahwa orang ini mencari gara-gara. Karcis mereka kini ada padanya. Dia tahu, kedua orang ini
pastilah anggota bandit-bandit Jakuza atau Kumagaigumi.
Tapi harga
dirinya sebagai seorang pegawai pamong, ditambah dengan tujuan yang masih jauh,
maka dia tetap protes.
“Jangan
main-main. Saudara bisa saya laporkan pada kondektur…” katanya.
Kedua lelaki
itu tertawa. Kondektur lewat, lelaki itu menyampaikan persoalannya. Namun kondektur
hanya menelan ludah. Wajahnya pucat, kesempatan itu dipergunakan gadis tadi
untuk berdiri. Menghindar dari dua lelaki yang memuakkan itu. Dia sudah akan
berhasil pergi, namun si gemuk pendek merenggutkan tangannya. Gadis itu kembali
terpekik dan terjerembab ke lantai. Lelaki pegawai pamong itu berusaha
menolakkan si gemuk. Namun si kurus menghajar perutnya dengan sebuah tendangan
karate yang telak. Pegawai pamong itu terjajar. Suasana jadi heboh, gadis itu
diangkat kembali oleh si kurus, didudukan ke pangkuannya. Orang-orang pada
berdiri dari kursinya melihat kejadian itu.
“Duduklah
kembali, kalau kalian tak ingin kehilangan kepala….” si pendek gemuk dengan
suara bebeknya mengancam.
Kepala-kepala
manusia itu seperti disentakkan alat otomoatis. Lenyap dan duduk kembali dengan
diam.
“Nah, orang
tua, pergilah cari tempat lain” suara si pendek gemuk seperti babi itu
terdengar lagi.
Perempuan tua
itu tahu, lelaki ini amat berbahaya. Dia membungkuk mengambil barang-barangnya
di bawah tempat duduk. Ketika dia bangkit akan pergi, seorang lelaki berdiri di
belakangnya.
“Akan kemana
ibu ?” tanyanya perlahan.
Perempuan itu
tak menjawab, dia mengangkat barangnya dan berputar.
“Jangan pergi, tempat Ibu disini bukan ? Duduklah kembali…”
lelaki itu mencegahnya dengan suara yang amat tenang.
Kedua lelaki
yang duduk itu, yang kurus seperti jailangkung, yang pendek seperti babi,
melotot pada lelaki yang baru datang itu. Lelaki itu justru tersenyum pada
mereka.
“Berdirilah.
Ibu ini akan duduk, kalian tak punya karcis bukan ?” katanya dengan suara yang
alangkah tenangnya.
Para penumpang
yang lain tentu saja jadi tertarik. Kalau Kondektur saja tak berani bertindak,
kini ada orang lain yang berani, maka siapakah orang ini? Pikir mereka. Yang
pendek gemuk segera saja jadi berang. Dia bangkit menghantam lelaki itu, namun
begitu dia bangkit, begitu sebuah tendangan menghajar kerampangnya.
Dia mengeluh, terduduk
lagi dengan muka yang putih karena menahan sakit.
“Jangan duduk
di sana, pindahlah…” kata lelaki itu dengan perlahan.
Yang kurus
tinggi bangkit, tangannya terhayun dalam bentuk pukulan karate, namun dia
kembali terlambat. Sebuah pukulan dengan tongkat kayu menusuk bawah hidungnya
“prakkk!” patah dua buah! Dan dia tersurut ke belakang!
“Pergilah, ini
bukan tempat kalian..” lelaki yang baru datang itu berkata lagi dengan tenang.
Kedua lelaki
itu jadi ragu. Mereka bertatapan, kemudian tangan mereka serentak berkelabat ke
balik kimono mereka di mana samurai pendek mereka tersimpan. Namun demi
malaikat, demi syetan dan iblis kedua lelaki itu hampir-hampir tak mempercayai
mata mereka. Tangan lelaki itu justru lebih cepat! Sebuah tongkat kayu dengan
cepat mendahului gerakan samurai mereka. Tongkat kayu itu menghentak persis
tentang jantung mereka. Mata mereka mendelik. Karena hentakan ujung tongkat itu
persis ketika mereka menghirup nafas. Mereka jadi pucat. Dan berikutnya,
tongkat itu menghajar kepala mereka. “prakk! Prakk!” dua hentakan keras melanda
kening. Dan kening mereka benjol sebesar telur. Penompang-penompang yang telah
menjulurkan kepalanya kembali, jadi kaget dan kagum melihat kecepatan lelaki
ini.
“Pergilah,
sebelum kepala kalian makin besar oleh benjolan-benjolan…” lelaki itu berkata
lagi, masih dengan suara tenang.
Dan kini,
keberanian kedua lelaki itu ambruk. Meleleh seperti ingus. Dan mereka ngeloyor
pergi. Tapi di pintu belakang, mereka berhenti, yang bersuara gagak berkata :
“Awas kau! Awas
kau!”
Hanya itu,
kemudian dia bergegas pergi.
Lelaki itu
hanya menatap dengan matanya yang sayu. Lalu mendudukkan perempuan tua itu ke
bangkunya. Dan dia tersenyum pada gadis yang duduk dekat jendela. Tapi
senyumnya beku tiba-tiba. Gadis itu, yang sejak tadi meperhatikannya tiba-tiba
juga jadi pucat. Mereka saling pandang kaget.
“Kau….?” Kata
lelaki itu yang tak lain dari si Bungsu itu pada si gadis.
“Anda…?’ suara
gadis itu serak.
“Engkau yang di
penginapan Asakusa…?” Tanya si Bungsu.
“Ya…sayalah
itu…” gadis itu berkata perlahan sambil matanya yang basah tak lepas-lepas
menatap si Bungsu, perlahan dia bangkit.
“Engkau
menyelamatkan aku kembali. Domo arigato gozaimasu…” kata gadis itu membungkuk.
Si bungsu
menarik nafas. Lega dia. Tersenyum.
“Siapa
namamu…?” tanyanya.
“Michiko…”
“Michiko, …ya
Michiko…” kata si Bungsu mengulang.
Para penompang
melihat saja kejadian itu dengan heran. Heran dan kagum menyaksikan seorang
gadis Jepang yang cantik ngomong dengan lelaki asing yang gagah.
“Dimana anda
duduk…? Tanya Michiko. Si Bungsu memalingkan kepalanya ke depan.
“Di sana, di
bangku paling depan…” katanya sambil menunjuk ke bangku tiga deret di depan
tempat Michiko.
“Maaf, saya
belum tahu nama anda…”
“Oh ya, nama
saya si Bungsu…”
“Bungsu-san
terimakasih banyak atas budimu. Dua kali anda menolong saya….”
“Hei, bangku
saya kebetulan kosong di depan sana. Hanya saya sendiri. Anda mau pindah ke
sana ?”
Wajah Michiko
berseri, dia mengangguk. Si Bungsu juga tersenyum, lalu menoleh pada ibu tua
dan pegawai pamong yang duduk di sebelah Michiko.
“Saya harap ibu
dan tuan senang duduk disini…” katanya perlahan.
“Terimakasih
banyak nak… anda mahir berbahasa Jepang. Saya yakin anda bukan orang sini. Anda
orang Malaya ?” perempuan tua itu bicara.
“Tidak, Watashi
wa Indonesia-jin desu…”
“Aa,
Indonesia-jin desu….” Ulang perempuan itu.
Dan Michiko
juga baru tahu, bahwa pemuda yang menolongnya ini adalah orang Indonesia.
Perempuan itu
mengucapkan terimakasih kembali. Demikian juga pegawai pamong yang perutnya
kena schak oleh kaki si kurus jailangkung tadi.
Michiko yang
ternyata berpergian sendirian lalu pindah ke tempat si Bungsu di depan. Si
Bungsu membawakan tasnya. Para penumpang pada mengangguk memberi hormat ketika
dia lewat di dekat mereka. Si Bungsu membalas mengangguk dan tersenyum. Para
penumpang saling berbisik. Orang Indonesia. Bukankah itu adalah negeri yang
dijajah oleh tentara kita enam tahun yang lalu, bisik mereka. Kini anak muda
dari negeri itu datang menolong tiga penduduk Jepang yang akan dianiaya oleh
penduduk Jepang lainnya ?.
Si Bungsu
meletakkan tas Michiko di rak bagasi di depan mereka, di sisi ransel lusuhnya.
Dia menyilahkan Michiko duduk dekat jendela. Kursinya memang kosong. Dia duduk
di samping gadis itu. Michiko menatap pada si Bungsu, dia seperti tak yakin
akan pertemuan ini.
“Kemana saja
engkau setelah peristiwa di Asakusa itu?” tanya si Bungsu.
“Saya…saya…”
Michiko menunduk.
Akan dia katakankah
bahwa setelah dilepas oleh Polisi Militer Amerika dulu dia lalu mencari si
Bungsu? Ah, dia jadi malu.
“Untuk beberapa
hari saya masih di sana. Tapi hari ke enam, saya lalu ke tempat bibi di kota
Hamamatsu”
“Oh, engkau
naik di stasiun Hamamatsu pagi tadi?”
“Ya, saya naik
di sana..”
“Kota kecil
sebelum danau Hamana?”
“Ya, di sanalah
saya selama ini…”
Si bungsu
mengangguk. Dia jadi mengerti kenapa selama dua bulan usaha pengacara Yamada
untuk mencari gadis ini tak pernah berhasil. Rupanya dia sudah berada ratusan
kilometer dari Tokyo. Di sebuah kota kecil yang tak begitu dikenal. Peluit
kereta api terdengar memekik.
“Kereta akan
berangkat” kata Michiko.
Mereka sama
menoleh lewat jendela ke luar. Teluk Atsumi kelihatan indah dalam udara sore
yang merah. Burung-burung camar kelihatan terbang berkelompok. Terbang rendah,
tiba-tiba seekor menukik terjun ke air. Lalu tiba-tiba membubung ke udara.
“Itu teluk
Atsumi….” Kata Michiko perlahan takkala sebuah sampan nelayan bergerak di
puncak ombak dengan layar yang berwarna kuning.
“Alangkah
indahnya….” Kata si Bungsu.
Michiko menoleh,
dan tiba-tiba wajahnya berhadapan dengan wajah si Bungsu yang tetap melihat ke
teluk. Jarak wajah mereka hanya sejengkal. Si Bungsu tertegun. Mata Michiko
yang hitam bersinar, hidungnya yang mancung dengan anak-anak rambut keluar dari
balik penutup kepala yang terbuat dari bulu binatang. Gadis ini adalah salah
satu diantara sekian gadis Jepang yang cantik.
Mereka
bertatapan. Michiko menatap mata si Bungsu tepat-tepat. Pemuda ini, bermata
hitam dengan sinar yang teguh, beralis tebal dengan rambut yang juga tebal
hitam, adalah pemuda asing yang telah dua kali menyelamatkan dirinya.
Dulu, ketika
dia selamat dari perkosaan tentara Amerika di Asakusa, seminggu lamanya dia memutari
kota Tokyo. Mencari pemuda ini. Dan dengan kecewa dia akhirnya pergi ke tempat
bibinya di kota Hamamatsu. Dan di tempat bibinya itu, selama beberapa bulan,
dia tak bisa melupakan wajah anak muda ini. Seorang yang berwajah murung,
bermata sayu tapi kukuh, berkulit hitam manis yang entah kenapa tak bisa dia
lupakan. Kini anak muda itu ada sejengkal di depannya.
“Bungsu-san,….
“ katanya perlahan dari jarak sejengkal itu, tanpa melepaskan tatapan matanya
dari wajah si Bungsu.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 082
No comments:
Post a Comment