“Michiko-san…”
jawab si Bungsu perlahan.
“Terimakasih
atas budimu padaku. Di Asakusa dan kini di Gamagori…”
“Tak usah
dipikirkan…”
“Masih ingat
ketika engkau bertanya tentang kereta yang akan ke Shibuya ?”
Tentu saja si
Bungsu ingat. Peritiwa itu terjadi di daerah Ginza. Dia akan mencari Kenji ke
Shibuya. Dan dia bertanya pada seorang gadis, kereta mana yang akan menuju
Shibuya.
Gadis itu tak
segera menjawab. Melainkan menatap dahulu pada dirinya. Ketika itu diketahuinya
bahwa pemuda yang bertanya itu adalah orang asing, yang nampaknya dari Malaya
atau Philipina atau Indonesia, dia lalu membuang muka dan melanjutkan
perjalanan tanpa menjawab pertanyaannya. Dan dua hari setelah itu, ternyata
gadis itu diselamatkan di Asakusa!
“Masih ingat ?”
tanya Michiko.
Tanpa
memindahkan tatapan matanya dari mata Michiko si Bungsu mengangguk dan
tersenyum kecil.
“Saya
menyesal…maafkan saya Bungsu-san…” Michiko berkata perlahan.
Di sudut matanya
ada air menggenang. Bungsu tersenyum dan berkata lembut.
“Jangan
dipikirkan. Lupakanlah…”
Tiba-tiba
Michiko menyandarkan kepalanya ke bahu si Bungsu. Bungsu jadi gugup dan
berdebar.
“Tenanglah…”
katanya sambil memegang rambut Michiko yang keluar dari balik topi bulu
binatangnya.
Perlahan
Michiko mengangkat wajahnya kembali. Mereka bertatapan lagi. Perlahan si Bungsu
menghapus air mata di pipi Michiko dengan jari-jari tangannya.
“Domo
arigato….” Kata Michiko.
“Lihatlah
keluar sana, indah sekali. Negerimu sangat indah…” kata si Bungsu.
Michiko menoleh
keluar, kemudian menoleh lagi pada si Bungsu. Dia tersenyum.
“Belum juga
berangkat kereta ini?” tanya si Bungsu.
“Ya, biasanya
sudah berangkat..” jawab Michiko. Ucapan mereka baru saja habis tatkala kondektur
dengan wajah pucat datang bergegas pada mereka.
“Larilah…
me…mereka datang…!” Kondektur itu bicara gugup pada si Bungsu.
Si Bungsu dapat
segera menebak bahwa yang datang itu adalah komplotan lelaki tadi yang kalau
tak salah dengar ada penompang yang bilang bahwa mereka dari komplotan Kumagaigumi.
Michiko jadi pucat, penumpang yang lain juga pada panik. Namun belum satupun
yang sempat mereka perbuat ketika empat lelaki berwajah tak menyedapkan naik ke
kereta api itu, dan langsung ke gerbong dimana si Bungsu dan Michiko duduk.
Ke Empat lelaki
itu tiba-tiba saja sudah tegak di gang di depan si Bungsu. Satu diantaranya
adalah yang kurus seperti jailangkung. Yang giginya rontok dua buah digetok hulu
samurai si Bungsu tadi.
“Dialah jahanam
itu….” Kata lelaki tersebut dengan suaranya yang mirip suara gagak.
Seorang lelaki
bertubuh sedang, dengan samurai di tangan kiri, bermata sipit berambut
gondrong, yang nampaknya boss diantara yang empat orang itu, menatap dengan
mengerenyitkan matanya pada si Bungsu.
“Dia ?”
tanyanya dengan nada tak percaya. Sementara mulutnya masih tetap kemat-kemot
mengunyah sesuatu.
“Ya, dialah
anjing itu…” pekik si Kurus.
Michiko
memegang tangan si Bungsu, memegang tangan kirinya. Sementara keempat bajingan
itu berada di sebelah kanan mereka.
“He, kau,
berdiri…!” perintah lelaki itu.
Suaranya mirip
geraman harimau. Si Bungsu berdiri, Michiko yang akan berdiri dia suruh tetap
duduk.
“Tetaplah duduk
Michiko…” katanya sambil menanggalkan pegangan tangan gadis itu dari lengannya.
Dia berdiri, tegak
sedepa dari keempat lelaki Jepang yang menatapnya dengan perasaan heran itu, terutama
lelaki yang tengah mengunyah yang nampaknya sebagai pimpinan itu. Dia tak
yakin, apakah anak muda asing ini memang sanggup mengalahkan dua orang anak
buahnya yang terkenal itu.
“Apakah engkau
tadi yang merontokkan giginya?” lelaki bertubuh sedang itu bertanya sambil
tetap mengunyah sesuatu.
Nampaknya seperti
gula-gula karet, sambil menunjukkan jempolnya pada si kurus kerempeng yang
jangkung.
“Dia yang
minta. Saya telah minta dia untuk pergi baik-baik. Namun dia lebih menyukai
giginya rontok…” si Bungsu menjawab seadanya.
Dan hal itu
menyebabkan si kurus kerempeng itu menggebrak maju akan menghantam si Bungsu,
nampaknya keberaniannya jadi tumbuh dekat teman-temannya ini. Namun gerakan
majunya tertahan oleh tangan temannya yang bertubuh kekar.
“Marilah kita
sikat dia….” Kata lelaki itu.
“Ya, kalian
sudahi dia. Dan bawa gadis itu padaku….” Yang mengunyah gula-gula karet itu
nampaknya tak mau turun tangan.
Pemuda asing
itu dia anggap bukan lawannya. Terlalu enteng! Makanya dia menyerahkan hal
sepele itu pada ketiga anak buahnya. Bagaimana dia akan turun tangan? Apakah
nama besarnya sebagai si Tangan Besi pimpinan Kumagaigumi kota Gamagori akan
dibuat cemar dengan melawan orang asing tak terkenal itu? Ah, itu pekerjaan
anak-anak, pikirnya.
Ketiga lelaki
anggota Beruang Gunung yang bermarkas besar di Osaka itu memang segera turun
tangan. Yang lebih dulu maju adalah yang kurus tinggi tadi. Dia merasa dapat
beking kuat dengan kehadiran kedua temannya ini. Dia segera maju menghantam si
Bungsu dengan sebuah tendangan yang tadi pernah melumpuhkan pegawai pamong
praja itu.
Namun si Bungsu
juga tak mau kasih hati pada orang Jepang pongah ini. Dari balik mantel
tebalnya, samurainya dengan sangat cepat menjulur keluar. Samurai itu tak dia
cabut, hanya gagangnya dia hentakkan ke kening si kerempeng itu. Terdengar
suara berdetak ketika kayu gagang samurai itu menghajar kening si kurus.
Demikian cepat dan kuatnya hentakkan itu, membuat si kurus tersurut dua
langkah, dan keningnya kini tak hanya bengkak seperti tadi. Tapi juga berdarah!
Dan samurai itu kini di pegang dengan tangan kirinya di luar mantel tebalnya
oleh si Bungsu. Dia melangkah, ketiga Jepang itu mundur dengan kaget.
Si Bungsu
menoleh pada Michiko.
“Tenanglah di
sana. Saya akan kembali…”
Berkata begini
dia melangkah lagi, ketiga Jepang anggota Beruang Gunung itu mundur terus.
Akhirnya mereka
terpepet ke pintu, salah seorang tiba-tiba maju sambil mencabut samurai. Tapi
Jepang ini sungguh bernasib malang, dia memang sudah lama belajar samurai. Tapi
orang dia hadapi adalah “malaikat” nya samurai. Samurai baru terangkat sedikit,
ketika dia rasakan perutnya pedih bukan main. Ayunan samurainya terhenti. Dia
melihat ke bawah. Dan wajahnya jadi pucat. Pucat karena kaget dan malu. Celananya
telah dibabat putus oleh samurai anak muda itu persis di bawah pusatnya! Celananya
terluncur ke bawah. Dan perutnya berdarah, darahnya mengalir hingga ke bawah! Dia
lari turun ke jalan, Si Bungsu maju terus. Dan kini mereka tegak di bawah, di
depan stasiun kecil di kota Gamagori itu.
Pimpinan mereka
tadi, yang telah turun lebih duluan merasa kaget melihat anak buahnya belum
juga berhasil menyudahi orang asing ingusan itu. Peristiwa itu tentu saja
menarik penduduk yang memenuhi stasiun tersebut. Mereka secara otomatis membuat
lingkaran yang amat lebar. Angin bersuit panjang membawa udara musim dingin
yang menusuk tulang.
Kini dia telah
dikepung oleh empat orang. Penduduk hanya melihat dari kejauhan. Ada seorang
Polisi dengan pistol di tangan yang menyeruak di antara kerumunan orang ramai.
“Hentikan semua
i….!” bentakkannya terhenti takkala dia melihat siapa yang sedang mengepung
seorang asing itu.
“Oh…eh…glep…plzf..”
mulutnya berkomat kamit tak menentu, dan akhirnya dia menyuruk lagi ke dalam
kerumunan orang ramai itu.
Yang dia bentak
sebentar ini adalah kepala bandit kelompok Kumagaigumi. Niat hatinya tadi ingin
dianggap pahlawan oleh orang banyak. Karena berhasil mengatasi sebuah
kericuhan. Tapi kini nyalinya jadi ciut, dan dia harus menelan pil pahit
takkala penduduk mengejeknya. Dia menyuruk dan menghindar dari sana, sudah
bukan hal yang aneh lagi, bila di kota kecil seperti Gamagori, Nishio, Yaizu,
Ena, atau Azuchi di tepi danau Biwa sana, yang berkuasa bukanlah aparat penegak
hukum. Melainkan kelompok-kelompok bandit seperti Jakuza dan Kumagaigumi. Demikian
berkuasanya mereka, sehingga dengan kekuatan uang dan kekuatan fisik
mengandalkan jumlah anggota yang banyak mereka bisa saja menggeser kedudukan
seorang penguasa kota kecil itu. Tapi yang paling ditakuti pejabat resmi itu
bukanlah tergesernya mereka dari kedudukan. Melainkan teror dan pembunuhan yang
tak kenal perikemanusiaan. Orang-orang ini bisa saja menyerang keluarga mereka.
Baik siang ataupun malam. Bagaimana kalau suatu saat mereka mendapati anak
mereka mati terbenam dalam sumur atau di gilas kereta api ? Nampaknya
kecelakaan biasa. Tapi itulah perbuatan kelompok-kelompok bandit ini. Kedua
kelompok bandit ini adalah semacam Mafia dari Italia sana. Dan ini membuat para
bandit itu memang petentengan serta kurang ajar.
Kini mereka
berhadapan. Si Kurus kembali menyerang pertama kali di depan stasiun itu dengan
samurainya. Dia maju dengan menghayun tiga langkah ke depan dan tiba-tiba
melangkah ke kanan dengan cepat sambil memancung ke arah si Bungsu !. Dan pada
saat yang sama, ketiga lelaki lainnya membabat dari tiga penjuru.
Peluit kereta
berbunyi. Ini adalah kesempatan bagi si masinis untuk berangkat. Roda kereta
mulai bergerak. Michiko tertegak.
“Bungsu-saaaan
…..!” himbaunya sambil menjulurkan kepala ke jendela.
Dan saat itulah
tangan kanan si Bungsu bekerja! Entah bagimana caranya, entah dari mana
mulanya, entah siapa yang lebih dahulu. Semua terjadi demikian cepat. Bahkan
orang-orang yang menatap dengan diampun tak bisa melihat bagaimana kejadian itu
berlangsung satu demi satu. Yang jelas, si kurus tinggi yang memulai serangan
itu, robek rusuk kanannya yang terangkat bersama samurai. Yang tadi luka di
bawah pusarnya, kena hantam lagi tentang lukanya itu. Perutnya terbosai keluar.
Yang satu lagi kena pancung lehernya. Jakunnya putus. Dan darah menyembur dari
sana. Dan terakhir, kepala bandit itu, yang bergelar si tangan besi, tersate di
ujung samurai si Bungsu. dengan suatu gerak berputar, si Bungsu menikamkan
samurainya ke belakang sambil merendahkan diri di atas lutut kanannya.
Tikam Samurai!
Itulah gerakan Datuk Berbangsa dari Situjuh Ladang Laweh takkala dia mencoba
melawan Saburo Matsuyama enam atau tujuh tahun yang lalu.
Mata pimpinan
Kumagaigumi itu mendelik. Dia rubuh. Semua orang terdiam. Kereta mulai berlari.
“Bungsu-saaan…!”
Michiko memanggil di antara tangisnya.
Semua penumpang
yang ada dalam gerbong itu juga pada mengeluarkan kepalanya. Beberapa orang
berdoa atas kematian anak muda itu. Berdoa semoga Budha menerimanya.
Michiko
menangis terduduk lemah di kursinya. Kereta telah berlari kencang meninggalkan
kota Gamagori itu. Dia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Bungsu-saan…”
desahnya di antara isak.
Beberapa
perempuan juga meneteskan air mata. Terutama ibu yang tadi ditolong anak muda
itu.
“Jangan
menangis…..” sebuah suara terdengar di sisi Michiko.
Michiko masih
menangis.
“Diamlah…Michiko-san…”
suara itu terdengar lembut.
Michiko
terdiam. Mengangkat kepalanya. Dan di sampingnya tegak si Bungsu. dia tertegun
tak percaya.
“Saya berjanji
akan kembali kemari bukan ?” kata si Bungsu tersenyum lembut.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 083
No comments:
Post a Comment