Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 084

“Michiko-san…” jawab si Bungsu perlahan.

“Terimakasih atas budimu padaku. Di Asakusa dan kini di Gamagori…”

“Tak usah dipikirkan…”

“Masih ingat ketika engkau bertanya tentang kereta yang akan ke Shibuya ?”



Tentu saja si Bungsu ingat. Peritiwa itu terjadi di daerah Ginza. Dia akan mencari Kenji ke Shibuya. Dan dia bertanya pada seorang gadis, kereta mana yang akan menuju Shibuya.

Gadis itu tak segera menjawab. Melainkan menatap dahulu pada dirinya. Ketika itu diketahuinya bahwa pemuda yang bertanya itu adalah orang asing, yang nampaknya dari Malaya atau Philipina atau Indonesia, dia lalu membuang muka dan melanjutkan perjalanan tanpa menjawab pertanyaannya. Dan dua hari setelah itu, ternyata gadis itu diselamatkan di Asakusa!



“Masih ingat ?” tanya Michiko.



Tanpa memindahkan tatapan matanya dari mata Michiko si Bungsu mengangguk dan tersenyum kecil.



“Saya menyesal…maafkan saya Bungsu-san…” Michiko berkata perlahan.



Di sudut matanya ada air menggenang.  Bungsu  tersenyum dan berkata lembut.



“Jangan dipikirkan. Lupakanlah…”



Tiba-tiba Michiko menyandarkan kepalanya ke bahu si Bungsu. Bungsu jadi gugup dan berdebar.



“Tenanglah…” katanya sambil memegang rambut Michiko yang keluar dari balik topi bulu binatangnya.



Perlahan Michiko mengangkat wajahnya kembali. Mereka bertatapan lagi. Perlahan si Bungsu menghapus air mata di pipi Michiko dengan jari-jari tangannya.



“Domo arigato….” Kata Michiko.

“Lihatlah keluar sana, indah sekali. Negerimu sangat indah…” kata si Bungsu.

Michiko menoleh keluar, kemudian menoleh lagi pada si Bungsu. Dia tersenyum.



“Belum juga berangkat kereta ini?” tanya si Bungsu.

“Ya, biasanya sudah berangkat..” jawab Michiko. Ucapan mereka baru saja habis tatkala kondektur dengan wajah pucat datang bergegas pada mereka.



“Larilah… me…mereka datang…!” Kondektur itu bicara gugup pada si Bungsu.



Si Bungsu dapat segera menebak bahwa yang datang itu adalah komplotan lelaki tadi yang kalau tak salah dengar ada penompang yang bilang bahwa mereka dari komplotan Kumagaigumi. Michiko jadi pucat, penumpang yang lain juga pada panik. Namun belum satupun yang sempat mereka perbuat ketika empat lelaki berwajah tak menyedapkan naik ke kereta api itu, dan langsung ke gerbong dimana si Bungsu dan Michiko duduk.

Ke Empat lelaki itu tiba-tiba saja sudah tegak di gang di depan si Bungsu. Satu diantaranya adalah yang kurus seperti jailangkung. Yang giginya rontok dua buah digetok hulu samurai si Bungsu tadi.



“Dialah jahanam itu….” Kata lelaki tersebut dengan suaranya yang mirip suara gagak.



Seorang lelaki bertubuh sedang, dengan samurai di tangan kiri, bermata sipit berambut gondrong, yang nampaknya boss diantara yang empat orang itu, menatap dengan mengerenyitkan matanya pada si Bungsu.



“Dia ?” tanyanya dengan nada tak percaya. Sementara mulutnya masih tetap kemat-kemot mengunyah sesuatu.

“Ya, dialah anjing itu…” pekik si Kurus.



Michiko memegang tangan si Bungsu, memegang tangan kirinya. Sementara keempat bajingan itu berada di sebelah kanan mereka.



“He, kau, berdiri…!” perintah lelaki itu.



Suaranya mirip geraman harimau. Si Bungsu berdiri, Michiko yang akan berdiri dia suruh tetap duduk.



“Tetaplah duduk Michiko…” katanya sambil menanggalkan pegangan tangan gadis itu dari lengannya.



Dia berdiri, tegak sedepa dari keempat lelaki Jepang yang menatapnya dengan perasaan heran itu, terutama lelaki yang tengah mengunyah yang nampaknya sebagai pimpinan itu. Dia tak yakin, apakah anak muda asing ini memang sanggup mengalahkan dua orang anak buahnya yang terkenal itu.



“Apakah engkau tadi yang merontokkan giginya?” lelaki bertubuh sedang itu bertanya sambil tetap mengunyah sesuatu.



Nampaknya seperti gula-gula karet, sambil menunjukkan jempolnya pada si kurus kerempeng yang jangkung.



“Dia yang minta. Saya telah minta dia untuk pergi baik-baik. Namun dia lebih menyukai giginya rontok…” si Bungsu menjawab seadanya.



Dan hal itu menyebabkan si kurus kerempeng itu menggebrak maju akan menghantam si Bungsu, nampaknya keberaniannya jadi tumbuh dekat teman-temannya ini. Namun gerakan majunya tertahan oleh tangan temannya yang bertubuh kekar.



“Marilah kita sikat dia….” Kata lelaki itu.

“Ya, kalian sudahi dia. Dan bawa gadis itu padaku….” Yang mengunyah gula-gula karet itu nampaknya tak mau turun tangan.



Pemuda asing itu dia anggap bukan lawannya. Terlalu enteng! Makanya dia menyerahkan hal sepele itu pada ketiga anak buahnya. Bagaimana dia akan turun tangan? Apakah nama besarnya sebagai si Tangan Besi pimpinan Kumagaigumi kota Gamagori akan dibuat cemar dengan melawan orang asing tak terkenal itu? Ah, itu pekerjaan anak-anak, pikirnya.

Ketiga lelaki anggota Beruang Gunung yang bermarkas besar di Osaka itu memang segera turun tangan. Yang lebih dulu maju adalah yang kurus tinggi tadi. Dia merasa dapat beking kuat dengan kehadiran kedua temannya ini. Dia segera maju menghantam si Bungsu dengan sebuah tendangan yang tadi pernah melumpuhkan pegawai pamong praja itu.

Namun si Bungsu juga tak mau kasih hati pada orang Jepang pongah ini. Dari balik mantel tebalnya, samurainya dengan sangat cepat menjulur keluar. Samurai itu tak dia cabut, hanya gagangnya dia hentakkan ke kening si kerempeng itu. Terdengar suara berdetak ketika kayu gagang samurai itu menghajar kening si kurus. Demikian cepat dan kuatnya hentakkan itu, membuat si kurus tersurut dua langkah, dan keningnya kini tak hanya bengkak seperti tadi. Tapi juga berdarah! Dan samurai itu kini di pegang dengan tangan kirinya di luar mantel tebalnya oleh si Bungsu. Dia melangkah, ketiga Jepang itu mundur dengan kaget.

Si Bungsu menoleh pada Michiko.



“Tenanglah di sana. Saya akan kembali…”



Berkata begini dia melangkah lagi, ketiga Jepang anggota Beruang Gunung itu mundur terus.

Akhirnya mereka terpepet ke pintu, salah seorang tiba-tiba maju sambil mencabut samurai. Tapi Jepang ini sungguh bernasib malang, dia memang sudah lama belajar samurai. Tapi orang dia hadapi adalah “malaikat” nya samurai. Samurai baru terangkat sedikit, ketika dia rasakan perutnya pedih bukan main. Ayunan samurainya terhenti. Dia melihat ke bawah. Dan wajahnya jadi pucat. Pucat karena kaget dan malu. Celananya telah dibabat putus oleh samurai anak muda itu persis di bawah pusatnya! Celananya terluncur ke bawah. Dan perutnya berdarah, darahnya mengalir hingga ke bawah! Dia lari turun ke jalan, Si Bungsu maju terus. Dan kini mereka tegak di bawah, di depan stasiun kecil di kota Gamagori itu.

Pimpinan mereka tadi, yang telah turun lebih duluan merasa kaget melihat anak buahnya belum juga berhasil menyudahi orang asing ingusan itu. Peristiwa itu tentu saja menarik penduduk yang memenuhi stasiun tersebut. Mereka secara otomatis membuat lingkaran yang amat lebar. Angin bersuit panjang membawa udara musim dingin yang menusuk tulang.



Kini dia telah dikepung oleh empat orang. Penduduk hanya melihat dari kejauhan. Ada seorang Polisi dengan pistol di tangan yang menyeruak di antara kerumunan orang ramai.



“Hentikan semua i….!” bentakkannya terhenti takkala dia melihat siapa yang sedang mengepung seorang asing itu.

“Oh…eh…glep…plzf..” mulutnya berkomat kamit tak menentu, dan akhirnya dia menyuruk lagi ke dalam kerumunan orang ramai itu.



Yang dia bentak sebentar ini adalah kepala bandit kelompok Kumagaigumi. Niat hatinya tadi ingin dianggap pahlawan oleh orang banyak. Karena berhasil mengatasi sebuah kericuhan. Tapi kini nyalinya jadi ciut, dan dia harus menelan pil pahit takkala penduduk mengejeknya. Dia menyuruk dan menghindar dari sana, sudah bukan hal yang aneh lagi, bila di kota kecil seperti Gamagori, Nishio, Yaizu, Ena, atau Azuchi di tepi danau Biwa sana, yang berkuasa bukanlah aparat penegak hukum. Melainkan kelompok-kelompok bandit seperti Jakuza dan Kumagaigumi. Demikian berkuasanya mereka, sehingga dengan kekuatan uang dan kekuatan fisik mengandalkan jumlah anggota yang banyak mereka bisa saja menggeser kedudukan seorang penguasa kota kecil itu. Tapi yang paling ditakuti pejabat resmi itu bukanlah tergesernya mereka dari kedudukan. Melainkan teror dan pembunuhan yang tak kenal perikemanusiaan. Orang-orang ini bisa saja menyerang keluarga mereka. Baik siang ataupun malam. Bagaimana kalau suatu saat mereka mendapati anak mereka mati terbenam dalam sumur atau di gilas kereta api ? Nampaknya kecelakaan biasa. Tapi itulah perbuatan kelompok-kelompok bandit ini. Kedua kelompok bandit ini adalah semacam Mafia dari Italia sana. Dan ini membuat para bandit itu memang petentengan serta kurang ajar.



Kini mereka berhadapan. Si Kurus kembali menyerang pertama kali di depan stasiun itu dengan samurainya. Dia maju dengan menghayun tiga langkah ke depan dan tiba-tiba melangkah ke kanan dengan cepat sambil memancung ke arah si Bungsu !. Dan pada saat yang sama, ketiga lelaki lainnya membabat dari tiga penjuru.

Peluit kereta berbunyi. Ini adalah kesempatan bagi si masinis untuk berangkat. Roda kereta mulai bergerak. Michiko tertegak.



“Bungsu-saaaan …..!” himbaunya sambil menjulurkan kepala ke jendela.



Dan saat itulah tangan kanan si Bungsu bekerja! Entah bagimana caranya, entah dari mana mulanya, entah siapa yang lebih dahulu. Semua terjadi demikian cepat. Bahkan orang-orang yang menatap dengan diampun tak bisa melihat bagaimana kejadian itu berlangsung satu demi satu. Yang jelas, si kurus tinggi yang memulai serangan itu, robek rusuk kanannya yang terangkat bersama samurai. Yang tadi luka di bawah pusarnya, kena hantam lagi tentang lukanya itu. Perutnya terbosai keluar. Yang satu lagi kena pancung lehernya. Jakunnya putus. Dan darah menyembur dari sana. Dan terakhir, kepala bandit itu, yang bergelar si tangan besi, tersate di ujung samurai si Bungsu. dengan suatu gerak berputar, si Bungsu menikamkan samurainya ke belakang sambil merendahkan diri di atas lutut kanannya.

Tikam Samurai! Itulah gerakan Datuk Berbangsa dari Situjuh Ladang Laweh takkala dia mencoba melawan Saburo Matsuyama enam atau tujuh tahun yang lalu.

Mata pimpinan Kumagaigumi itu mendelik. Dia rubuh. Semua orang terdiam. Kereta mulai berlari.



“Bungsu-saaan…!” Michiko memanggil di antara tangisnya.



Semua penumpang yang ada dalam gerbong itu juga pada mengeluarkan kepalanya. Beberapa orang berdoa atas kematian anak muda itu. Berdoa semoga Budha menerimanya.

Michiko menangis terduduk lemah di kursinya. Kereta telah berlari kencang meninggalkan kota Gamagori itu. Dia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya.



“Bungsu-saan…” desahnya di antara isak.



Beberapa perempuan juga meneteskan air mata. Terutama ibu yang tadi ditolong anak muda itu.



“Jangan menangis…..” sebuah suara terdengar di sisi Michiko.



Michiko masih menangis.



“Diamlah…Michiko-san…” suara itu terdengar lembut.



Michiko terdiam. Mengangkat kepalanya. Dan di sampingnya tegak si Bungsu. dia tertegun tak percaya.



“Saya berjanji akan kembali kemari bukan ?” kata si Bungsu tersenyum lembut.



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 083

No comments:

Post a Comment