Dan tiba-tiba
Michiko menghambur ke pelukannya.
“Oh,
Bungsu-san…oh, Bungsu-san…saya khawatir engkau dicelakai keempat orang itu….”
“Tidak. Mereka
ternyata orang baik-baik. Saya mereka suruh naik ke kereta ini…” kata si
Bungsu.
Para penumpang
menatap mereka dengan bahagia. Ternyata si Bungsu berhasil naik ke kereta yang
sedang berjalan itu di saat yang tepat. Meninggalkan empat mayat anggota
Kumagaigumi itu malang melintang di depan stasiun kota kecil Gamagori.
Si Bungsu
membawa Michiko duduk. Gadis itu menyandarkan terus kepalanya ke bahu si
Bungsu. dan tangan si Bungsu memeluk tubuh Michiko.
Kereta api itu
berjalan menembus dinding senja menuju Nagoya. Michiko benar-benar merasa aman
dan bahagia berada dipelukan anak muda Indonesia itu. Tubuhnya yang lelah
akhirnya tertidur dalam pelukan si Bungsu. Hari telah larut malam ketika dia
tersentak bangun. Dia bangun karena lapar.
“Lapar?” tanya
si Bungsu.
Michiko
tersenyum dan mengangguk.
“Saya sudah
beli roti dan kue Pau. Nah, ini diminum dengan sedikit sake. Bisa memanaskan
badan”
Michiko lalu
makan roti tersebut. Roti dari bar kereta api itu masih mengepul asapnya. Panas
dan nikmat.
“Engkau akan
kemana ?” tanya si Bungsu ketika Michiko selesai makan.
“Saya akan ke
Kyoto, Bungsu-san akan kemana?”
“Saya juga akan
ke sana…”
“Saya gembira
kita setujuan…” kata Michiko.
“Di Kyoto
dimana Bungsu-san menginap?”
“Saya tak tahu.
Saya baru pertama kali ke sana…”
“Kalau begitu
menginap di rumah saja. Rumah kami besar dan penghuninya tak berapa orang. Ayah
akan gembira sekali kalau Bungsu-san datang ke sana..”
“Terimakasih
undanganmu Michiko-san. Saya lihatlah nanti bagaimana baiknya. Saya ke sana
juga mencari seorang teman….”
“Dimana dia
tinggal? Saya tahu seluruh kota Kyoto. Saya tinggal di sana selama tiga tahun
sebelum melanjutkan sekolah ke Universitas Tokyo tahun lalu….barangkali saya
bisa menunjukkan alamatnya…”
“Baik, baik.
Nanti sesampai di Kyoto saya akan minta tolong padamu. Nah, tambah lagi
minumnya?”
“Tidak,
terimakasih”
Kereta meluncur
terus. Mereka terlibat dalam pembicaraan tentang Tokyo, tentang Kyoto.
“Bungsu-san,
apa bedanya antara negerimu dengan negeriku?”
“Banyak. Di
negeri kami tak ada musim dingin. Tak ada musim bunga atau musim gugur. Di sana
matahari bersinar terus sepanjang tahun….”
“Oh, alangkah
indah dan senangnya hidup di sana. Apakah di sana juga ada danau, gunung dan
laut seperti di sini?”
“Engkau tak
pernah melihatnya di peta dalam sekolah?”
Michiko
tersenyum, kemudian dengan manja menyandarkan kepalanya ke bahu si Bungsu.
“Saya sudah
melihatnya dalam peta. Tapi saya ingin mendengarnya dari mulutmu…. Ceritalah
yang banyak Bungsu-san. Ceritalah tentang negerimu. Tentang dirimu. Tentang apa
saja…”
“Juga tentang
bangsamu yang menjajah dan memperkosa negeriku?” hampir saja pertanyaan itu
melompat dari mulut si Bungsu, untung dia segera dapat menahan diri.
Dia sadar,
gadis ini tak ada sangkut pautnya dengan fasisme militer yang menjajah
negerinya.
“Saya takkan
bercerita, saya akan menyanyi. Engkau mau mendengarkan nyanyiku…?” tanyanya
sambil memeluk bahu Michiko.
Gadis itu
bangkit dari bahu si Bungsu. Menatap wajahnya dengan pandangan berbinar.
“Ya, saya suka.
Menyanyilah Bungsu-san…” katanya gembira dan kembali dia merebahkan kepalanya
ke bahu si Bungsu.
Si Bungsu
memeluk bahu gadis itu dan mulai batuk-batuk kecil mengatur suara, dan dia
mulai menyanyi dengan suaranya yang berat dan lembut.
“Meskipun turun
hujan,
Saya akan pergi
Jangan menangis
Jangan lupakan
saya
Selamat
tinggal”
Michiko
mengangkat kepalanya begitu lagu itu berakhir. Menatap anak muda itu
tepat-tepat.
“Anata wa
nippon no uta o shitte imasu…’ (Anda mengetahui lagu Jepang), kata Michiko
heran.
“Hai, sukhosi
dekimasu…” (Ya, mengetahui sedikit)
“Itu lagu yang
sangat mengharukan. Lagu perpisahan antara dua kekasih. Dimana anda belajar?”
“Saya belajar
dari seorang sahabat. Seorang pelaut. Kami sekapal dari Singapura ke Tokyo…”
“Ya, itu adalah
lagu pelaut-pelaut yang meninggalkan pelabuhan sepinya. Anda menyukai lagu
itu?”
“Ya…saya suka
sekali…”
“Kenapa?”
“Karena saya
adalah pelaut. Bukankah setiap pengembara adalah pelaut dalam arti kata yang
lain? Pengembara pergi dan datang ke suatu negeri seperti pelaut datang dan
pergi ke satu, dan lain laut sepi. Begitulah saya…”
“Oh,
Bungsu-san….” Michiko menyembunyikan rasa harunya ke dada pemuda itu.
Si Bungsu
memeluk bahu gadis itu kembali. Tanpa dia ketahui, air mata gadis itu mengalir
di pipi. Pemuda itu menyanyikan lagu sepi dan mengucapkan selamat tinggal.
Dan Michiko
merasa bahwa lagu itu ditujukan untuk dirinya. Dengan halus si Bungsu tadi
telah menolak untuk menginap di rumahnya. Bukankah itu isyarat, bahwa pemuda
itu tak lagi akan bertemu dengannya?
Dia merasakan
tangan anak muda itu memeluk bahunya. Merasakan pipi anak muda itu bersandar ke
rambutnya yang lebat. Michiko memegang tangan si Bungsu yang memeluknya.
Memegangnya dengan lembut. Dengan sikap demikian, dia kembali tertidur. Dan
dengan sikap demikian pula si Bungsu mengenang kembali masa lalunya di
Minangkabau.
Ingatannya
menikam masa tahun-tahun yang lenyap dalam jejak zaman. Teringat akan
kegemarannya berjudi ketika muda. Pada kebenciannya belajar silat. Meski
ayahnya, Datuk Berbangsa adalah Guru Tuo dalam aliran silatnya di kaki Gunung
Sago itu. Teringat pada Mei-Mei. Pada “Isteri” pertamanya yang tak sempat dia
nikahi itu. Gadis Cina itu meninggal di atas loteng surau di Tarok, Kota
Bukittinggi sesaat sebelum mereka membaca ijab kabul di depan Kadhi. Gadis itu
meninggal karena diperkosa oleh selusin serdadu Jepang.
Kemudian dia
teringat pada Salma. Gadis murid sekolah Diniyah yang orang tuanya tinggal di
Panorama Bukittinggi. Gadis itulah yang mengobat luka-luka yang dia derita
dengan penuh kasih sayang. Dan tanpa dia sadari, ibu jarinya meraba jari
manisnya yang kiri. Sebentuk cincin bermata Intan melingkar di sana, cincin
pemberian Salma.
“Pakailah
cincin ini. Bila uda sakit atau rindu ke kampung, lihatlah cincin ini, saya
selalu mendoakan kebahagiaan udaa…”
Begitu Salma
berkata sesaat sebelum dia pergi dahulu. Dia menoleh ke cincin itu. Dan dia
justru terpandang pada wajah Michiko yang tidur bersandar ke bahunya. Gadis itu
tidur dengan tenteram dan nyenyak dalam pelukan tangan kirinya. Dia menoleh ke
luar. Lewat jendela kaca yang kain gordennya belum ditutupkan, dia melihat
kegelapan yang pekat di luar sana. Angin dingin pastilah menusuk-nusuk, sebab
kini musimnya. Dalam kegelapan di luar, dia membayangkan perjalanannya selama
di Jepang ini. Membayangkan Kenji, Hannako dan Tokugawa. Hannako! Ah, sedang
mengapa gadis itu kini? Dia tahu gadis itu mencintainya. Itu terlihat dari
tindak tanduknya. Apakah dia juga mencintai gadis itu? Dia tak berani
menjawabnya. Dia menyayangi gadis itu seperti dia menyayangi adiknya. Dan
tiba-tiba dia menatap wajah Michiko yang tidur dalam dekapannya.
Yang mana
antara Michiko dan Hannako yang cantik? Dia tak dapat mengatakan yang pasti.
Keduanya memiliki kelebihan masing-masing. Dan mana yang cantik antara kedua
gadis ini dengan Salma yang di Bukittinggi. Ah gila, pikirnya. Dia jadi malu
pada dirinya memperbandingkan gadis-gadis itu. Dan dengan pikiran demikian,
dengan tangan tetap melekuk bahu Michiko, diapun tertidur.
Kyoto. Pada
tahun-tahun sehabis perang Dunia ke II Kyoto adalah kota terbesar di Jepang.
Lebih besar dari Tokyo yang kini jadi Ibukota. Kyoto adalah kota tua dari zaman
dinasti Tokugawa. Karenanya dalam kota kelihatan bangunan-bangunan peninggalan
zaman tersebut. Tua tapi kukuh dan anggun. Kuil-kuil agama Budha dan Shinto
terdapat di banyak tempat dalam kota.
Kota itu
sendiri di belah-belah oleh beberapa sungai besar dan kecil. Sungai terbesar
yang membelah kota itu adalah dua buah sungai yang bergabung jadi satu.
Kedua sungai
itu adalah sungai Kamo dan sungai itu adalah sungai Kamo dan sungai Takano dari
utara bergabung jadi satu agak di utara kota, kemudian mengalir ke jantung
kota.
Stasiun Kereta
Api Kyoto terletak di kawasan daerah Minamiku. Di depannya ada stasiun bus.
Stasiun ini ramai sepanjang siang dan malam. Tak perduli musim panas atau musim
dingin. Sepanjang tepi sungai yang mengalir dalam kota dibuat jalan raya yang
diteduhi pohon-pohonan sakura.
Si Bungsu
menginap di sebuah hotel di persimpangan jalan Imadegawa yang melintasi sungai
dengan jalan Karawamachi yang searah memanjang jalan. Dia berpisah dengan
Michiko di depan hotel itu. Di belakang hotelnya adalah areal Istana Kyoto.
Istana ini memiliki kebun dan taman yang bukan main luasnya. Di sinilah dahulu
Dinasti Tokugawa memerintah.
Dia setaksi
dengan Michiko yang juga se arah perjalanannya dengan dia. Dari stasiun kereta
api mereka menyelusuri jalan raya Kamawarachi arah ke utara. Di persimpangan
jembatan Kamo Odhasi di mana letak hotel Kamo dia turun.
“Saya akan
datang kemari, boleh?” tanya Michiko.
“Dengan segala
senang hati…” jawabnya.
Benar saja,
esoknya Michiko datang membawa makanan. Mereka duduk di teras belakang hotel
itu. Menghadap ke taman Istana Kyoto yang luas.
“Ayah ingin
bertemu denganmu. Dia menyampaikan salam…” kata Michiko.
“Terimakasih.
Ibumu ada sehat-sehat?”
“Ibu sudah lama
meninggal…”
“Oh, maafkan…”
“Selama ini
saya hidup dengan ayah. Dan saya mendapatkan kasih sayang yang cukup dari
beliau. Kapan Bungsu-san dapat datang ke rumah kami? Rumah saya tak berapa jauh
dari sini…”
“Suatu saat
saya pasti datang. Bila saya telah bertemu dengan teman yang saya cari…”
“Hei, dari
kemaren Bungsu-san bercerita akan menemui seorang teman di kota ini. Tapi
Bungsu-san tak pernah mengatakan apakah dia seorang wanita atau lelaki. Teman
wanita barangkali?”
Si Bungsu
tersenyum.
“Seorang teman
istimewa ya Bungsu-san?” Michiko memancing.
“Tidak
Michiko-san. Saya mencari teman lama. Seorang lelaki…” kata si Bungsu, perasaan
Michiko jadi tenteram.
Dan pembicaraan
lalu berkisar pada soal lain. Dan setelah sama-sama makan siang di restoran
hotel, Michiko lalu pulang. Si Bungsu jadi lega begitu Michiko pulang. Sebab
dia memerlukan waktu untuk latihan terakhir. Dia segera menuju ke kamarnya.
Disana, dia membuka samurai. Kemudian berlatih beberapa saat. Dia melatih
pernafasan. Melatih indera dan kecepatan reaksinya. Dia berlatih hingga malam
turun. Dan malam itu dia tidur dengan lelap sekali.
Subuh. Ini
adalah hari ke tiga dia di Kyoto. Dan hari ini dia akan menemui “teman lamanya”
itu. Teman yang telah lama tak bersua, Saburo Matsuyama! Dia membuka peta kecil
yang dia beli ketika masih di Tokyo. Dan mempelajari peta itu dengan seksama.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 084
No comments:
Post a Comment