Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 085

Dan tiba-tiba Michiko menghambur ke pelukannya.



“Oh, Bungsu-san…oh, Bungsu-san…saya khawatir engkau dicelakai keempat orang itu….”

“Tidak. Mereka ternyata orang baik-baik. Saya mereka suruh naik ke kereta ini…” kata si Bungsu.



Para penumpang menatap mereka dengan bahagia. Ternyata si Bungsu berhasil naik ke kereta yang sedang berjalan itu di saat yang tepat. Meninggalkan empat mayat anggota Kumagaigumi itu malang melintang di depan stasiun kota kecil Gamagori.

Si Bungsu membawa Michiko duduk. Gadis itu menyandarkan terus kepalanya ke bahu si Bungsu. dan tangan si Bungsu memeluk tubuh Michiko.



Kereta api itu berjalan menembus dinding senja menuju Nagoya. Michiko benar-benar merasa aman dan bahagia berada dipelukan anak muda Indonesia itu. Tubuhnya yang lelah akhirnya tertidur dalam pelukan si Bungsu. Hari telah larut malam ketika dia tersentak bangun. Dia bangun karena lapar.



“Lapar?” tanya si Bungsu.



Michiko tersenyum dan mengangguk.



“Saya sudah beli roti dan kue Pau. Nah, ini diminum dengan sedikit sake. Bisa memanaskan badan”



Michiko lalu makan roti tersebut. Roti dari bar kereta api itu masih mengepul asapnya. Panas dan nikmat.



“Engkau akan kemana ?” tanya si Bungsu ketika Michiko selesai makan.

“Saya akan ke Kyoto, Bungsu-san akan kemana?”

“Saya juga akan ke sana…”

“Saya gembira kita setujuan…” kata Michiko.

“Di Kyoto dimana Bungsu-san menginap?”

“Saya tak tahu. Saya baru pertama kali ke sana…”

“Kalau begitu menginap di rumah saja. Rumah kami besar dan penghuninya tak berapa orang. Ayah akan gembira sekali kalau Bungsu-san datang ke sana..”

“Terimakasih undanganmu Michiko-san. Saya lihatlah nanti bagaimana baiknya. Saya ke sana juga mencari seorang teman….”

“Dimana dia tinggal? Saya tahu seluruh kota Kyoto. Saya tinggal di sana selama tiga tahun sebelum melanjutkan sekolah ke Universitas Tokyo tahun lalu….barangkali saya bisa menunjukkan alamatnya…”

“Baik, baik. Nanti sesampai di Kyoto saya akan minta tolong padamu. Nah, tambah lagi minumnya?”

“Tidak, terimakasih”



Kereta meluncur terus. Mereka terlibat dalam pembicaraan tentang Tokyo, tentang Kyoto.



“Bungsu-san, apa bedanya antara negerimu dengan negeriku?”

“Banyak. Di negeri kami tak ada musim dingin. Tak ada musim bunga atau musim gugur. Di sana matahari bersinar terus sepanjang tahun….”

“Oh, alangkah indah dan senangnya hidup di sana. Apakah di sana juga ada danau, gunung dan laut seperti di sini?”

“Engkau tak pernah melihatnya di peta dalam sekolah?”



Michiko tersenyum, kemudian dengan manja menyandarkan kepalanya ke bahu si Bungsu.



“Saya sudah melihatnya dalam peta. Tapi saya ingin mendengarnya dari mulutmu…. Ceritalah yang banyak Bungsu-san. Ceritalah tentang negerimu. Tentang dirimu. Tentang apa saja…”

“Juga tentang bangsamu yang menjajah dan memperkosa negeriku?” hampir saja pertanyaan itu melompat dari mulut si Bungsu, untung dia segera dapat menahan diri.



Dia sadar, gadis ini tak ada sangkut pautnya dengan fasisme militer yang menjajah negerinya.



“Saya takkan bercerita, saya akan menyanyi. Engkau mau mendengarkan nyanyiku…?” tanyanya sambil memeluk bahu Michiko.



Gadis itu bangkit dari bahu si Bungsu. Menatap wajahnya dengan pandangan berbinar.



“Ya, saya suka. Menyanyilah Bungsu-san…” katanya gembira dan kembali dia merebahkan kepalanya ke bahu si Bungsu.



Si Bungsu memeluk bahu gadis itu dan mulai batuk-batuk kecil mengatur suara, dan dia mulai menyanyi dengan suaranya yang berat dan lembut.



“Meskipun turun hujan,

Saya akan pergi

Jangan menangis

Jangan lupakan saya

Selamat tinggal”



Michiko mengangkat kepalanya begitu lagu itu berakhir. Menatap anak muda itu tepat-tepat.



“Anata wa nippon no uta o shitte imasu…’ (Anda mengetahui lagu Jepang), kata Michiko heran.

“Hai, sukhosi dekimasu…” (Ya, mengetahui sedikit)

“Itu lagu yang sangat mengharukan. Lagu perpisahan antara dua kekasih. Dimana anda belajar?”

“Saya belajar dari seorang sahabat. Seorang pelaut. Kami sekapal dari Singapura ke Tokyo…”

“Ya, itu adalah lagu pelaut-pelaut yang meninggalkan pelabuhan sepinya. Anda menyukai lagu itu?”

“Ya…saya suka sekali…”

“Kenapa?”

“Karena saya adalah pelaut. Bukankah setiap pengembara adalah pelaut dalam arti kata yang lain? Pengembara pergi dan datang ke suatu negeri seperti pelaut datang dan pergi ke satu, dan lain laut sepi. Begitulah saya…”

“Oh, Bungsu-san….” Michiko menyembunyikan rasa harunya ke dada pemuda itu.



Si Bungsu memeluk bahu gadis itu kembali. Tanpa dia ketahui, air mata gadis itu mengalir di pipi. Pemuda itu menyanyikan lagu sepi dan mengucapkan selamat tinggal.

Dan Michiko merasa bahwa lagu itu ditujukan untuk dirinya. Dengan halus si Bungsu tadi telah menolak untuk menginap di rumahnya. Bukankah itu isyarat, bahwa pemuda itu tak lagi akan bertemu dengannya?

Dia merasakan tangan anak muda itu memeluk bahunya. Merasakan pipi anak muda itu bersandar ke rambutnya yang lebat. Michiko memegang tangan si Bungsu yang memeluknya. Memegangnya dengan lembut. Dengan sikap demikian, dia kembali tertidur. Dan dengan sikap demikian pula si Bungsu mengenang kembali masa lalunya di Minangkabau.



Ingatannya menikam masa tahun-tahun yang lenyap dalam jejak zaman. Teringat akan kegemarannya berjudi ketika muda. Pada kebenciannya belajar silat. Meski ayahnya, Datuk Berbangsa adalah Guru Tuo dalam aliran silatnya di kaki Gunung Sago itu. Teringat pada Mei-Mei. Pada “Isteri” pertamanya yang tak sempat dia nikahi itu. Gadis Cina itu meninggal di atas loteng surau di Tarok, Kota Bukittinggi sesaat sebelum mereka membaca ijab kabul di depan Kadhi. Gadis itu meninggal karena diperkosa oleh selusin serdadu Jepang.

Kemudian dia teringat pada Salma. Gadis murid sekolah Diniyah yang orang tuanya tinggal di Panorama Bukittinggi. Gadis itulah yang mengobat luka-luka yang dia derita dengan penuh kasih sayang. Dan tanpa dia sadari, ibu jarinya meraba jari manisnya yang kiri. Sebentuk cincin bermata Intan melingkar di sana, cincin pemberian Salma.



“Pakailah cincin ini. Bila uda sakit atau rindu ke kampung, lihatlah cincin ini, saya selalu mendoakan kebahagiaan udaa…”



Begitu Salma berkata sesaat sebelum dia pergi dahulu. Dia menoleh ke cincin itu. Dan dia justru terpandang pada wajah Michiko yang tidur bersandar ke bahunya. Gadis itu tidur dengan tenteram dan nyenyak dalam pelukan tangan kirinya. Dia menoleh ke luar. Lewat jendela kaca yang kain gordennya belum ditutupkan, dia melihat kegelapan yang pekat di luar sana. Angin dingin pastilah menusuk-nusuk, sebab kini musimnya. Dalam kegelapan di luar, dia membayangkan perjalanannya selama di Jepang ini. Membayangkan Kenji, Hannako dan Tokugawa. Hannako! Ah, sedang mengapa gadis itu kini? Dia tahu gadis itu mencintainya. Itu terlihat dari tindak tanduknya. Apakah dia juga mencintai gadis itu? Dia tak berani menjawabnya. Dia menyayangi gadis itu seperti dia menyayangi adiknya. Dan tiba-tiba dia menatap wajah Michiko yang tidur dalam dekapannya.

Yang mana antara Michiko dan Hannako yang cantik? Dia tak dapat mengatakan yang pasti. Keduanya memiliki kelebihan masing-masing. Dan mana yang cantik antara kedua gadis ini dengan Salma yang di Bukittinggi. Ah gila, pikirnya. Dia jadi malu pada dirinya memperbandingkan gadis-gadis itu. Dan dengan pikiran demikian, dengan tangan tetap melekuk bahu Michiko, diapun tertidur.



Kyoto. Pada tahun-tahun sehabis perang Dunia ke II Kyoto adalah kota terbesar di Jepang. Lebih besar dari Tokyo yang kini jadi Ibukota. Kyoto adalah kota tua dari zaman dinasti Tokugawa. Karenanya dalam kota kelihatan bangunan-bangunan peninggalan zaman tersebut. Tua tapi kukuh dan anggun. Kuil-kuil agama Budha dan Shinto terdapat di banyak tempat dalam kota.

Kota itu sendiri di belah-belah oleh beberapa sungai besar dan kecil. Sungai terbesar yang membelah kota itu adalah dua buah sungai yang bergabung jadi satu.

Kedua sungai itu adalah sungai Kamo dan sungai itu adalah sungai Kamo dan sungai Takano dari utara bergabung jadi satu agak di utara kota, kemudian mengalir ke jantung kota.

Stasiun Kereta Api Kyoto terletak di kawasan daerah Minamiku. Di depannya ada stasiun bus. Stasiun ini ramai sepanjang siang dan malam. Tak perduli musim panas atau musim dingin. Sepanjang tepi sungai yang mengalir dalam kota dibuat jalan raya yang diteduhi pohon-pohonan sakura.



Si Bungsu menginap di sebuah hotel di persimpangan jalan Imadegawa yang melintasi sungai dengan jalan Karawamachi yang searah memanjang jalan. Dia berpisah dengan Michiko di depan hotel itu. Di belakang hotelnya adalah areal Istana Kyoto. Istana ini memiliki kebun dan taman yang bukan main luasnya. Di sinilah dahulu Dinasti Tokugawa memerintah.

Dia setaksi dengan Michiko yang juga se arah perjalanannya dengan dia. Dari stasiun kereta api mereka menyelusuri jalan raya Kamawarachi arah ke utara. Di persimpangan jembatan Kamo Odhasi di mana letak hotel Kamo dia turun.



“Saya akan datang kemari, boleh?” tanya Michiko.

“Dengan segala senang hati…” jawabnya.



Benar saja, esoknya Michiko datang membawa makanan. Mereka duduk di teras belakang hotel itu. Menghadap ke taman Istana Kyoto yang luas.



“Ayah ingin bertemu denganmu. Dia menyampaikan salam…” kata Michiko.

“Terimakasih. Ibumu ada sehat-sehat?”

“Ibu sudah lama meninggal…”

“Oh, maafkan…”

“Selama ini saya hidup dengan ayah. Dan saya mendapatkan kasih sayang yang cukup dari beliau. Kapan Bungsu-san dapat datang ke rumah kami? Rumah saya tak berapa jauh dari sini…”

“Suatu saat saya pasti datang. Bila saya telah bertemu dengan teman yang saya cari…”

“Hei, dari kemaren Bungsu-san bercerita akan menemui seorang teman di kota ini. Tapi Bungsu-san tak pernah mengatakan apakah dia seorang wanita atau lelaki. Teman wanita barangkali?”



Si Bungsu tersenyum.



“Seorang teman istimewa ya Bungsu-san?” Michiko memancing.

“Tidak Michiko-san. Saya mencari teman lama. Seorang lelaki…” kata si Bungsu, perasaan Michiko jadi tenteram.



Dan pembicaraan lalu berkisar pada soal lain. Dan setelah sama-sama makan siang di restoran hotel, Michiko lalu pulang. Si Bungsu jadi lega begitu Michiko pulang. Sebab dia memerlukan waktu untuk latihan terakhir. Dia segera menuju ke kamarnya. Disana, dia membuka samurai. Kemudian berlatih beberapa saat. Dia melatih pernafasan. Melatih indera dan kecepatan reaksinya. Dia berlatih hingga malam turun. Dan malam itu dia tidur dengan lelap sekali.



Subuh. Ini adalah hari ke tiga dia di Kyoto. Dan hari ini dia akan menemui “teman lamanya” itu. Teman yang telah lama tak bersua, Saburo Matsuyama! Dia membuka peta kecil yang dia beli ketika masih di Tokyo. Dan mempelajari peta itu dengan seksama.


Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 084

No comments:

Post a Comment