Mempelajari
letak sebuah kuil. Kuil Shimogamo. Kuil tersebut terletak di daerah Shimogamo.
Terletak antara jalan Shomogamo Higasi dan jalan Shimogamo Hon. Kuil itu juga
terletak antara sungai Takano di sebelah kanannya dan sungai Kamodi di sebelah
kirinya. Dia harus menempuh jalan Shimogamo Hon dari hotelnya ini. Kemudian
melintas di jembatan Aoi yang terletak di atas sungai Kamo.
Ke sanalah dia
kini pergi! Di Tokyo, ketika dalam penjara dia mendapat alamat dimana Saburo berada.
Keterangan itu diperolehnya lewat seorang tentara Amerika bahagian dokumentasi.
Dia tahu dimana bekas-bekas tentara Jepang berada.
Hari masih pagi
ketika dia melintas di jembatan Aoi itu. Udara dalam musim dingin itu berkabut.
Dia berjalan santai. Di pinggangnya tergantung samurai yang beberapa tahun yang
lalu telah merenggut nyawa ibu, ayah dan kakaknya! Kini dengan pakaian Kimono
berwarna hitam bertuliskan aksara (huruf) Kanji, yaitu aksara yang dipakai
dalam bahasa Jepang, dengan samurai di pinggang kiri maka dia tak ada obahnya
seperti orang-orang Jepang.
Beberapa orang
Jepang yang berpapasan jalan dengannya membungkuk memberi hormat. Dia juga
melakukan hal yang sama. Di kota ini, keakraban dan basa basi masih tinggi
terasa.
Dari mulutnya
sambil berjalan itu berkumandang dengan lembut lagu yang diajarkan Kenji ketika
mereka di kapal dulu :
“Ame ga futtemo
ikimasu
Nakanaide
kuda-sai
Watashi o
wasurenaide kudasai…
sayonaraaaa”
(Meskipun turun
hujan
saya tetap akan
pergi
Jangan menangis
Jangan lupan
saya
Selamat
tinggal…!”)
Lagu itu dia
ulangi beberapa kali. Beberapa lelaki Jepang yang berpapasan dengannya
mengangguk. Dia juga mengangguk sambil tetap menggumankan nyanyi itu. Dan
tiba-tiba dia melihat kuil itu! Kulil Shimogamo! Dia terhenti. Tubuhnya terasa
membeku. Tapi juga panas dan menggigil. Kuil itu terletak di ujung sebuah taman
yang cukup luas. Perlahan dia membelok ke kanan dari jalan Shimoga-hon.
Kemudian berbelok ke kiri melintasi taman pepohonan yang rimbun. Seratus meter
berbelok ke kiri. Dan tiba-tiba kakinya telah menginjak altar Kuil Shimogamo! Dan
dia terhenti di ujung altar.
Puluhan pendeta
berkepala botak kelihatan sedang berlatih beladiri. Ada yang berlatih dengan
pentungan kayu sepanjang satu setengah depa. Ada yang berlatih karate. Ada yang
berlatih samurai. Dia tak kaget. Sebab dia telah diberitahu tentang kuil ini.
Dan hampir di seluruh kuil di Jepang atau Tiongkok kepada para pendetanya
memang diajarkan berbagai jenis beladiri. Hal ini sudah menjadi tradisi bagi
kuil-kuil tersebut. Tujuan utamanya di zaman dahulu kala adalah menghadapi
musuh yang selalu saja ingin menguasai sebuah kuil.
Menyebarkan
agama, seperti halnya di Indonesia, selalau mendapat tantangan. Maka kalau di
Indonesia para malin, terutama di Minangkabau biasanya adalah pesilat-pesilat
tangguh, maka di Jepang mereka umumnya adalah Karateka atau samurai yang
tangguh pula.
Hanya saja kini
kegunaan pelajaran beladiri itu sudah jauh berbeda. Tidak lagi untuk menghadapi
musuh. Tapi untuk kesehatan. Jadi fungsinya sudah bertukar jadi olahraga!
“Maafkan, bisa
saya bantu?” sebuah suara ramah menyadarkan si Bungsu yang masih tegak diam
diujung altar kuil itu.
Kuil itu besar,
bersih dan anggun.
Dia menoleh.
Seorang pendeta berjubah merah berkepala botak dan berwajah ramah, tegak di sisinya.
“Apa yang bisa
saya bantu?” ulang pendeta itu lembut.
“Oh..ya…. saya
ingin bertemu dengan Obosan….dapatkah dia menerima kedatangan saya?
Obosan adalah
kepala pendeta. Pendeta itu menatapnya dengan sinar mata yang lembut. Dia tak
bertanya sedikitpun darimana orang ini datang, dan ada urusan apa
kedatangannya. Itu adalah urusan pribadi. Dan kuil tak ada hak mencampuri
urusan pribadi orang.
Lagipula setiap
orang yang berkunjung ke kuil haruslah dihormati.
“Akan saya
sampaikan. Mari ikut saya….” Si Bungsu membungkuk memberi hormat.
Kemudian mereka
berjalan lewat pendeta-pendeta yang tengah latihan itu. Menuju ke ruang tunggu
kuil Shimogamo tersebut. Dari altar, mereka menaiki anak tangga yang jumlahnya
sembilan buah. Lalu mereka melewati sebuah ruangan yang bersih dari marmar.
Ruang itu tak berdinding. Hanya bertiang besar-besar.
Ada sepuluh
meter persegi luasnya. Kemudian dia di bawa turun. Ruang ini tak ada kursi.
Tapi bersihnya bukan main.
“Haraplah
menanti disini…” kata pendeta itu.
Si Bungsu
mengangguk. Dan dia segera saja duduk berlutut di lantai. Pendeta tadi menuju
ke ruang tengah yang pintunya tertutup dari balik pintu terdengar suara
berguman perlahan. Pastilah tengah berlangsung upacara agama di ruang sebelah
itu. Dari luar sayup-sayup terdengar suara-suara orang latihan beladiri.
Seorang gadis
lewat di samping si Bungsu. Melihat pintu tertutup, gadis itu tegak tak berapa
jauh dari tempat si Bungsu berlutut. Kemudian gadis itu juga berlutut. Dia
menaruh sebuah keranjang yang nampak berisi makanan di sisinya. Sepintas si
Bungsu menoleh padanya. Gadis itu kebetulan juga tengah menoleh padanya.
“Bungsu-san…”
seru gadis itu. Wajahnya berseri.
“Michiko….”
Kata si Bungsu tertahan.
Ya, gadis itu
adalah Michiko. Dia memakai kimono berwarna putih salju dengan bunga-bunga
sakura berwarna merah jambu tergambar di kimononya itu. Di punggungnya dia
memakai Obi, semacam stagen. Dan dikepalanya yang berambut hitam ikal dia
memakai Kanzashi berbunga. Yaitu semacam sanggul khas Jepang. Gadis itu segera
saja bangkit. Membawa keranjang kecilnya dan dengan wajah berseri duduk
berjongkok di sebelah kiri sisi si Bungsu.
“Aaa, saya
hampir-hampir tak mengenal Bungsu-san dalam pakaian begini. Bungsu-san persis
seperti seorang samurai yang siap bertempur. Gagah dan perkasa”
Michiko berkata
sambil menatap si Bungsu yang memegang samurai itu. Si Bungsu juga balas
menatap kagum pada gadis cantik itu.
“Engkau
benar-benar gadis yang cantik Michiko-san…” katanya perlahan.
Wajah Michiko
bersemu merah. Matanya bersinar menatap si Bungsu.
“Ada keperluan
apa Bungsu-san kemari?” tanyanya.
Dan pertanyaan
itu belum terjawab, ketika pintu yang dimasuki pendeta tadi terbuka.
“Dengan segala
senang hati, Obosan menanti kedatangan anda…” kata pendeta itu.
“Bungsu-san….engkau
akan bertemu dengan Obosan…?” Michiko bertanya dengan heran.
“Ya, maafkan
saya harus pergi….” Jawabnya sambil berdiri.
“Nona
Michiko….” Pendeta yang menyilahkan si Bungsu masuk itu menegur Michiko dengan
gembira.
“Selamat pagi
pak…” sapa Michiko ramah.
Sementara itu
pintu ruangan terbuka lebar. Si Bungsu melangkah. Tegak di ambang pintu.
Dan dalam
ruangan upacara itu, tegak sekitar enam belas lelaki berjubah kuning berkepala
botak. Tegak berbaris di dua sisi. Persis di ujung kedua barisan itu, dekat
altar pemujaan, tegak seorang pendeta bertubuh tinggi gagah dan anggun dalam
jubah merah.
Dia tegak
menatap pada si Bungsu.
Si Bungsu tegak
mengangkang di pintu menatap kepala pendeta yang tegak gagah dan berwajah ramah
itu.
“Selamat datang
di kuil Shimogamo, anak muda. Saya dengar engkau datang dari jauh. Mari silakan
masuk….” Obosan (kepala pendeta) itu berkata dengan ramah.
Di telinga si
Bungsu, suaranya yang ramah itu seperti datang dari liang lahat. Seperti suara
cangkul menggali pusara. Seperti suara gonggong anjing di tengah malam. Dia tak
beranjak dari tempatnya tegak.
“Silahkan
masuk, kuil ini terbuka buat semua orang. Ada yang bisa saya bantu…?” Tanya
Obosan itu.
Suaranya masih
ramah. Sementara keenam belas pendetanya menatap diam dari tempat mereka tegak.
“Terimakasih.
Saya mencari seorang lelaki, bekas balatentara Dai Nippon. Bernama Saburo
Matsuyama. Ada lelaki itu disini?”
Suara si Bungsu
bergema. Semua orang jadi terdiam mendengar suara yang alangkah dinginnya itu.
Seperti suara yang datang dari guha yang sunyi. Mengandung misteri dan
mengandung suara bahaya. Dia menatap kepala pendeta itu tepat-tepat dalam jarak
dua puluh depa dari tempatnya tegak.
“Siapa anda,
anak muda ?” Obosan itu. Masih ramah dan lembut suaranya.
“Saya orang Indonesia…”
jawabnya dingin.
“Saya banyak
mengenal banyak teman-teman dari Indonesia. Apa yang dapat saya bantu?” pendeta
itu masih bicara perlahan dari tempatnya tegak.
“Anda banyak
teman, yaitu penghianat di negeri kami. Anda masih kenal saya, Saburo?”
Pertanyaan itu
saja sudah membuat kaget seluruh pendeta yang ada disana. Michiko yang juga
kaget luar biasa atas percakapan itu melangkah, dan tegak tiga depa di belakang
si Bungsu.
“Maafkan,
terlalu lama zaman saya lalui. Sehingga saya tak bisa mengingat semua teman dan
kenalan…” suara Obosan itu terdengar lagi.
Si Bungsu
membuka kimononya. Dan pinggang ke atas tiba-tiba terbuka. Michiko yang ada di
belakang terpekik melihat beberapa sayatan memanjang di punggung anak muda itu.
Sementara yang tegak di depannya yaitu para pendeta itu, juga tertegun melihat
bekas-bekas sayatan di dada anak muda asing ini. Si Bungsu membelakang.
Memperlihatkan punggungnya pada Saburo.
“Suatu hari di
Minangkabau, di desa Situjuh Ladang Laweh, di kaki Gunung Sago Kabupaten 50
Kota, anda membunuh seorang lelaki bernama Datuk Berbangsa. Membunuh isterinya.
Memperkosa anak gadisnya. Dan melukai anak lelakinya. Mereka adalah ayah, ibu
dan kakakku! Dan anak lelaki yang engkau kira mati oleh samuraimu itu, kini ada
dihadapnmu!”
Kalau saja ada
petir menyambar, barangkali kepala pendeta itu, terlebih lagi para pendeta dan
Michiko, mungkin takkan terkejut mendengarnya.
Namun ucapan
anak muda ini melebihi seribu petir di pagi itu. Michiko terpekik!
“Ayaah….!”
Katanya. Dan dia jatuh berlutut di atas lantai!
Si Bungsu kaget
dan menoleh ke belakang. Obosan itu juga kaget. Dan barulah kini dia melihat
bahwa di belakang anak muda itu ada Michiko, anaknya!
“Michiko…..”
Kepala pendeta
yang tak lain dari Saburo Matsuyama itu berseru. Suaranya terdengar getir. Dan
di ujung sana, Michiko terduduk, dia menangis. Saburo jelas sekali terpukul
bathinnya. Bertahun-tahun dia menyembunyikan diri dari kekejamannya selama
perang. Dia selalu bercerita yang baik-baik pada anak gadisnya.
“Kenapa ayah berhenti
jadi tentara ?” begitu Michiko bertanya ketika dia pulang setelah dipecat dari
dinas ketentaraan oleh Jenderal Fujiyama di Bukittinggi dulu.
“Perang sangat
kejam nak. Ayah tak bisa membunuh orang terus-terusan. Ayah berhenti di
Filipina…” katanya berbohong.
Ya, dia hanya
setahun di Indonesia. Dia tak ingin pengalaman pahitnya di Indonesia diungkit.
Dia mengatakan pada anaknya bahwa dia hanya bertugas di Filipina. Dan Saburo
Matsuyama ternyata memang menyesali segala perbuatannya selama perang. Dia memutuskan
untuk jadi pendeta.
Siapa nyana…
ternyata ada orang yang mencarinya kembali untuk urusan balas dendam.
Yang tak kalah
kagetnya adalah si Bungsu, dia heran kepada siapa Michiko memanggil ayah tadi?
Dan begitu Saburo menyebut Michiko… maka tahulah dia, ayah si gadis itu adalah
Saburo! Ya Tuhan, alangkah banyaknya hal yang tak bisa terduga oleh manusia!
Dan tiba-tiba
saja semua dikejutkan oleh perbuatan Michiko. Tangan gadis itu cepat menjangkau
ke dalam keranjang kecil yang dia bawa. Dari dalamnya dia menghunus sebilah
samurai kecil.
Dan samurai itu
dia hunjamkan ke jantungnya!!
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 085
No comments:
Post a Comment