“Saya tak
bermusuhan dengan kalian. Saya datang dari Indonesia mencari seorang lelaki
yang telah membunuh ayah saya dengan licik. Yang sampai hati membunuh ibu saya.
Seorang perempuan yang tak berdaya. Lelaki itu juga memperkosa kakak saya.
Kemudian, setelah dia puas, dia membunuhnya. Lelaki jahanam itu menghantam saya
dengan samurainya. Saya rubuh. Kemudian lelaki itu, yang memimpin sebuah
pasukan yang paling kejam, membakar kampung saya membunuhi para lelaki dan
kanak-kanak. Memperkosa perempuannya. Tuhan mentakdirkan saya tetap hidup. Saya
bersumpah untuk mencari lelaki itu. Saya berlatih samurai. Dan bersumpah akan
membunuh lelaki jahanam itu dengan samurai yang dia pergunakan membunuh
keluarga saya. Dari jauh saya datang, di sini saya temukan lelaki itu. Dialah
Obosan Saburo Matsuyama!”
Si Bungsu
menunjuk pada Saburo dengan ujung samurainya yang berlumur darah. Semua pendeta
kuil Shimogamo itu tertegun. Mereka menatap pada obosan mereka. Suasana jadi
amat sepi. Saburo menjatuhkan diri. Berlutut di lantai. Kepalanya menunduk
dalam-dalam.
Lalu terdengar
suaranya serak:
“Benar. Semua
yang diucapkan anak muda itu adalah suatu kebenaran. Hidup saya dimasa lalu
dilumuri dosa dan darah. Apa yang dia katakan memang benar….saya pantas menerima
pembalasan yang setimpal” suara Obosan itu mirip sebuah tangisan.
Bergetar dan
nyata bathinnya sangat terpukul. Semua pendeta yang mendengar pengakuan itu
seperti mendengar petir di siang hari. Mereka adalah orang-orang pencinta
perdamaian. Kuil Shimogamo selain disegani karena pendekar-pendekarnya, karena
Obosannya yang berwibawa juga disegani dan banyak pengikutnya karena kasih
sayang yang disebarkannya.
Di Kyoto ini
ada beberapa buah kuil besar. Kuil-kuil besar yang dihormati dan disegani orang
itu adalah kuil Shimogamo, kuil Daitokuji dan kuil Kinkakuji. Keduanya terletak
di daerah Kitaku. Kemudian kuil Kitano, kuil Myoshinji, kuil Koryuji, kuil Toji
dan kuil Higashi Honganji.
Namun diantara
kuil-kuil besar itu, maka kuil Shimogamo merupakan kuil yang paling dihormati
dan disegani penduduk Kyoto.
Dan kini,
ternyata Obosan mereka, Kepala Pendeta yang selama ini merela hormati, yang
selama ini mereka banggakan, dituduh sebagai seorang pembunuh, penyebar
bencana, pemerkosa dan malah pembunuh kanak-kanak! Mereka hampir-hampir tak
percaya.
Tapi betapa
mereka takkan percaya, kalau Obosan sendiri mengakui hal itu?
Bagi Saburo,
ini adalah pukulan terhebat selama hidupnya setelah kematian isterinya.
Melihat Saburo
yang berlutut di lantai itu, si Bungsu berkata :
“Bagaimana
kalau hari ini anakmu ini kuperkosa sebagai balasan atas yang engkau perlakukan
pada kakakku, pada puluhan wanita Indonesia lainnya semasa engkau jadi perwira
Kempetai?”
Kepala Saburo
terangkat menatap pada si Bungsu.
“Ampunkan saya,
jangan sakiti anak saya. Engkau cencang dan bunuhlah saya, tapi jangan ganggu
anak saya…”
Suaranya yang
bermohon itu tambah menyakitkan hati si Bungsu.
“Bukankah
ketika engkau akan membunuh ayahku, ibuku datang menyembah kakimu, memohon
belas kasihanmu agar jangan membunuh suaminya? Namun saat itu engkau tega
membunuhnya. Sekarang aku akan bunuh anakmu…..!”
Sebenarnya tak
ada niat si Bungsu untuk menyakiti Michiko. Namun ingatan terhadap kematian
ayah, ibu dan kakaknya, benar-benar melukai hati anak muda ini. Dan tanpa dapat
dia kuasai sepenuhnya, tangannya bergerak mendorong tubuh Michiko yang ada
dalam dekapannya. Gadis itu terpekik dan rubuh mandi darah! Pakaian tentang
punggungnya robek. Darah mengalir dari sana. Saburo terlompat tegak.
“Michiko-sannnn…”
Saburo benar-benar memekik dan menangis sambil menubruk tubuh anaknya itu.
Gadis itu
memang jantung hatinya. Anak tunggal yang sangat disayangi. Melihat si Bungsu
sudah mencelakai Michiko dua orang pendeta yang menjadi instruktur Samurai maju
serentak. Namun yang mereka hadapi saat ini, mungkin satu-satunya manusia yang
tercepat mempergunakan samurai di seluruh tanah Jepang saat itu. Hal itu segera
terbukti, ketika dengan kecepatan yang tak terikutkan oleh mata, samurai
ditangannya membabat samurai di tangan kedua sensei itu. Kedua samurai pendeta
itu hampir saja terpental ke udara saking kuat dan kukuhnya benturan samurai si
Bungsu. Mereka kaget. Dan kekagetan itu adalah kelemahan mereka. Sebab waktu
yang sedetik untuk kaget itu sudah terlalu panjang bagi si Bungsu. Samurainya
bekerja lagi. Salah satu samurai di tangan pendeta itu terpental ke udara. Dan
kedua pendeta itu rubuh dengan dada robek.
Si Bungsu
berputar, dan samurainya memukul samurai yang terpental ke udara, yang saat itu
sedang meluncur turun. Terdengar suara besi beradu dan bunga api memercik.
Kemudian samurai pendeta yang terpukul itu tertancap setengah jari dari tubuh
Saburo Matsuyama yang tengah memeluk Michiko. Kejadian beruntun itu amat cepat.
Suasana tiba-tiba jadi sepi. Samurai yang tertancap di lantai itu bergoyang.
“Apakah engkau
akan berlindung terus dibalik punggung murid-muridmu Saburo? Apakah engkau tak
mengenal malu menyuruh pendeta yang tak berdosa ini untuk bertarung
menyelamatkan nyawamu? Tegak dan pertahankan dirimu! Aku bukan hewan seperti
engkau yang sampai hati membunuh perempuan. Anakmu hanya terluka kulit”
Suara si Bungsu
terdengar dingin. Dan dia tegak dengan samurai berdarah di tangannya. Dengan
kaki terpentang lebar. Michiko memang tak cedera. Hanya kulit punggungnya luka
sedikit. Luka tergores. Si Bungsu memang tak berniat menderainya. Dia hanya
bermaksud memancing amarah Saburo untuk mau melawannya. Dan kali ini, tak
seorangpun diantara para pendeta yang puluhan banyaknya itu berani maju
menyerang. Sudah delapan orang pendeta pendeta kuil mereka yang menemui ajal
ditangan anak muda perkasa ini. Dan kedelapan orang itu, semua adalah para
sensei. Instruktur mereka. Kalau instruktur mereka saja dengan mudah dirubuhkan
anak muda itu, apalagi diri mereka. Kini mereka hanya tegak berkeliling menanti
sikap obosan mereka. Saburo akhirnya tegak. Menatap pada si Bungsu.
Dia akhirnya
menyadari, bahwa anak muda ini tak berniat mencelakai diri Michiko. Dia
akhirnya menyadari, bahwa dari jauh anak muda ini datang benar-benar dengan
maksud mencari dan menghendaki nyawanya.
Dia sudah
mengukur kemampuan anak muda ini dalam memakai samurai. Dalam Kempetai yang
bertugas di Asia, dia termasuk salah seorang samurai yang tangguh. Tapi, kini
melihat cara anak muda itu mempergunakan senjata tradisionil mereka itu, dia
yakin jarang tandingannya di negeri ini. Anak muda ini bersilat samurai bukan
dengan sistim dan ilmu samurai yang biasa. Dia bersilat dengan hati dan
istinknya! Inilah kelebihan anak muda itu. Kelebihan yang tak mungkin
ditandingi. Namun, meskipun dia sadar bahwa anak muda itu takkan terlawan, dia
tak mau membuat anak muda itu kecewa. Dia harus melawannya. Anak muda itu tak
mau membunuh Michiko. Itu saja sudah sebuah kebaikan yang takkan mungkin dia
lupakan diakhir hayatnya ini.
“Baiklah. Saya
akan melawanmu….” Katanya perlahan.
Kemudian
perlahan dia mencabut samurai yang terancap di lantai di sisi Michiko. Dia
tegak lurus-lurus menatap si Bungsu, lalu perlahan-lahan kepalanya berpaling
kepada para pendeta anak buahnya yang tegak berkeliling.
“Jika dia
keluar sebagai pemenang dalam perkelahian ini, biarkan dia keluarkan dengan
selamat dari sini. Dia menang dalam suatu perkelahian yang terhormat. Karena
itu dia berhak dihormati sebagai seorang samurai sejati…”
Sehabis berkata
begini, dengan cepat kakinya menggeser dua langkah menghampiri si Bungsu.
Michiko sudah tak sadar diri. Dia tetap terlentang. Ketika si Bungsu
mengancamkan samurai ke lehernya, dia ingin mati saja di tangan anak muda itu. Dan
ketika si Bungsu akan membunuh atau memperkosanya, dia sudah tak sadar diri.
Hatinya benar-benar sakit dan terluka mendengar ucapan anak muda yang diam-diam
dia cintai itu. Kalau saat ini dia jatuh pingsan, maka dia pingsan bukan karena
luka di pungggungnya. Melainkan karena luka di hatinya.
Dan saat itu
Saburo Matsuyama sudah berhadapan dengan si Bungsu! Ketika Saburo maju
menggeserkan kakinya di lantai, perlahan si Bungsu menyarungkan kembali
Samurainya. Samurainya itu dia pegang di tangan kiri. Tangan kanannya terkulai
lemah. Dia menahan nafas. Semua pendeta yang mengelilingi mereka jadi
terheran-heran akan sikap demikian. Tadi
anak ini yang menantang Obosan mereka. Tapi kini, ketika Obosan maju dengan
samurai siap menyerang, tahu-tahu anak muda itu menyarungkan samurainya
kembali.
Apakah anak
muda ini merasa takut dan merobah niatnya? Pikir mereka. Namun yang tak heran,
malah terkejut melihat sikap anak muda itu adalah Saburo Matsuyama. Tadi dia
sudah menebak, bahwa anak muda ini bertarung dengan hati dan nalurinya. Tidak
dengan sistim dan ilmu silat samurai biasa. Dan begitu melihat samurai si
Bungsu menyisipkan samurai, dia segera tahu, bahwa anak muda ini benar-benar
seorang yang tangguh. Seorang yang amat percaya pada diri dan kemampuannya. Dan
dia ingin mencoba.
Sebuah bentakan
berikut suatu serangan tiga kali bacokan cepat dia lakukan pada si Bungsu,
serangannya amat cepat. Malah cepat sekali. Dia menyerang sambil pindah tempat
dua kali. Serangan pertama ke arah leher dari depan. Serangan kedua dari kiri dengan
memindahkan kaki kanannya ke samping menyerang pinggang. Serangan ketiga dari
kanan dengan menggeserkan kaki kirinya menyerang lutut! Namun tangan kanan si
Bungsu bergerak seperti bayang-bayang. Ketiga serangan itu dia tangkis tanpa
menggeser tegak seincipun! Bunga api beberapa kali memercik ketika samurai
mereka beradu! Mereka kini tegak saling pandang. Saburo dengan kaki kiri di
depan dengan samurai teracung setinggi dada. Si Bungsu tegak dengan kaki
terpentang ke kiri dan ke kanan selebar bahu. Samurai sudah dalam sarung di
tangan kiri!
Tiba-tiba
kembali dengan gerakan cepat Saburo mengelilingi si Bungsu, dan begitu dia
berada di belakang, dia melancarkan serangan kilat memancung dari atas. Si
Bungsu membelintangkan samurainya di atas kepala. Tapi ternyata serangan itu
hanya serangan tipuan. Serangan yang sebenarnya bukanlah dengan samurai.
Melainkan dengan tendangan! Tendangan Saburo menghantam punggung si Bungsu! Namun
tipuan ternyata di balas dengan tipuan. Si Bungsu bukannya tak tahu bahwa
gerakan itu adalah gerakan tipuan. Hal itu dia ketahui dari arah angin yang
berpindah akibat serangan kaki Saburo! Dia menarik samurainya yang membelintang
di atas kepala dan kini samurai bersarung itu menghantam lutu Saburo!
“Prakkk!!”
sarung samurainya mengebrak lutut Obosan itu.
Saburo
tersurut. Dia jadi pucat. Sebenarnya kalau si Bungsu mau, maka dia tak perlu
menangkis dengan samurai bersarung. Melainkan dengan samurai telanjang. Dan kalau
itu sampai dilakukan anak muda itu, maka kini Saburo tidak lagi memeiliki kaki
kanan dari lutut ke bawah! Dia jadi ngeri. Namun sekali lagi dia menggebrak
maju. Waktu itulah Michiko yang pingsan jadi sadar. Melihat betapa ayahnya
menyerang anak muida itu, dia memekik memanggil
“Ayaaaah.
Jangaaaaaannn!!!” dan gadis itu tidak hanya sekedar menjerit, dia langsung
berdiri dan lompat ke tengah pertarungan!
Saat itu
samurai Saburo telah melayang ke arah belikat si Bungsu, samurai si Bungsu
menghantam dengan kekuatan penuh. Samurai Saburo terlempar ke udara. Persis
seperti terlemparnya samurai di tangan ayah si Bungsu, Datuk Berbangsa di
Situjuh Ladang Laweh beberapa tahun yang lalu. Kini samurai itu meluncur turun.
Sebenarnya dengan mudah si Bungsu dapat menyudahi nyawa Saburo. Namun Michiko
telah memeluk ayahnya!
Tanpa sadar sedikitpun,
samurai yang tadi melambung meluncur turun, persis tentang kedua anak beranak
itu. Si Bungsu tertegun. Samurai itu pasti akan menancap di tengkuk Saburo yang
memeluk anaknya!
Selintas dia
teringat betapa pedihnya hidup tanpa ayah, tanpa ibu dan saudara. Oo, bertahun
dia telah hidup demikian. Kini, ada seorang gadis yang telah kematian ibu,
seorang anak tunggal, yang akan kematian ayahnya pula. Akan dia tambahkah
jumlah kanak-kanak yang yatim piatu? Yang tersikasa oleh kesepian tanpa kasih
sayang ayah dan bunda? Pantaskah dia membalaskan penderitaannya pada orang
lain? Pikiran itu demikian cepat menyelinapnya. Dan dengan sebuah gerakan
lompat tupai yang sempurna, dia bergulingan di lantai. Dan sejari lagi samurai
yang meluncur turun itu akan menancap di tengkuk Saburo, samurai si Bungsu
datang menghantamnya. Samurai itu terpukul dan menancap di lantai jauh dari
Saburo!
Semua pendeta
yang tadi sudah meramalkan kematian Obosan mereka, jadi terkesima oleh gerakan
yang tak pernah mereka bayangkan akan sanggup dilakukan seorang manusia biasa
itu! Saburo selamat!
Saburo
menyadari bahwa nyawanya telah diselamatkan lagi. Dia menatap heran pada si
Bungsu, si Bungsu menatap pada Saburo tanpa berkedip. Michiko juga menatapnya
diantara deraian airmata…
“Lelaki kejam.
Lelaki yang tak berperasaan. Kau bunuhlah aku jika engkau mau membunuh
ayahku!!” Michiko berkata diantara tangisnya.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 087
No comments:
Post a Comment