Si bungsu
terdiam. Perlahan sekali, dia menyarungkan kembali samurainya. Memandang pada
Michiko. Memandang pada Saburo. Memandang keliling. Pada para pendeta kuil
Shimogamo itu. Memandang pada mayat-mayat para pendeta. Dan tiba-tiba dia
merasakan dirinya sebagai pembunuh. Membunuh para pendeta di kuil mereka yang
suci. Kenapa harus saling bunuh di kuil ini!
“Maafkan
saya….” Katanya kepada para pendeta itu.
Kemudian dia
melangkah meninggalkan ruangan tersebut. Para pendeta yang melingkar berkuak
memberi jalan.
“Bungsu-san….”suara
Michiko terdengar memanggil.
Si Bungsu
mendengarnya, tapi dia tak menoleh.
“Bungsu-saaan…’
suara Michiko terdengar getir.
Namun si Bungsu
sudah berada di luar. Angin musim dingin menampar-nampar wajahnya.
Dan ketika dia
melangkah di altar di depan Doyo dimana para pendeta muda itu tadi berlatih,
dia dengar pekikan Michiko. Dia ingin berhenti, tapi buat apa?
Dia melangkah
di jalan yang terbuat dari batu dalam taman di depan kuil Shimogamo itu.
Kemudian ke luar ke jalan raya Shimogamo Hon. Dia melangkah ke mana saja
kakinya membawa.
Di jalan raya,
dia berbaur dengan tentara Amerika yang berseliweran. Berbaur dengan
orang-orang Jepang yang juga berseliweran. Dia tak tahu ke mana kainya membawa.
Dia tak ingin
berhenti. Tapi juga tak ingin berjalan. Dia tak ingin berbuat apa-apa. Dia tak
ingin, tak ingin…. Apa yang dia ingini kini?
Akhirnya dia
mendapatkan dirinya terduduk di sebuah kursi kayu yang dingin di sebuah taman
yang rasanya belum pernah dia jejak. Bila pula dia akan menjejak taman di kota ini,
padahal baru tiga hari dia di Kyoto ini?
Tak ada orang
di taman itu. Siapa pula orang yang akan berada di taman dalam musim dingin
begini? Dia duduk sendiri. Duduk menyesali diri. Kenapa Saburo tak dia bunuh?
Kenapa dia lepaskan setelah bertahun dia mencarinya. Kenapa dia biarkan jahanam
itu hidup padahal ayahnya bersumpah akan membunuh jahanam itu sesaat sebelum
dia menghentakkan nafasnya?
Apakah dia
menjadi lemah karena Michiko? Apakah nyawa ayah dan ibunya, kehormatan dan
nyawa kakaknya, dan kehormatan puluhan gadis serta nyawa puluhan orang
kampungnya, penduduk Situjuh Ladang Laweh di kaki Gunung Sago di Minangkabau
sana lebih rendahnya daripada nyawa Saburo? Apakah hanya karena sayang pada
Michiko dia biarkan ayah, ibu dan kakak serta orang kampungnya mati tanpa ada
yang menuntut bela?
Dia merasa
pikirannya jadi buntu. Jadi tak menentu. Sampai suatu saat, di taman itu dia
mendengar bunyi tabuh. Suara tabuh mengingatkan dia pada sholat.
Tabuh apakah
itu? Pastilah gendang upacara agama Shinto. Dan dia teringat bahwa belum
sholat. Dia sedang berniat bangkit ketika tiba-tiba dia mendengar suara azan! Suara
azan di Kyoto! Mungkinkah itu? Dia tegak tertegun sambil mempertajam
pendengarannya.
“Asyhaduala ila
hailallaaaahh….”
Suara azan itu
berkumandang dalam suara dingin. Tanpa dapat dia tahan, bulu tengkunya
merinding dan matanya basah mendengar azan itu.
Ya, pastilah
beduk tadi dari sebuah mesjid atau langgar di sekitar taman ini. Dia coba
mencari suara itu.
Suara azan di
Kyoto. Menyebabkan dia teringat pada kampung halamannya. Suara azan itu seperti
suara azan dari mesjid di kampungnya. Menyelinap diantara dedaun pohon.
Menembus udara dingin. Dan kakinya melangkah mencari sumber suara azan itu.
Dimanakah dia kini?
Seorang tua
terlihat berjalan cepat-cepat dengan sandal kayunya yang berbunyi
berdetak-detak di jalan yang terbuat dari semen.
“Maaf, numpang
tanya…”
“Hai….” Jawab
orang tua itu sambil berhenti.
“Dengar suara
itu?”
“Anda maksud
suara azan itu?” tanya lelaki tua itu.
“Ya, suara azan
itu…” jawab si Bungsu heran. Heran kenapa orang tua Jepang ini mengetahui kalau
suara itu adalah suara azan.
“Apakah anda
orang Kristen?” tanya orang tua itu.
“Tidak, saya
orang Islam…”
“Itu dari
mesjid kami. Mesjid Okazaki….” Kata orang tua itu sambil mempercepat langkahnya.
Si Bungsu
mengikuti langkah orang tua itu. Setelah berbelok ke kiri dua kali, tiba-tiba
dia melihat sebuah gedung tua yang ditengahnya ada kubah.
“Mesjid…!”
katanya hampir-hampir tak percaya. Orang tua itu telah masuk.
Di kanan mesjid
yang tak seberapa besar itu ada sebuah kolam yang airnya mengalir terus. Si
Bungsu mengambil wudhuk di sana. Kemudian menaiki tangga mar-mar. lalu dia
berada di pintu sebuah ruangan yang bersih mengkilap.
“Assalamualaikum…”
katanya.
“Waalaikumussalam…”
belasan lelaki yang ada dalam ruangan itu menjawab tanpa menolehkan kepala.
Jam dinding tua
yang tergantung menunjukkan angka tiga romawi. Suara detaknya bergema perlahan.
Seorang Imam langsung tegak. Dan sembahyang berjemaah itupun mulai.
Si Bungsu tegak
di saf kedua. Bacaan ayat Imam tua itu terdengar lancar dan fasih sekali. Si
Bungsu seperti sholat ketika di Bukittinggi bersama penduduk Tarok. Yaitu
takkala dia hidup di kampung kecil itu bersama Mei-mei. Ketika membaca doa,
tiba-tiba dia rasa tenteram dan bahagia menyelimuti hatinya. Dia merasa suatu
ketentraman karena tak membunuh Saburo.
Dia yakin,
ayah, ibu dan kakaknya yang sudah almarhum juga menyetujui putusannya untuk
tidak membunuh Saburo. Bukankah melupakan dendam merupakan suatu pekerjaan
mulia? Memang suatu pekerjaan yang alangkah sulitnya buat melupakan segala
amarah. Menghapiskan dendam. Tapi bukankah Islam mengajarkan bahwa melupakan
dendam itu merupakan bahagian dari keimanan?
Dia sendiri,
sudah berapa nyawa yang dia cabut? Benar dia membela diri. Tapi bagaimana kalau
anak dari orang-orang yang dia bunuh lalu mencari dirinya dan menuntut balas?
Dia terduduk
lama sekali di mesjid kecil disudut taman Okazaki di daerah Higashiyama-ku.
Yaitu suatu taman di seberang sungai Takano. Dia merasa tenteram. Kini tugasnya
selesai. Dia harus kembali ke Indonesia. Begitu ingatan untuk kembali
menyelusup dihatinya, dia segera teringat pada cincin jari manisnya. Dia
menatap cincin itu. Cincin pemberian Salma di Bukittinggi. Sedang mengapa gadis
itu kini? Sudah berlalu masa empat tahun sejak dia meninggalkan kota itu. Apakah
dia sudah menikah? Dia lalu berniat pulang ke hotelnya. Tapi kemana dia harus
pergi?
Hari sudah
senja. Tadi dia berjalan tanpa tujuan. Tak dinyana dia sudah sampai kemari.
Jalan mana saja yang dia tempuh? Dia keluar dari mesjid itu dengan perasaan
benar-benar lapang dan lega. Ketika tiba di jalan besar, sebuah taksi tua
lewat. Dia menyetopnya.
“Bisa mengantar
saya ke hotel Kamo di daerah persimpangan Imadegawa?”
“Bisa, silakan
naik….” Jawab sopir taksi tersebut. Dia lalu naik. Dan tak si tua itu melaju
mengantarkannya ke hotel dimana dia menginap.
Hari telah
senja benar ketika dia sampai di hotelnya. Dia tidur dengan lelap malam itu.
Apalagi yang harus dia fikirkan? Selama ini dia selalu tak lelap tidur.
Bagaimana dia akan tidur nyenyak kalau dihatinya selalu membara dendam yang
amat dahsyat?
Untuk pertama
kalinya sejak bertahun-tahun terakhir ini, dia bisa bernafas dengan lega. Dia
tak lagi memikirkan bagaimana cara untuk mencari Saburo. Dan tak pula harus
memikirkan bagaimana caranya berkelahi melawan bekas perwira itu. Pikirannya
tak lagi dibebani ketakutan. Takut berhadapan dan takur dikalahkan. Bekankah
beban mental begini selalu dialami oleh orang-orang yang akan bertarung?
Kekalahan adalah sesuatu yang amat ditakuti setiap orang yang akan bertanding. Padahal
dalam kalimat pertarungan hanya ada dua kemungkinan. Kalah atau menang.
Keinginan untuk menang adalah hasrat terakhir dari setiap orang yang bertarung.
Namun kekalahan adalah juga merupakan haknya. Setiap yang meginginkan
kemenangan harus sadar bahwa kekalahan juga mengintainya. Dan kini masa,
memikul beban seperti itu sudah dia lalui.
Barangkali dia
dianggap orang lemah. Bertahun mencari musuh. Dan ketika musuh itu dengan mudah
bisa dibunuh, dia melepaskan begitu saja. Apakah itu suatu “kelemahan?” atau
itu juga suatu “Kekalahan?”
Kalau itu
dianggap suatu kelemahan atau suatu kekalahan, maka dia dengan lapang hati
menerima kenyataan itu. Yang jelas, dia merasa lega kini. Lega karena tak
membunuh orang lebih banyak.
Pagi harinya
dia jadi heran. Di jalan raya di depan hotelnya, kelihatan arak-arakan para
pendeta menuju ke utara. Dari berbagai penjuru jalan, kelihatan barisan
pendeta-pendeta Budha dan Shinto berbaris dengan wajah sedih.
“Ada apa?”
tanyanya pada seorang pengurus hotel.
“Pendeta Besar
kuil Shimogamo meninggal karena harakiri kemaren..” jawab pengurus hotel itu.
Si Bungsu
merasa dirinya terlambung. Dia tertegak kaku.
“Bunuh diri?”
desisnya perlahan.
“Ya. Pagi
kemaren, kabarnya seorang musuhnya datang ke sana untuk menuntut balas.
Muridnya, para pendekar kuil Shimogamo yang tersohor pendekarnya itu, berusaha
membantunya. Namun kabarnya delapan orang di antara mereka mati dimakan samurai
musuh Obosan itu. Menurut orang yang menyaksikan di kuil itu kemaren pagi,
belum pernah ada manusia yang demikian cepatnya mempergunakan samurai di Jepang
ini, seperti musuh Obosan itu. Mungkin orang itu murid atau turunan dinasti
Tokugawa. Pendekar Samurai yang tershor itu…..”
Pengurus gotel
itu bicara terus. Namun si Bungsu tak mendengarkannya. Dia teringat pada
pekikan Michiko kemaren sesaat dia akan meninggalkan kuil Shimogamo itu.
Apakah saat itu
Saburo bunuh diri?
“Kini semua
pendeta dari seluruh kuil yang ada di Kyoto ini…” pengurus hotel itu
melanjutkan…
” menuju ke
sana. Untuk memberikan penghormatan pada Obosan itu. Obosan itu sangat disegani
di kota ini. Sangat berpengaruh dan dihormati…”
Si Bungsu tak
mendengarkannya. Dia justru tengah melangkah mengikuti palunan manusia menuju
kuil Shimogamo! Pikirannya yang malam tadi telah tenang, kini kembali mendapat
beban lagi. Kini beban itu justru makin berat. Dia sampai di altar kuil dimana
kemaren dia melihat puluhan pendeta muda sedang berlatih beladiri. Altar itu
kini sudah penuh di kiri kanannya. Ada jalan selebar tiga meter di tengah untuk
menuju ke tangga utama di kuil tersebut. Dan di sana, di puncak anak tangga
kuil yang belasan jumlahnya itu, terletak peti jenazah Obosan kuil Shimogamo.
Diselimuti dengan kain beludru merah.
Jenjang kuil
itu dialas seluruhnya dengan beludru kuning. Dan di samping peti yang
diletakkan agak tinggi itu, kelihatan seorang gadis berbaju serba putih duduk
berlutut. Tangannya menelungkup bersama wajahnya ke peti jenazah.
“Michiko….”
Kata si Bungsu perlahan.
Di sekitar peti
jenazah kelihatan puluhan lilin tengah dipasang. Dan berjejer di setiap anak
tangga, kelihatan puluhan pendeta kuil Shimogamo berjubah merah dan kuning
berguman membaca doa. Jarak antara si Bungsu dengan peti jenazah di mana
Michiko menelungkup itu masih jauh. Si Bungsu berusaha mendekat lewat di antara
jubelan manusia yang ribuan orang banyaknya itu. Yang hadir dalam upacara
tersebut ternyata tidak hanya pendeta dari kuil-kuil di kota Kyoto saja. Berita
itu ternyata telah pecah dan menyelusup ke seluruh pelosok kota. Orang
berdatangan ingin memberi penghormatan akhir pada Obosan itu. Selain itu,
tentara Amerika juga berdatangan. Ada yang datang karena bersifat politis, ada
yang datang karena ingin melihat upacara sakral itu dilangsungkan.
Gong tiba-tiba
dipalu. Berdengung dan bersipongang. Menggetarkan hati setiap orang yang berada
di sekitar kuil itu. Si Bungsu baru menyadari bahwa musuh bebuyutannya itu
ternyata memang bukan orang sembarangan. Ternyata dia orang terhormat dan
berpengaruh. Upacara dihari kematiannya ini membuktikan hal itu. Begitu gong
ketiga berakhir, utusan-utusan dari selusin kuil yang ada di kota Kyoto itu
maju dalam barisan yang teratur. Dua orang tiap kuil. Mereka maju membawa
semacam baki mendaki tangga upacara. Michiko berdiri menerima penghormatan itu.
Si Bungsu melihat betapa mata gadis itu bengkak bekas menangis. Wajahnya yang
cantik kelihatan pucat sekali. Dan saat itulah Michiko melihat si Bungsu tegak
di baris kedua dari jalan di tangga paling bawah. Mata mereka saling tatap. Wajah
Michiko tiba-tiba jadi keras. Dan tiba-tiba pula lilin ditangannya jatuh. Dia menatap
lurus pada si Bungsu. Semua orang jadi kaget. Termasuk para pendeta, para biksu
dari seluruh kuil yang hadir di sana.
“Michiko-san…”
seorang pendeta tua wakil Saburo mengingatkan Michiko atas sikapnya itu.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 088
No comments:
Post a Comment