Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 090



Namun Michiko sudah melangkah menuruni anak tangga. Menuju lurus-lurus ke arah si Bungsu.

“Michiko-san…!” wakil Obosan itu kembali menegur Michiko yang meninggalkan altar upacara.

Namun Michiko sudah sampai di bawah. Melihat gadis itu datang padanya, si Bungsu maju menyeruak di antara barisan pendeta. Dan kini berdiri di depan. Semua mata menatap kedua anak muda ini. Selain para pendeta dari kuil Shimogamo, tak seorangpun yang mengenal anak muda asing itu.

“Saya menyampaikan rasa duka cita yang…” ucapan si Bungsu sambil membungkuk dalam itu terhenti takkala tiba-tiba tangan Michiko secepat kilat menyambar samurai dari seorang pendeta yang tegak di dekatnya.

Dan samurai itu dengan kecepatan yang sulit diikuti mata pula, menghajar bahu si Bungsu!
Darah menyembur dari bekas luka yang menganga itu!

“Michiko-san!!!” wakil Saburo di kuil Shimogamo itu membentak seiring dengan teriakan-teriakan kaget dari seluruh pengunjung melihat kejadian itu.

Si Bungsu bukannya tak tahu bahwa ada bunyi senjata menyerangnya. Kalau dia mau, dia bisa mengelak. Bahkan dia bisa mematahkan serangan itu. Namun dia sengaja tak melakukannya! Bukankah hal yang sama juga dia lakukan dahulu ketika ayahnya mati ditangan Saburo? Bukankah waktu itu dia ingin berlari memeluk ayah dan ibunya tapi kemudian Saburo membabatnya dengan samurai? Dan itulah penyebab kenapa dia bertahun-tahun mencari Saburo sampai kemari. Kini, kalau dia patahkan pula serangan Michiko. Gadis itu tentu akan mencarinya untuk membalas dendamnya! Dia tak ingin hal itu terjadi. Dia ingin hal ini selesai disini. Makanya  dia membiarkan dirinya dilukai.

“Lelaki jahanam! Cabut samuraimu! Aku Michiko Matsuyama akan membalas dendam kematian ayahku! Apakah engkau sangka engkau saja yang berhak membalas kematian ayah dan ibumu?”

Suara Michiko terdengar lantang dan bergetar. Dan hanya dalam waktu beberapa detik setelah ucapannya itu, semua orang yang hadir segera mengetahui, bahwa anak muda itulah rupanya yang telah mengalahkan Obosan kuil Shimogamo ini dan beberapa murid utamanya! Semua mereka kini memperhatikan dengan seksama.

“Indonesia-Jin…. Indonesia-Jin….” (Orang Indonesia…orang Indonesia!) terdengar suara berbisik-bisik.

Para pendeta kuil Shimogamo itu berlarian mengelilingi Michiko dan si Bungsu.
Wakil Saburo di kuil itu, seorang pendeta tua gemuk dan berwibawa segera membungkuk hormat dan berkata perlahan:

“Mohon Michiko-san jangan menuruti hati marah. Obosan meninggal dengan terhormat. Dia mati dengan Harakiri. Bukan dibunuh oleh anak muda ini. Lagipula bukankah kemaren sebelum dia meninggal Obosan berpesan bahwa dia tak ingin ada dendam yang berlanjut antara kita dengan Bungsu-san…? Bukankah Obosan sudah menerima salah atas perbuatannya terhadap keluarga Bungsu-san? Mohon Michiko-san menyabarkan hati….”

Namun Michiko nampaknya sangat terpukul atas kematian ayahnya. Itu terbukti ketika dia berkata dengan lantang:

“Dengan pihak kuil Shimogamo boleh tak ada urusan. Tapi dengan diriku, huh, kenapa harus kalian larang? Apakah ada aturan yang melarang seorang anak menuntut balas kematian ayahnya?”

Pendeta itu tersurut mendengar ucapan yang kurang pantas ini. Si Bungsu masih tegak. Tangannya tergantung lemas. Bahu kirinya berlumur darah. Namun dia tetap tegak dengan tenang. Dan dengan tenang pula dia menghadap pendeta-pendeta kuil Shimogamo, lalu berkata:

“Saya minta maaf atas kejadian kemaren. Dan saya ikut berduka atas kematian Obosan Saburo…” dia membungkuk dalam.

Dua belas pendeta yang tegak mengitarinya membalas penghormatannya dengan membungkuk pula dalam-dalam.

“Terimakasih atas kunjunganmu kemari Bungsu-san. Kami menghargai sikap satria. Dan kami memuliakan kejujuran…” wakil obosan itu menjawab.

Ucapan mereka diputus oleh Michiko:

“Nah, kita lanjutkan persoalan antara kita yang belum selesai. Cabutlah samuraimu. Jangan kau kira engkau saja yang mampu mempergunakannya!”

Suara Michiko terdengar nyaring, getir dan bernada luka. Si Bungsu menatapnya. Dan dia dapat merasakan betapa hancurnya hati gadis itu. Bukankah dia juga pernah menaruh dendam yang sama seperti yang dialami gadis ini? Dendam dan kebencian yang berkobar, yang menjalani segenap pembuluh darah dan segenap tulang belulang terhadap orang yang membunuh ayah, ibu dan kakaknya? Dan itulah kini yang dialami Michiko.
Tidak, yang dialami Michiko sebenarnya bukan hanya kebencian dan dendam saja. Jika dibandingkan antara dia jutuh dan delapan tahun yang lalu, yaitu ketika ayah, ibu dan kakaknya dibunuh Saburo, maka keadaan gadis ini jauh lebih menyedihkan.

Perbedaannya terutama pada dua hal. Pertama, si Bungsu adalah seorang lelaki. Betapapun sengsara yang menimpa dirinya, sebagai seorang lelaki dia masih tetap punya keteguhan.
Sementara Michiko adalah seorang wanita. Betapa perkasanya seorang perempuan, namun fitrahnya tetap saja seorang perempuan. Lengkap dengan kelemahan-kelemahannya.
Dan perbedaan yang kedua adalah soal perasaan. Si Bungsu mendendam dan membenci Saburo sebagai lawan yang benar-benar tegak berlain sisi dengan dirinya. Artinya, dia tak kenal Saburo. Dan dalam situasi itu, Saburo justru adalah lelaki yang harus dia bunuh. Sebab lelaki itu adalah tentara dari suatu negeri yang menjajah negerinya.
Jadi tak ada beban jiwa yang dipikul si Bungsu dalam memusuhi Saburo.
Berlainan halnya dengan Michiko. Dia kini membenci dan memusuhi lelaki yang telah menyelamatkan kehormatan dan nyawanya. Dan lebih daripada sekedar hanya pertolongan itu, yang lebih parah adalah karena dia harus membenci dan mendendam pada lelaki yang dia cintai! Inilah beban yang paling berat yang harus dipikul gadis itu!

Sejak anak muda itu menyelamatkan dirinya dari perkosaan di hotel Asakusa di Tokyo dahulu, dia sudah tak bisa melupakannya. Dan peristiwa di kereta api ketika menuju ke Kyoto ini menyebabkan hatinya benar-benar tertambat pada pemuda Indonesia ini.
Sikap si Bungsu yang lembut, tutur sapanya yang sopan dan tahu menempatkan diri, dan sudah tentu keperkasaannya, meruntuhkan hatinya.
Setiap yang dia pikirkan adalah bagaimana bisa bertemu dengan anak muda itu. Dia benar-benar merindukannya.
Dan dalam saat seperti itulah bencana itu terjadi. Si Bungsu ternyata mencari ayahnya untuk membalaskan dendam. Dan dalam pertarungan kemarin, si Bungsu telah melukai punggungnya dan mengalahkan ayahnya. Meskipun ayahnya mati karena harakiri, namun hal itu takkan terjadi kalau tidak karena si Bungsu.
Kematian ayahnya adalah kematian segala-galnya bagi gadis ini. Itulah sebanya kenapa dia merasa benci dan berniat menuntut balas pada si Bungsu. membenci dan memusuhi orang yang sangat dicintai! Adakah hal lain yang lebih menyiksa dalam hidup ini selain yang dialami Michiko? Dan si Bungsu menyadari hal itu. Itulah sebanya dia tak sampai hati melayani amarah gadis tersebut.

Dan ketika Michiko kembali melontarkan tantangannya, si Bungsu memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam, kemudian dengan tangan kanan tetap memegang luka yang mengalirkan darah di bahu kirinya, dia melangkah pergi.
Michiko yang perasaannya benar-benar terluka dan menderita, berteriak menahannya:

“Lelaki pengecut, jangan pergi sebelum kau lunasi hutang nayawamu!!”

Sambil berkata begini, dia menghayunkan samurai di tangannya. Namun pendeta-pendeta kuil Shimogamo yang mengitarinya segera turun tangan mencegah. Para pendeta ini memang menghormati sikap si Bungsu.
Dan secara kesatria pula, mereka mengagumi anak muda itu. Mereka memang menghormati Obosan mereka. Tapi kisah anak muda ini, bagaimana bertahun-tahun dia mencari Saburo yang telah jadi Obosan itu untuk membalaskan dendamnya, benar-benar membuat mereka jadi simpati! Apalagi dari mulut Saburo sendiri sesaat sebelum meninggal mereka mengetahui bahwa anak muda itu telah menolong Michiko dari perkosaan tentara Amerika di Tokyo.

Michiko terkulai pingsan. Bukan karena dendamnya tak kesampaian untuk membunuh si Bungsu. tidak. Dia pingsan karena pukulan bathin yang luar biasa.
Dia ingin si Bungsu tak meninggalkan tempat itu. Dia ingin si Bungsu menemaninya dalam saat dukanya ini. Dia ingin pemuda itu melindunginya dalam dekapan yang kukuh. Dia ingin pemuda itu membelai wajahnya. Menciumnya dengan penuh sayang. Dia ingin sekali semuanya. Tapi disaat yang bersamaan, dia juga ingin anak muda itu mati ditangannya. Dia ingin anak muda itu tercencang tubuhnya oleh samurainya. Dia ingin membalaskan dendam kematian ayahnya. Dia ingin anak muda itu tak pernah ada di permukaan bumi ini.
Dan keinginan yang alangkah bertolak belakangnya ini, memukul bathinnya secara dahsyat. Itulah yang membuat dirinya tak sanggup tegak dan rubuh pingsan! Gadis ini benar-benar seorang yang patut dikasihani. Demikian berat cobaan yang mendera dirinya dalam usia yang belum cukup dua puluh tahun.

Si Bungsu tak mengetahui, bahwa di saat dia membelakang dan menjauhi tempat itu. Michiko rubuh pingsan. Dia melanjutkan langkahnya meninggalkan altar tersebut. Meninggalkan kuil Shimogamo itu. Meninggalkan prosesi pemakaman Obosan Saburo Matsuyama. Lelaki yang pernah dia cari selama bertahun-tahun untuk membalaskan dendam keluarganya. Dan hari ini, lelaki itu dikuburkan dengan upacara penuh kehormatan.

Sepuluh hari lamanya dia terbaring dalam musim dingin itu. Terbaring dihotelnya sambil mengobati luka bekas hantaman samurai Michiko.
Namun hari ke sepuluh nampaknya dia harus meninggalkan hotel itu. Sore harinya dia tengah duduk selesai minum sake ketika di luar dia dengar suara bertengkar.
Salah satu suara itu dikenalnya baik sebagai suara seorang pelayan hotel tersebut.
Kemudian didengarnya suara tamparan. Dan pintu kamarnya dibuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Dia menatap empat lelaki tegak dipintu kamarnya. Keempatnya memakai senjata.
 Dua orang menggantungkan samurai di pinggangnya. Seorang memakai rantai sebesar ibu jari kaki yang digantungkan ke lehernya. Seorang lagi memaki trisula. Sejenis senjata seperti tombak yang mempunyai tiga cabang.

“Kami dari Kumagaigumi!” yang memegang tombak trisula itu berkata dengan suara serak.

Dan ucapannya diiringi dengan hayunan tombak trisulanya ke arah si Bungsu!
Si Bungsu sudah merasa sejak dia mendengar pertengkaran di luar tadi. Bahwa orang yang datang ini pastilah berniat tak baik. Dan ketika lelaki itu menyebut Kumagaigumi, dia segera ingat pada organisasi bandit yang anggotanya pernah dia sudahi di depan stasiun kota Gamagori. Yaitu ketika dia menyelamatkan Michiko dari gangguan dua orang anggota komplotan itu. Kemudian ternyata yang dua orang ini memanggil tiga temannya lagi. Salah seorang diantaranya ternyata adalah pimpinan Kumagaigumi di kota itu.
Dan kini kelompok itu datang membalas dendam. Si Bungsu sudah waspada disaat orang itu menghayunkan tangannya menghujamkan tongkat trisula. Anak muda ini menggulingkan tubuh ke belakang. Dan tombak itu menghujam di kasurnya. Dan tanpa memberi waktu sedikitpun, ketiga lelaki lainnya segera mengepungnya dan mengahntamnya dengan senjata di tangan mereka.

“Tahan….!” Si Bungsu berseru.

Anak muda ini sudah merasa jenuh dengan perkelahian. Dia sudah merasa seperti tukang bantai. Karena itu, dia tak ingin berlarut-larut. Untungnya, keempat lelaki itu mau menahan serangan mereka.

“Kalian datang untuk membalaskan kematian lima teman kalian di stasiun Gamagori?”

Keempat lelaki itu menyeringai. Dan yang menjawab adalah yang memakai tombak trisula itu. Nampaknya dia adalah pimpinan di antara keempat lelaki tersebut.

“Ya. Kami datang untuk menuntut balas kematiannya. Dan kini engkau bersiaplah menerima nasibmu…”
“Tunggu! Untuk apa kita memperpanjang persengketaan ini? Saya tidak ingin mengatakan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam peristiwa itu, tapi apakah tak ada jalan lain untuk menyelesaikannya tanpa menumpahkan darah?”

Keempat lelaki itu saling pandang. Dan malangnya, keempat mereka jadi salah duga terhadap maksud ucapan si Bungsu. anak muda ini benar-benar tak ingin menumpahkan darah lagi. Dia sudah merasa penuh dosa.


Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 089

No comments:

Post a Comment