Tapi keempat
lelaki itu justru menafsirkan bahwa anak muda ini takut kepada mereka berempat.
Dan inilah pangkal celaka itu. Kalau saja mereka mau sedikit berfikir agak waras,
bahwa anak muda ini datang dari jauh tanpa bekal kecuali samurai dan dendam,
mungkin mereka akan dapat mengerti. Namun sudah dasarnya kaum rampok dan
penyamun, yang ada pada mereka adalah keangkuhan. Sikap mengalah orang dia duga
sebagai sikap takut.
“He…he…jangan
menangis anak muda. Engkau barangkali bisa kami ampuni kalau engkau mau
merangkak keliling kamar ini….:
Si Bungsu
menatapnya. Keempat lelaki itu menyeringai.
“Ya, kalau kau
mau merangkak dan minta ampun pada kami, maka kami akan pertimbangkan untuk
tetap membiarkan engkau hidup…”
Si Bungsu masih
menatap mereka.
“Kalau kau mau,
mulailah….”
Si Bungsu masih
menatap dengan diam.
“Kau tak mau?
Kami akan menguliti kepalamu dan engkau akan kami cencang…”
“Apakah
persoalan memang bisa selesai dengan hanya merangkak dan minta ampun?” suara si
Bungsu terdengar perlahan.
Anak muda ini
sebenarnya memang bersedia melakukan seperti yang diminta oleh bandit-bandit
Kumagaigumi itu. Yaitu kalau persoalan itu memang bisa diselesaikan dengan cara
demikian. Tapi orang Kumagaigumi ini mana mau persoalan hanya sampai disana.
Mereka datang memang untuk membalas dendam. Kemudian dengan pernyataan anak
muda itu, mereka merasa di atas angin. Mereka menduga anak muda itu takut.
Karena itu, kesombongan mereka menjadi-jadi.
“Ya,
merangkaklah. Dan kemudian menyembah minta ampun. Lalu tindakan berikutnya
boleh kita pikirkan apakah engkau bisa bebas atau ditambah dengan acara
lainnya…” kembali yang memakai tombak trisula itu bicara.
Si Bungsu
menyadari, bahwa apapun yang dia lakukan, maka keempat orang ini hanya berniat
satu. Yaitu menghendaki nyawanya. Dia jadi menyesal. Menyesal karena tak bisa
menghindarkan diri dari perkelahian. Kalau berkelahi, itu tak lain artinya
adalah maut. Sampai bila dia harus jadi tukang bantai? Dia menarik nafas
panjang.
Dan karena dia
tetap tak merangkak, tidak pula minta maaf atau menyembah seperti yang diminta,
maka yang memakai rantai segera melecutkan rantainya ke arah si Bungsu.
Anak muda ini
kembali bergulingan di lantai dengan jurus lompat tupai itu. Dan dia luput dari
hantaman rantai besar itu. Tiga orang lagi maju dengan senjata mereka. Si
Bungsu menyambar samurainya yang terletak di tempat tidur.
Dan sebelum
orang-orang Kumagaigumi itu sadar apa yang terjadi, terdengar mereka saling
berseru kaget. Dan mereka tersurut. Dada mereka keempatnya terasa perih. Ketika
mereka menoleh, ternyata kimono mereka telah robek tentang dada. Melintang dari
kanan ke kiri. Dan dari balik kimono yang robek itu darah mengalir perlahan.
Si Bungsu telah
bergerak amat cepat,. Namun tetap saja anak muda ini tak menginginkan ada nyawa
yang tercabut. Itulah sebabnya dia tak mau membunuh keempat lelaki itu.
Meskipun kalau dia mau, dengan mudah bisa dia lakukan. Kini dia tegak di atas
tempat tidur dengan samurai sudah berada dalam sarungnya.
“Saya berharap
hal ini bisa diselesaikan dengan baik-baik” kembali suaranya terdengar
perlahan.
Namun keempat
anggota Kumagaigumi itu bukannya merasa beruntung bahwa anak muda itu telah
berlaku sabar. Mereka justru merasa terhina dan menjadi meluap amarahnya.
Seperti dikomando, mereka lalu serentak maju menyerang. Kembali samurai si
Bungsu berkelebat. Dia tak mau menjatuhkan tangan kejam. Samurainya kembali
hanya melukai kaki dan tangan mereka. Dia berharap dengan itu keempat mereka
jadi jera. Namun karena tak mau mencederai, maka gerakannya jadi lambat. Suatu
saat, rantai besar itu berhasil membelit samurainya. Dan disaat yang sama dua
samurai yang lain membabat tangannya.
Benar-benar
berbahaya.
Dan
satu-satunya jalan untuk selamat adalah melepaskan samurai tersebut! Dan itulah
yang dilakukan anak muda ini. Dia melepaskan samurainya yang terbelit rantai.
Dengan demikian tangannya selamat dari pancungan kedua samurai lawannya.
Serangan tombak trisula yang datang menghujam rusuknya dia elakkan dengan
melompat ke sisi. Serangan berikutnya, yaitu hantaman rantai, terkaman mata
samurai dan tikaman tombak, dia elakkan dengan bergulungan di lantai memakai
lompat tupai yang terkenal itu.
Tapi sampai
kapan dia dapat bertahan? Nafasnya memburu. Lawan yang dia hadapi bukan lawan
sembarangan. Lawannya ini adalah pembunuh-pembunuh kelas satu di kota Kyoto.
Pembunuh kelas satu dalam organisasi Kumagaigumi!
Maka dia hanya
dapat bertahan dengan bergulingan beberapa saat saja. Sambil bergulingan dia
mencari kemungkinan untuk lari keluar. Tapi keempat lelaki itu seperti menebak
apa yang dia inginkan. Karena itu pintu mereka jaga dengan ketat!
Dan akhirnya si
Bungsu lelah diburu keempat senjata Kumagaigumi ini. Pada jurus keenam belas
dari serangan mereka, rantai sebesar empu kaki dengan panjang dua meter itu
menghajar perut si Bungsu. Sakitnya bukan main. Dia bergulingan berusaha
mencapai samurainya. Namun samurai itu ditendang oleh yang memakai tombak
hingga terpental ke dekat pintu. Dan kembali rantai itu menghajar punggungnya!
Dia tersandar ke dinding. Tubuhnya lemah. Keempat anggota Kumagaigumi itu
berhenti. Menyeringai buruk.
Yang memakai
samurai tiba-tiba bergerak. Dan tanpa ampun, kedua bilah samurai itu berkerja.
Dada, perut, bahu dan paha si Bungsu kena sabet oleh samurai itu. Luka
menganga! Si Bungsu berusaha untuk tak memekik meski sakitnya bukan main! Darah
merembes terus.
“Indonesia jin!
Engkau telah lancang dan kurang ajar membunuh lima orang anggota kami di kota
Gamagori. Kini saatnya kau merasakan pembalasan kami…!”
Yang bicara ini
adalah yang pakai tombak trisula. Dan kata-katanya diakhiri dengan meluncurnya
tombak bercabang tiga di tangannya. Si Bungsu yakin, betapapun dia coba
mengelak, namun sudah tak ada gunanya lagi. Dia tak lagi punya tenaga. Dan
tombak bercabang tiga itu menghujam dalam di pahanya!
Hanya Tuhan
yang tahu betapa sakitnya paha si Bungsu. namun dia tak memekik sedikitpun!
Bukankah azaban yang jauh lebih dahsyat, yaitu ketika kuku dan jarinya dicabut
dan dipatahkan Jepang di terowongan bawah tanah Bukittinggi dulu jauh lebih
hebat?
Dia hanya
menatap diam pada keempat anggota Kumagaigumi itu. Keempat lelaki Jepang itu
mau tak mau mengerenyitkan kening mereka. Dan saling pandang sesamanya.
Ketabahan dan ketangguhan anak muda Indonesia ini benar-benar luar biasa bagi
mereka!
“Kita sudahi
saja cepat anak ini…” kata yang memakai samurai.
Dan keempat
mereka nampaknya sepakat untuk “menyudahi” orang Indonesia itu.
Si Bungsu sudah
pasrah pada nasibnya. Tanpa dia sengaja, jari jemarinya meraba cincin bermata
berlian di jari manisnya. Cincin pemberian Salma. Sesaat dia teringat pada
gadis itu. Teringat pada kampung halamannya. Pada Situjuh Ladang Laweh. Pada
Gunung Sago dan Payakumbuh. Tugasku selesai, aku rela mati di sini, hatinya
berkata perlahan begitu keempat lelaki itu mengambil ancang-ancang untuk
menyudahi nyawanya.
Dia menatap
keempat anggota Beruang Gunung itu. Menatap dengan tak berkedip.
Namun saat itu
terdengar seseorang batuk di pintu.
Keempat anggota
Kumagaigumi itu menghentikan gerakan mereka dan menoleh ke pintu. Si Bungsu
juga menoleh ke pintu. Lewat keempat tubuh lelaki itu dia melihat seorang
lelaki Jepang tegak di pintu. Lelaki yang baru muncul itu berambut sangat
pendek. Hanya satu senti. Tubuhnya agak gemuk. Memakai kimono berwarna coklat.
Dia tegak dibalik pintu yang telah ditutupkan. Rupanya tak seorangpun yang tahu
kapan dia membuka pintu dan masuk kemudian menutupkan pintu. Kini dia tegak
dengan kepala menunduk.
“Siapa kau?”
bentak yang memegang tombak.
Lelaki itu
masih menunduk. Di tangannya dia memegang sebuah tongkat panjang. Dan si Bungsu
segera mengenali, bahwa tongkat di tangan lelaki itu mirip dengan “tongkat”
yang selalu dia bawa. Tongkat di tangan lelaki itu pasti samurai! Tapi berlainan
dengan samurai yang dia miliki, samurai di tangan lelaki itu nampaknya lebih
kecil ukurannya. Meski panjangnya sama, tapi lebarnya berbeda.
“Siapa kau!!”
yang bertombak itu membentak lagi.
Dengan masih
menunduk, terdengar suara lelaki yang baru muncul itu perlahan:
“Hmmm…
alangkahnya tak bermalunya. Ramai-ramai mengeroyok orang asing di kota ini”
Keempat lelaki
itu saling pandang sesamanya. Mereka sungguh mati tak pernah mengenal lelaki
ini. Si Bungsu juga heran. Dia tak pernah mengenal lelaki ini sebelumnya.
Mengapa lelaki tak dikenal ini tiba-tiba saja muncul dalam kamarnya?
“Engkau pemilik
samurai ini orang asing?” lelaki itu bertanya perlahan.
Dan di
tangannya rupanya telah tergenggam samurai si Bungsu yang tadi disepakkan ke
dekat pintu oleh anggota Kumagaigumi itu.
“Ya….” Kata si
Bungsu perlahan.
“Nah, ambillah
kembali…” lelaki asing yang baru datang itu berkata dan tiba-tiba melambungkan
samurai itu tinggi-tinggi.
Melewati kepala
keempat anggota Kumagaigumi itu. Dan tanpa dapat dicegah jatuh tepat di depan
si Bungsu. Sudah tentu si Bungsu tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan
sisa tenaga, dia menyambar samurainya itu.
Keempat anggota
Kumagaigumi itu bukan main berangnya. Mereka sesaat melupakan si Bungsu yang
tak berdaya. Serentak mereka menyerang orang lancang yang baru masuk itu.
Namun yang
berada paling depan, yaitu yang memakai samurai, terpekik dan terguling rubuh.
Dia mendekap mukanya yang berdarah. Ketiga lelaki lainnya segera maju. Namun
lagi-lagi mereka terpekik. Dan kali ini, dua diantaranya mati. Yaitu yang
memegang tombak bercabang tiga dan yang memekai rantai!
Si Bungsu
sendiri kaget bukan main melihat kecepatan lelaki ini. Dia seperti tak melihat
pada keempat anggota Kumagaigumi itu. Namun gerakannya demikian cepat.
Samurainya berkelabat seperti kilat yang amat sulit diketahui.
Dua orang
anggota Kumagaigumi yang masih hidup jadi kaget. Mereka kini terjepit antara
dua lelaki yang kemahirannya bersamurai bukan main. Yaitu antara lelaki baru
masuk itu di pintu, dengan orang Indonesia itu dibahagian dalam kamar.
“Sis…siapa
engkau….?” Yang memakai tombak itu bertanya gugup.
Lelaki itu
mengangkat wajahnya. Dan dengan kaget, baik si Bungsu, terlebih lagi anggota
Kumagaigumi itu mengetahui, bahwa lelaki ini ternyata buta!
“Zato Ichi….!”
Suara anggota Kumagaigumi itu terdengar seperti tangisan.
Lelaki yang
buta itu menunduk. Dan yang tak tanggung-tanggung kagetnya adalah si Bungsu.
dia kaget mendengar nama Zato Ichi itu. Siapa di antara orang di Jepang yang
tak mengenal dan mendengar nama Zato Ichi? Nama itu sebuah legenda. Nama
seorang pahlawan rakyat Jepang. Seorang lelaki buta yang kecepatan samurainya
hampir-hampir tak tertandingi. Dan dengan kemahiran bersamurai itu, meskipun
buta, dia malang melintang di seluruh tanah Jepang. Berkelana dari satu negeri
ke satu negeri menegakkan keadilan. Dia seperti malaikat penolong orang-orang
teraniaya. Meskipun matanya buta, tapi hatinya sangat mulia. Orang Jepang
mendewakan dia. Kaum penjahat sangat menakutinya.
Dan si Bungsu
mendengar kisah kepahlawanan Zato Ichi si pendekar buta ini. Dia mendengar
cerita itu dari Kenji dan adik-adiknya. Namun, bukankah masa Zato Ichi sudah
lama sekali berlalu? Nama itu kini hanya terdengar sebagai suatu legenda.
Seorang tokoh di masa lalu.
Dan kalu kini
dia hadir dalam kamarnya, bukankah itu suatu keanehan? Dan keanehan itu juga
terasa di hati anggota Kumagaigumi itu. Zato Ichi sudah lama lenyap. Bahkan
banyak orang menyangka dia telah lama mati. Kini siapa yang tegak di pintu itu?
Dan suara
lelaki buta itu seperti menjawab pertanyaan tersebut:
“Ya, saya Zato
Ichi….”
Suaranya
perlahan, lembut dan sabar sekali.
“Tet….tet…tetapi
engkau sudah lama mati…”
Zato Ichi
tertawa renyai. Dia menunduk.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 090
No comments:
Post a Comment