Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 091



Tapi keempat lelaki itu justru menafsirkan bahwa anak muda ini takut kepada mereka berempat. Dan inilah pangkal celaka itu. Kalau saja mereka mau sedikit berfikir agak waras, bahwa anak muda ini datang dari jauh tanpa bekal kecuali samurai dan dendam, mungkin mereka akan dapat mengerti. Namun sudah dasarnya kaum rampok dan penyamun, yang ada pada mereka adalah keangkuhan. Sikap mengalah orang dia duga sebagai sikap takut.



“He…he…jangan menangis anak muda. Engkau barangkali bisa kami ampuni kalau engkau mau merangkak keliling kamar ini….:



Si Bungsu menatapnya. Keempat lelaki itu menyeringai.



“Ya, kalau kau mau merangkak dan minta ampun pada kami, maka kami akan pertimbangkan untuk tetap membiarkan engkau hidup…”



Si Bungsu masih menatap mereka.



“Kalau kau mau, mulailah….”



Si Bungsu masih menatap dengan diam.



“Kau tak mau? Kami akan menguliti kepalamu dan engkau akan kami cencang…”

“Apakah persoalan memang bisa selesai dengan hanya merangkak dan minta ampun?” suara si Bungsu terdengar perlahan.



Anak muda ini sebenarnya memang bersedia melakukan seperti yang diminta oleh bandit-bandit Kumagaigumi itu. Yaitu kalau persoalan itu memang bisa diselesaikan dengan cara demikian. Tapi orang Kumagaigumi ini mana mau persoalan hanya sampai disana. Mereka datang memang untuk membalas dendam. Kemudian dengan pernyataan anak muda itu, mereka merasa di atas angin. Mereka menduga anak muda itu takut. Karena itu, kesombongan mereka menjadi-jadi.



“Ya, merangkaklah. Dan kemudian menyembah minta ampun. Lalu tindakan berikutnya boleh kita pikirkan apakah engkau bisa bebas atau ditambah dengan acara lainnya…” kembali yang memakai tombak trisula itu bicara.



Si Bungsu menyadari, bahwa apapun yang dia lakukan, maka keempat orang ini hanya berniat satu. Yaitu menghendaki nyawanya. Dia jadi menyesal. Menyesal karena tak bisa menghindarkan diri dari perkelahian. Kalau berkelahi, itu tak lain artinya adalah maut. Sampai bila dia harus jadi tukang bantai? Dia menarik nafas panjang.

Dan karena dia tetap tak merangkak, tidak pula minta maaf atau menyembah seperti yang diminta, maka yang memakai rantai segera melecutkan rantainya ke arah si Bungsu.

Anak muda ini kembali bergulingan di lantai dengan jurus lompat tupai itu. Dan dia luput dari hantaman rantai besar itu. Tiga orang lagi maju dengan senjata mereka. Si Bungsu menyambar samurainya yang terletak di tempat tidur.



Dan sebelum orang-orang Kumagaigumi itu sadar apa yang terjadi, terdengar mereka saling berseru kaget. Dan mereka tersurut. Dada mereka keempatnya terasa perih. Ketika mereka menoleh, ternyata kimono mereka telah robek tentang dada. Melintang dari kanan ke kiri. Dan dari balik kimono yang robek itu darah mengalir perlahan.

Si Bungsu telah bergerak amat cepat,. Namun tetap saja anak muda ini tak menginginkan ada nyawa yang tercabut. Itulah sebabnya dia tak mau membunuh keempat lelaki itu. Meskipun kalau dia mau, dengan mudah bisa dia lakukan. Kini dia tegak di atas tempat tidur dengan samurai sudah berada dalam sarungnya.



“Saya berharap hal ini bisa diselesaikan dengan baik-baik” kembali suaranya terdengar perlahan.



Namun keempat anggota Kumagaigumi itu bukannya merasa beruntung bahwa anak muda itu telah berlaku sabar. Mereka justru merasa terhina dan menjadi meluap amarahnya. Seperti dikomando, mereka lalu serentak maju menyerang. Kembali samurai si Bungsu berkelebat. Dia tak mau menjatuhkan tangan kejam. Samurainya kembali hanya melukai kaki dan tangan mereka. Dia berharap dengan itu keempat mereka jadi jera. Namun karena tak mau mencederai, maka gerakannya jadi lambat. Suatu saat, rantai besar itu berhasil membelit samurainya. Dan disaat yang sama dua samurai yang lain membabat tangannya.

Benar-benar berbahaya.



Dan satu-satunya jalan untuk selamat adalah melepaskan samurai tersebut! Dan itulah yang dilakukan anak muda ini. Dia melepaskan samurainya yang terbelit rantai. Dengan demikian tangannya selamat dari pancungan kedua samurai lawannya. Serangan tombak trisula yang datang menghujam rusuknya dia elakkan dengan melompat ke sisi. Serangan berikutnya, yaitu hantaman rantai, terkaman mata samurai dan tikaman tombak, dia elakkan dengan bergulungan di lantai memakai lompat tupai yang terkenal itu.

Tapi sampai kapan dia dapat bertahan? Nafasnya memburu. Lawan yang dia hadapi bukan lawan sembarangan. Lawannya ini adalah pembunuh-pembunuh kelas satu di kota Kyoto. Pembunuh kelas satu dalam organisasi Kumagaigumi!

Maka dia hanya dapat bertahan dengan bergulingan beberapa saat saja. Sambil bergulingan dia mencari kemungkinan untuk lari keluar. Tapi keempat lelaki itu seperti menebak apa yang dia inginkan. Karena itu pintu mereka jaga dengan ketat!



Dan akhirnya si Bungsu lelah diburu keempat senjata Kumagaigumi ini. Pada jurus keenam belas dari serangan mereka, rantai sebesar empu kaki dengan panjang dua meter itu menghajar perut si Bungsu. Sakitnya bukan main. Dia bergulingan berusaha mencapai samurainya. Namun samurai itu ditendang oleh yang memakai tombak hingga terpental ke dekat pintu. Dan kembali rantai itu menghajar punggungnya! Dia tersandar ke dinding. Tubuhnya lemah. Keempat anggota Kumagaigumi itu berhenti. Menyeringai buruk.

Yang memakai samurai tiba-tiba bergerak. Dan tanpa ampun, kedua bilah samurai itu berkerja. Dada, perut, bahu dan paha si Bungsu kena sabet oleh samurai itu. Luka menganga! Si Bungsu berusaha untuk tak memekik meski sakitnya bukan main! Darah merembes terus.



“Indonesia jin! Engkau telah lancang dan kurang ajar membunuh lima orang anggota kami di kota Gamagori. Kini saatnya kau merasakan pembalasan kami…!”



Yang bicara ini adalah yang pakai tombak trisula. Dan kata-katanya diakhiri dengan meluncurnya tombak bercabang tiga di tangannya. Si Bungsu yakin, betapapun dia coba mengelak, namun sudah tak ada gunanya lagi. Dia tak lagi punya tenaga. Dan tombak bercabang tiga itu menghujam dalam di pahanya!

Hanya Tuhan yang tahu betapa sakitnya paha si Bungsu. namun dia tak memekik sedikitpun! Bukankah azaban yang jauh lebih dahsyat, yaitu ketika kuku dan jarinya dicabut dan dipatahkan Jepang di terowongan bawah tanah Bukittinggi dulu jauh lebih hebat?

Dia hanya menatap diam pada keempat anggota Kumagaigumi itu. Keempat lelaki Jepang itu mau tak mau mengerenyitkan kening mereka. Dan saling pandang sesamanya. Ketabahan dan ketangguhan anak muda Indonesia ini benar-benar luar biasa bagi mereka!



“Kita sudahi saja cepat anak ini…” kata yang memakai samurai.



Dan keempat mereka nampaknya sepakat untuk “menyudahi” orang Indonesia itu.

Si Bungsu sudah pasrah pada nasibnya. Tanpa dia sengaja, jari jemarinya meraba cincin bermata berlian di jari manisnya. Cincin pemberian Salma. Sesaat dia teringat pada gadis itu. Teringat pada kampung halamannya. Pada Situjuh Ladang Laweh. Pada Gunung Sago dan Payakumbuh. Tugasku selesai, aku rela mati di sini, hatinya berkata perlahan begitu keempat lelaki itu mengambil ancang-ancang untuk menyudahi nyawanya.

Dia menatap keempat anggota Beruang Gunung itu. Menatap dengan tak berkedip.

Namun saat itu terdengar seseorang batuk di pintu.



Keempat anggota Kumagaigumi itu menghentikan gerakan mereka dan menoleh ke pintu. Si Bungsu juga menoleh ke pintu. Lewat keempat tubuh lelaki itu dia melihat seorang lelaki Jepang tegak di pintu. Lelaki yang baru muncul itu berambut sangat pendek. Hanya satu senti. Tubuhnya agak gemuk. Memakai kimono berwarna coklat. Dia tegak dibalik pintu yang telah ditutupkan. Rupanya tak seorangpun yang tahu kapan dia membuka pintu dan masuk kemudian menutupkan pintu. Kini dia tegak dengan kepala menunduk.



“Siapa kau?” bentak yang memegang tombak.



Lelaki itu masih menunduk. Di tangannya dia memegang sebuah tongkat panjang. Dan si Bungsu segera mengenali, bahwa tongkat di tangan lelaki itu mirip dengan “tongkat” yang selalu dia bawa. Tongkat di tangan lelaki itu pasti samurai! Tapi berlainan dengan samurai yang dia miliki, samurai di tangan lelaki itu nampaknya lebih kecil ukurannya. Meski panjangnya sama, tapi lebarnya berbeda.



“Siapa kau!!” yang bertombak itu membentak lagi.



Dengan masih menunduk, terdengar suara lelaki yang baru muncul itu perlahan:



“Hmmm… alangkahnya tak bermalunya. Ramai-ramai mengeroyok orang asing di kota ini”



Keempat lelaki itu saling pandang sesamanya. Mereka sungguh mati tak pernah mengenal lelaki ini. Si Bungsu juga heran. Dia tak pernah mengenal lelaki ini sebelumnya. Mengapa lelaki tak dikenal ini tiba-tiba saja muncul dalam kamarnya?



“Engkau pemilik samurai ini orang asing?” lelaki itu bertanya perlahan.



Dan di tangannya rupanya telah tergenggam samurai si Bungsu yang tadi disepakkan ke dekat pintu oleh anggota Kumagaigumi itu.



“Ya….” Kata si Bungsu perlahan.

“Nah, ambillah kembali…” lelaki asing yang baru datang itu berkata dan tiba-tiba melambungkan samurai itu tinggi-tinggi.



Melewati kepala keempat anggota Kumagaigumi itu. Dan tanpa dapat dicegah jatuh tepat di depan si Bungsu. Sudah tentu si Bungsu tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan sisa tenaga, dia menyambar samurainya itu.

Keempat anggota Kumagaigumi itu bukan main berangnya. Mereka sesaat melupakan si Bungsu yang tak berdaya. Serentak mereka menyerang orang lancang yang baru masuk itu.

Namun yang berada paling depan, yaitu yang memakai samurai, terpekik dan terguling rubuh. Dia mendekap mukanya yang berdarah. Ketiga lelaki lainnya segera maju. Namun lagi-lagi mereka terpekik. Dan kali ini, dua diantaranya mati. Yaitu yang memegang tombak bercabang tiga dan yang memekai rantai!



Si Bungsu sendiri kaget bukan main melihat kecepatan lelaki ini. Dia seperti tak melihat pada keempat anggota Kumagaigumi itu. Namun gerakannya demikian cepat. Samurainya berkelabat seperti kilat yang amat sulit diketahui.

Dua orang anggota Kumagaigumi yang masih hidup jadi kaget. Mereka kini terjepit antara dua lelaki yang kemahirannya bersamurai bukan main. Yaitu antara lelaki baru masuk itu di pintu, dengan orang Indonesia itu dibahagian dalam kamar.



“Sis…siapa engkau….?” Yang memakai tombak itu bertanya gugup.



Lelaki itu mengangkat wajahnya. Dan dengan kaget, baik si Bungsu, terlebih lagi anggota Kumagaigumi itu mengetahui, bahwa lelaki ini ternyata buta!



“Zato Ichi….!” Suara anggota Kumagaigumi itu terdengar seperti tangisan.



Lelaki yang buta itu menunduk. Dan yang tak tanggung-tanggung kagetnya adalah si Bungsu. dia kaget mendengar nama Zato Ichi itu. Siapa di antara orang di Jepang yang tak mengenal dan mendengar nama Zato Ichi? Nama itu sebuah legenda. Nama seorang pahlawan rakyat Jepang. Seorang lelaki buta yang kecepatan samurainya hampir-hampir tak tertandingi. Dan dengan kemahiran bersamurai itu, meskipun buta, dia malang melintang di seluruh tanah Jepang. Berkelana dari satu negeri ke satu negeri menegakkan keadilan. Dia seperti malaikat penolong orang-orang teraniaya. Meskipun matanya buta, tapi hatinya sangat mulia. Orang Jepang mendewakan dia. Kaum penjahat sangat menakutinya.



Dan si Bungsu mendengar kisah kepahlawanan Zato Ichi si pendekar buta ini. Dia mendengar cerita itu dari Kenji dan adik-adiknya. Namun, bukankah masa Zato Ichi sudah lama sekali berlalu? Nama itu kini hanya terdengar sebagai suatu legenda. Seorang tokoh di masa lalu.

Dan kalu kini dia hadir dalam kamarnya, bukankah itu suatu keanehan? Dan keanehan itu juga terasa di hati anggota Kumagaigumi itu. Zato Ichi sudah lama lenyap. Bahkan banyak orang menyangka dia telah lama mati. Kini siapa yang tegak di pintu itu?

Dan suara lelaki buta itu seperti menjawab pertanyaan tersebut:



“Ya, saya Zato Ichi….”



Suaranya perlahan, lembut dan sabar sekali.



“Tet….tet…tetapi engkau sudah lama mati…”



Zato Ichi tertawa renyai. Dia menunduk.


Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 090

No comments:

Post a Comment