Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 092



“Ya, saya sudah lama mati. Dan yang ada kini adalah hantu yang akan memusnahkan kejahatan kalian….” Suaranya seperti bergurau, namun anggota Kumagaigumi itu takutnya bukan main.

Dia mundur, dan tiba-tiba tangannya yang bertombak itu menyerang si Bungsu. kalau orang ini benar Zato Ichi, maka dia harus berjuang keras untuk bisa hidup. Dan jalan pertama yang dia tempuh adalah menyudahi orang Indonesia yang masih duduk terhenyak ke dinding itu.

Tombaknya terangkat. Namun si Bungsu sudah waspada. Begitu tombak orang itu terayun, tangannya yang bersamurai juga terayun. Tombak itu meluncur amat kencang. Tapi pada saat yang bersamaan, samurainya juga lepas terhayun menyerang anggota Kumagaigumi itu. Si Bungsu melontarkan samurainya sambil menggulingkan tubuhnya ke lantai.

Tombak bercabang tiga itu menghujam ke dinding, sejari dari leher si Bungsu. dan lelaki anggota Kumagaigumi itu terlolong. Lontaran samurai si Bungsu persis menerkam jantungnya. Lelaki itu mendelik, menggelepar. Dan mati!



Kini hanya seorang anggota Kumagaigumi lagi. Yaitu yang tadi mukanya disabet dengan samurai hingga berlumur darah oleh Zato Ichi. Lelaki itu mundur ketakutan. Dia mengambil rantainya dan menyerang Zato Ichi di pintu. Suara rantainya gemercing dan menimbulkan angin yang bersuit. Namun dengan sebuah putaran tubuh yang cepat samurai Zato Ichi bekerja. Lelaki itu mati dengan bahu belah! Kamar itu kini berubah jadi kamar pembantaian. Darah membanjir dimana-mana. Dan empat mayat melang melintang.

Kini yang hidup dalam kamar itu hanya mereka berdua. Si Bungsu dari Situjuh Ladang Laweh dan Zato Ichi, pahlawan samurai negeri Jepang!



Si Bungsu kembali duduk di sisi tombak bercabang tiga yang menancap dalam di dinding kamar. Dia belum mampu tegak. Sebab dada, perut, tangan dan pahanya luka parah. Yang terasa sangat sakit adalah luka dipahanya bekas dihujam tombak bercabang tiga itu.

Dia menatap pada Zato Ichi. Zato Ichi bersandar ke pintu. Dan perlahan, tubuhnya yang bersandar itu meluncur turun lalu duduk dilantai dengan tetap bersandar.

Kepalanya terangkat. Dia seperti menatap pada si Bungsu. Dan untuk pertama kalinya si Bungsu melihat bahwa lelaki yang bernama Zato Ichi ini sebenarnya sudah tua.

Kerut di wajahnya, serta rambutnya yang sudah memutih membuktikan ketuaannya itu. Namun, secara menyeluruh, lelaki itu kelihatan penyabar dan tenang. Sikapnya tidak hanya menimbulkan rasa kasihan, tapi juga menimbulkan rasa simpati.



“Domo arigato gozaimasu Ichi-san. Saya banyak mendengar kehebatan Zato Ichi-san…” dia berkata perlahan.



Zato Ichi menarik nafas panjang. Kemudian menunduk.



“Luar biasa. Benar-benar luar biasa. Seorang asing menjadi jagoan samurai yang ditakuti di negeri Jepang. Heh…heh..engkau benar-benar seorang yang luar biasa Bungsu-san…”



Suara Zato Ichi bergema dari tempat duduknya di lantai dan bersandar ke pintu. Si Bungsu diam. Dia berusaha tegak. Namun dengan keluhan sakit, dia terduduk lagi.



“Hmmm, nampaknya engkau luka parah. Kamar ini terlalu bau bangkai, engkau harus keluar dari sini anak muda….” Zato Ichi berkata.

“Ya, saya rasa saya menang harus keluar. Tapi….” Suaranya terhenti.

“Saya bisa membantumu. Mari…..” Zato Ichi berdiri. Dan si Bungsu melihat betapa lelaki itu tegak bertumpu dengan samurainya yang merangkap sebagai tongkat.



Kemudian dengan tongkat itu pula, dia melangkah tertatih-tatih mencari jalan. Bila ujung tongkatnya menyentuh mayat salah seorang anggota Kumagaigumi, dia lalu menghindarkan langkahnya dari sana. Caranya berjalan sangat mengharukan. Dengan beberapa kali tersandung pada tubuh mayat-mayat itu, akhirnya Zato Ichi sampai ke dekat si Bungsu.

Dia berjongkok. Meraba tangan, dada dan paha si Bungsu.



“Hmmm, mereka membantaimu Bungsu-san…” katanya perlahan.



Dan dengan berpegang ke tangan Zato Ichi si Bungsu berdiri. Diam-diam Zato Ichi merasa kagum atas ketangguhan anak muda ini. Tangguh dalam bersamurai dan tangguh dalam mengahadapi derita.



Dan senja itu, dia pindah dari hotel tersebut. Dengan sebuah taksi yang dipanggilkan oleh pelayan hotel dia dibawa Zato Ichi jauh ke luar kota. Ke sebuah kuil tua. Di bahagian belakang kuil itu ada sebuah rumah kecil. Dan rupanya di rumah inilah Zato Ichi tinggal. Itu terbukti dengan bergantungan beberapa helai pakaian Zato Ichi.



“Nah, tenanglah. Kita akan coba mengobati luka-lukamu. Disini engkau aman. Takkan ada orang yang mencarimu kemari….” Kata Zato Ichi sambil berjalan ke meja.



Kamar ini nampaknya sudah dia kenali betul letak-letak barangnya. Sebab si Bungsu melihat betapa dengan mudah dia melangkah ke segenap penjuru tanpa menabrak benda-benda dalam rumah kecil itu.

Sementara Zato Ichi meramu obat, si Bungsu masih digeluti penasaran heran dan takjub. Heran kenapa lelaki yang jadi tokoh legenda itu bisa hadir di kamarnya tadi? Takjub, apakah benar bahwa lelaki ini adalah Zato ichi, pahlawan samurai yang tersohor itu?



“Kota nampaknya semakin ramai….” Suara Zato Ichi terdengar perlahan.



Si Bungsu yang terbaring di tempat tidur menolehkan kepala. Tak berniat memberikan komentar. Dia ingin mendengar lebih banyak tentang lelaki ini.



“Dahulu, tiga puluh tahun yang lalu, ketika saya masih muda, Kyoto adalah kota yang tenang. Penduduknya memang ramai. Tapi mobilnya tak sebanyak sekarang. Hanya ada dua atau tiga mobil. Kini ribuan. Ah, orang buta seperti saya akan hancur digilasnya kalau sering ke kota….”



Si Bungsu tetap tak memberikan komentar. Zato Ichio meneruskan meramu obat. Dan si Bungsu segera mengetahui, bahwa Zato Ichi ternyata juga seorang yang mahir dalam meramu obat tradisional. Hal itu segera dia ketahui ketika melihat lelaki itu mengeluarkan akar-akar dan beberapa jenis batu-batuan yang dia kikis.



“Negeri ini dahulu adalah negeri yang aman. Tapi tentara membuat seluruh jadi berobah. Keinginan untuk berkuasa di Asia merembet untuk berkuasa di dunia. Akhirnya menjerumuskan bangsa ke dalam kancah peperangan yang menghancurkan diri sendiri….”



Zato Ichi berkata terus sambil terus pula meramu obat.



“Nah, selesai….” Katanya sambil menuangkan obat dari tempat penggilingan ke dalam sebuah pring kecil.



Lalu seperti orang yang bisa melihat sepenuhnya, dia melangkah ke pembaringan.

Dari dalam baskom yang diisi air panas dia mengeluarkan handuk kecil yang bersih. Lalu dengan handuk itu dia mencuci luka di sekujur tubuh si Bungsu. si Bungsu masih tak habis pikir, kenapa tokoh legendaris Jepang ini mau menolong dirinya.

Tak hanya sekedar menolong menyelamatkan nyawanya dari pembantaian anggota Kumagaigumi, tapi juga menolong merawat dirinya. Dia tak menemukan jawaban apa sebenarnya. Sementara Zato Ichi yang telah tua itu, tapi gerakannya masih kukuh dan lincah, selesai membersihkan seluruh luka di tubuhnya.’



“Nah, kini saatnya obat ini saya tuangkan ke luka di tubuhmu. Obat ini sangat manjur. Dalam tiga hari akan sembuh lukamu. Tapi pedihnya memang tak tertahankan. Pedih dan memilukan. Saya pernah diobat dengan ramuan ini. Dan untuk itu seluruh tangan dan kaki saya diikat ke pembaringan. Saya rasa ada baiknya kakimu dan tanganmu juga diikat Bungsu-san…”

“Tidak….tak apa. Barangkali saya bisa tahan…”

“Engkau sungguh-sungguh?”

“Saya coba…”



Tangan kanan Zato Ichi mengangkat piring berisi obat itu. Tangan kirinya meraba bekas luka di tubuh si Bungsu. Dan obat itu dia teteskan ke luka di dada. Mula-mula rasa panas menyengat. Kemudian sakit dan pedih yang menggigilkan jantung. Namun si Bungsu segera membandingkannya dengan rasa sakit ketika dia diazab dalam terowongan Jepang di Bukittinggi. Yaitu ketika kukunya dicabut dan jarinya dipatahkan satu demi satu.

Siksaan itu jauh lebih sakit daripada yang sekarang. Karena itu, dia hanya memejamkan mata. Dan Zato Ichi kembali terkejut melihat daya tahan anak muda ini.



Demikianlah, obat itu disiramkan ke seluruh luka di tubuh si Bungsu. kemudian ditempel dengan sejenis daun kayu yang telah didiang panas ke api. Peluh si Bungsu meleleh membasahi tubuhnya ketika pengobatan itu selesai.



“Benar-benar luar biasa. Engkau benar-benar lelaki tangguh Bungsu-san….” Kata Zato Ichi.



Namun suaranya tak didengar lagi oleh si Bungsu. Anak muda itu sudah tertidur. Obat tradisional itu memang bercampur dengan sejenis candu. Candu yang kadar biusnya amat besar. Zat bius itu mengalir di pembuluh darahnya lewat luka yang ditaburi obet tersebut.

Demikian besarnya zat rekat candu dan zat bius dalam obat itu, sehingga si Bungsu serta merta jadi tertidur sebelum pengobatan itu selesai. Zato Ichi menarik nafas panjang. Dia lalu membereskan peralatan obat-obatannya. Setiap pagi selama tiga hari berturut-turut obat itu harus dia ganti. Dan obat itu memang amat mujarab. Obat tradisional Jepang yang kesohor untuk mengobati luka yang betapa parahnya sekalipun.



Selesai mengemasi peralatan. Zato Ichi menuju ke Kuil Tua di depan rumah kecil dimana si Bungsu terbaring itu. Di Kuil itu dia sembahyang dan berdoa. Kemudian dilantai depan kuil itu, yang terbuat dari kayu keras dan licin mengkilat, dia terbaring.

Angin bertiup dari danau di depannya. Membuat rasa lelahnya lenyap. Dan dia juga tertidur di sana. Tak jauh dari tempatnya berbaring, di pohon-pohon sakura, malam itu burung-burung malam menggigil kedinginan.

Musim dingin tahun ini telah berjalan beberapa hari. Makin lama udaranya masih menusuk. Di Kuil tua itu nampaknya tak ada orang lain. Dan kuil itu juga tak membutuhkan lampu. Sebab satu-satunya orang yang ada di sana juga tak membutuhkan penerangan.

Apa gunanya penerangan bagi Zato Ichi yang buta? Zato Ichi, siapa yang tak mengenal nama itu di Jepang? Dia adalah tokoh samurai penolong rakyat miskin. Samurainya selalu menebas kezaliman. Puluhan tahun yang lalu, dia muncul di setiap ada kezaliman. Menolong orang yang tertindas. Kemudian pergi tanpa bekas bila pertolongannya tak lagi dibutuhkan orang.

Tapi saat itu, orang Jepang sendiri sudah melupakan Zato Ichi. Bukan karena kepahlawanannya sudah ada yang menandingi. Tidak. Tapi dia dilupakan karena zaman Zato Ichi sudah lama berlalu.



Perang samurai sudah digantikan dengan gemuruhnya bunyi bedil dan pesawat udara. Pahlawan-pahlawan dalam peperangan di Asia Raya lebih populer. Demikian pula pahlawan-pahlawan udara seperti Saburo yang legendaris. Siapa yang tak mengenal dan tak membicarakan nama pilot dan pahlawan Kamikaze yang bernama Saburo itu? Dia dengan pesawat jenis Kamikazenya itu muncul di atas Armada Perang Amerika. Menyapu kapal-kapal perang itu dengan mitraliyur dan bomnya. Menenggelamkan sebahagian besar kapal kapal perang tersebut. Kemudian merontokkan pesawat pesawat udara Amerika yang coba mencegat atau mengepungnya. Lalu dia pulang kepangkalan dengan tubuh pesawat yang robek atau bolong oleh terkaman peluru musuh. Tapi esoknya, dengan tubuh pesawat seperti tapisan kelapa itu, Saburo mengudara lagi. Menenggelamkan lagi kapal kapal perang dan merontokkan pesawat udara. Begitu terus. Hingga dia menjadi pahlawan Jepang yang kesohor.



Dan itulah kenapa sebanya Zato Ichi terlupakan. Siapa nyana, justru saat angkatan perang Jepang itu runtuh di bawah kaki Sekutu, saat itu pula pahlawan samurai itu muncul.

Suatu kemunculan yang tak seorangpun pernah menduga. Generasi Zato Ichi, umumnya sudah berkubur. Kalaupun ada orang yang mengenalnya, itu hanya dari cerita dan dongeng saja. Siapa sangka, ternyata lelaki jagoan samurai itu, saat ini masih sehat walafiat dan kini menolong seorang “jagoan” samurai lainnya yang berasal dari Indonesia, si Bungsu!

Kehadiran Zato Ichi memang merupakan suatu “keajaiban”. Lelaki ini ternyata hidup dengan hati tenteram. Di saat orang menyangka bahwa dia sudah mati, di saat itu pula sebenarnya dia tengah berkelana dari sebuah pengunungan ke pengunungan lainnya.

Memakan buah-buahan dan daun-daun berkhasiat. Itulah salah satu penyebanya, kenapa dia kelihatan masih utuh. Tidak segera jadi tua renta seperti jamaknya mnusia di kota bila mencapai usia seperti dia.



Lalu kenapa hari ini dia muncul tiba tiba? Dan kenapa kemunculannya justru di kamar hotel si Bungsu di saat anak muda itu diancam maut? Apakah itu suatu kebetulan atau memang ada yang mengatur? Hal ini memang masih merupakan suatu misteri.



Persis tiga hari. Ya, persisi seperti yang dikatakan Zato Ichi ketika mengobati si Bungsu. bahwa dalam tiga hari lukanya akan sembuh. Dan tiga hari setelah itu, luka disekujur tubuh si Bungsu memang sembuh. Yang terlihat kini hanya bekas memutih di tentang luka itu.

Si Bungsu jadi takjub. Dia sudah banyak mengenal obat tradisional. Bahkan dia juga tukang ramu obat seperti itu ketika masih di gunung Sago. Tapi dengan luka yang demikian parah, dan pengobatannya demikian cepat, memang diluar jangkauan pengetahuannya.

Dan ketika dia tanyakan pada Zato Ichi apa yang menyebabkan demikian cepat daya sembuh obat itu, Zato Ichi menjelaskan.


Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 091

No comments:

Post a Comment