“Ya, saya sudah
lama mati. Dan yang ada kini adalah hantu yang akan memusnahkan kejahatan
kalian….” Suaranya seperti bergurau, namun anggota Kumagaigumi itu takutnya
bukan main.
Dia mundur, dan
tiba-tiba tangannya yang bertombak itu menyerang si Bungsu. kalau orang ini
benar Zato Ichi, maka dia harus berjuang keras untuk bisa hidup. Dan jalan
pertama yang dia tempuh adalah menyudahi orang Indonesia yang masih duduk
terhenyak ke dinding itu.
Tombaknya
terangkat. Namun si Bungsu sudah waspada. Begitu tombak orang itu terayun,
tangannya yang bersamurai juga terayun. Tombak itu meluncur amat kencang. Tapi
pada saat yang bersamaan, samurainya juga lepas terhayun menyerang anggota
Kumagaigumi itu. Si Bungsu melontarkan samurainya sambil menggulingkan tubuhnya
ke lantai.
Tombak
bercabang tiga itu menghujam ke dinding, sejari dari leher si Bungsu. dan
lelaki anggota Kumagaigumi itu terlolong. Lontaran samurai si Bungsu persis
menerkam jantungnya. Lelaki itu mendelik, menggelepar. Dan mati!
Kini hanya
seorang anggota Kumagaigumi lagi. Yaitu yang tadi mukanya disabet dengan
samurai hingga berlumur darah oleh Zato Ichi. Lelaki itu mundur ketakutan. Dia
mengambil rantainya dan menyerang Zato Ichi di pintu. Suara rantainya gemercing
dan menimbulkan angin yang bersuit. Namun dengan sebuah putaran tubuh yang
cepat samurai Zato Ichi bekerja. Lelaki itu mati dengan bahu belah! Kamar itu
kini berubah jadi kamar pembantaian. Darah membanjir dimana-mana. Dan empat
mayat melang melintang.
Kini yang hidup
dalam kamar itu hanya mereka berdua. Si Bungsu dari Situjuh Ladang Laweh dan
Zato Ichi, pahlawan samurai negeri Jepang!
Si Bungsu
kembali duduk di sisi tombak bercabang tiga yang menancap dalam di dinding kamar.
Dia belum mampu tegak. Sebab dada, perut, tangan dan pahanya luka parah. Yang
terasa sangat sakit adalah luka dipahanya bekas dihujam tombak bercabang tiga
itu.
Dia menatap
pada Zato Ichi. Zato Ichi bersandar ke pintu. Dan perlahan, tubuhnya yang bersandar
itu meluncur turun lalu duduk dilantai dengan tetap bersandar.
Kepalanya
terangkat. Dia seperti menatap pada si Bungsu. Dan untuk pertama kalinya si
Bungsu melihat bahwa lelaki yang bernama Zato Ichi ini sebenarnya sudah tua.
Kerut di
wajahnya, serta rambutnya yang sudah memutih membuktikan ketuaannya itu. Namun,
secara menyeluruh, lelaki itu kelihatan penyabar dan tenang. Sikapnya tidak
hanya menimbulkan rasa kasihan, tapi juga menimbulkan rasa simpati.
“Domo arigato
gozaimasu Ichi-san. Saya banyak mendengar kehebatan Zato Ichi-san…” dia berkata
perlahan.
Zato Ichi
menarik nafas panjang. Kemudian menunduk.
“Luar biasa.
Benar-benar luar biasa. Seorang asing menjadi jagoan samurai yang ditakuti di
negeri Jepang. Heh…heh..engkau benar-benar seorang yang luar biasa Bungsu-san…”
Suara Zato Ichi
bergema dari tempat duduknya di lantai dan bersandar ke pintu. Si Bungsu diam.
Dia berusaha tegak. Namun dengan keluhan sakit, dia terduduk lagi.
“Hmmm,
nampaknya engkau luka parah. Kamar ini terlalu bau bangkai, engkau harus keluar
dari sini anak muda….” Zato Ichi berkata.
“Ya, saya rasa
saya menang harus keluar. Tapi….” Suaranya terhenti.
“Saya bisa
membantumu. Mari…..” Zato Ichi berdiri. Dan si Bungsu melihat betapa lelaki itu
tegak bertumpu dengan samurainya yang merangkap sebagai tongkat.
Kemudian dengan
tongkat itu pula, dia melangkah tertatih-tatih mencari jalan. Bila ujung
tongkatnya menyentuh mayat salah seorang anggota Kumagaigumi, dia lalu
menghindarkan langkahnya dari sana. Caranya berjalan sangat mengharukan. Dengan
beberapa kali tersandung pada tubuh mayat-mayat itu, akhirnya Zato Ichi sampai
ke dekat si Bungsu.
Dia berjongkok.
Meraba tangan, dada dan paha si Bungsu.
“Hmmm, mereka
membantaimu Bungsu-san…” katanya perlahan.
Dan dengan
berpegang ke tangan Zato Ichi si Bungsu berdiri. Diam-diam Zato Ichi merasa
kagum atas ketangguhan anak muda ini. Tangguh dalam bersamurai dan tangguh
dalam mengahadapi derita.
Dan senja itu,
dia pindah dari hotel tersebut. Dengan sebuah taksi yang dipanggilkan oleh
pelayan hotel dia dibawa Zato Ichi jauh ke luar kota. Ke sebuah kuil tua. Di
bahagian belakang kuil itu ada sebuah rumah kecil. Dan rupanya di rumah inilah
Zato Ichi tinggal. Itu terbukti dengan bergantungan beberapa helai pakaian Zato
Ichi.
“Nah, tenanglah.
Kita akan coba mengobati luka-lukamu. Disini engkau aman. Takkan ada orang yang
mencarimu kemari….” Kata Zato Ichi sambil berjalan ke meja.
Kamar ini
nampaknya sudah dia kenali betul letak-letak barangnya. Sebab si Bungsu melihat
betapa dengan mudah dia melangkah ke segenap penjuru tanpa menabrak benda-benda
dalam rumah kecil itu.
Sementara Zato
Ichi meramu obat, si Bungsu masih digeluti penasaran heran dan takjub. Heran
kenapa lelaki yang jadi tokoh legenda itu bisa hadir di kamarnya tadi? Takjub,
apakah benar bahwa lelaki ini adalah Zato ichi, pahlawan samurai yang tersohor
itu?
“Kota nampaknya
semakin ramai….” Suara Zato Ichi terdengar perlahan.
Si Bungsu yang
terbaring di tempat tidur menolehkan kepala. Tak berniat memberikan komentar.
Dia ingin mendengar lebih banyak tentang lelaki ini.
“Dahulu, tiga
puluh tahun yang lalu, ketika saya masih muda, Kyoto adalah kota yang tenang.
Penduduknya memang ramai. Tapi mobilnya tak sebanyak sekarang. Hanya ada dua
atau tiga mobil. Kini ribuan. Ah, orang buta seperti saya akan hancur
digilasnya kalau sering ke kota….”
Si Bungsu tetap
tak memberikan komentar. Zato Ichio meneruskan meramu obat. Dan si Bungsu
segera mengetahui, bahwa Zato Ichi ternyata juga seorang yang mahir dalam
meramu obat tradisional. Hal itu segera dia ketahui ketika melihat lelaki itu
mengeluarkan akar-akar dan beberapa jenis batu-batuan yang dia kikis.
“Negeri ini
dahulu adalah negeri yang aman. Tapi tentara membuat seluruh jadi berobah.
Keinginan untuk berkuasa di Asia merembet untuk berkuasa di dunia. Akhirnya
menjerumuskan bangsa ke dalam kancah peperangan yang menghancurkan diri
sendiri….”
Zato Ichi
berkata terus sambil terus pula meramu obat.
“Nah,
selesai….” Katanya sambil menuangkan obat dari tempat penggilingan ke dalam
sebuah pring kecil.
Lalu seperti
orang yang bisa melihat sepenuhnya, dia melangkah ke pembaringan.
Dari dalam
baskom yang diisi air panas dia mengeluarkan handuk kecil yang bersih. Lalu
dengan handuk itu dia mencuci luka di sekujur tubuh si Bungsu. si Bungsu masih
tak habis pikir, kenapa tokoh legendaris Jepang ini mau menolong dirinya.
Tak hanya
sekedar menolong menyelamatkan nyawanya dari pembantaian anggota Kumagaigumi,
tapi juga menolong merawat dirinya. Dia tak menemukan jawaban apa sebenarnya. Sementara
Zato Ichi yang telah tua itu, tapi gerakannya masih kukuh dan lincah, selesai
membersihkan seluruh luka di tubuhnya.’
“Nah, kini
saatnya obat ini saya tuangkan ke luka di tubuhmu. Obat ini sangat manjur.
Dalam tiga hari akan sembuh lukamu. Tapi pedihnya memang tak tertahankan. Pedih
dan memilukan. Saya pernah diobat dengan ramuan ini. Dan untuk itu seluruh
tangan dan kaki saya diikat ke pembaringan. Saya rasa ada baiknya kakimu dan
tanganmu juga diikat Bungsu-san…”
“Tidak….tak
apa. Barangkali saya bisa tahan…”
“Engkau
sungguh-sungguh?”
“Saya coba…”
Tangan kanan
Zato Ichi mengangkat piring berisi obat itu. Tangan kirinya meraba bekas luka
di tubuh si Bungsu. Dan obat itu dia teteskan ke luka di dada. Mula-mula rasa
panas menyengat. Kemudian sakit dan pedih yang menggigilkan jantung. Namun si
Bungsu segera membandingkannya dengan rasa sakit ketika dia diazab dalam
terowongan Jepang di Bukittinggi. Yaitu ketika kukunya dicabut dan jarinya
dipatahkan satu demi satu.
Siksaan itu
jauh lebih sakit daripada yang sekarang. Karena itu, dia hanya memejamkan mata.
Dan Zato Ichi kembali terkejut melihat daya tahan anak muda ini.
Demikianlah,
obat itu disiramkan ke seluruh luka di tubuh si Bungsu. kemudian ditempel
dengan sejenis daun kayu yang telah didiang panas ke api. Peluh si Bungsu
meleleh membasahi tubuhnya ketika pengobatan itu selesai.
“Benar-benar
luar biasa. Engkau benar-benar lelaki tangguh Bungsu-san….” Kata Zato Ichi.
Namun suaranya
tak didengar lagi oleh si Bungsu. Anak muda itu sudah tertidur. Obat
tradisional itu memang bercampur dengan sejenis candu. Candu yang kadar biusnya
amat besar. Zat bius itu mengalir di pembuluh darahnya lewat luka yang ditaburi
obet tersebut.
Demikian besarnya
zat rekat candu dan zat bius dalam obat itu, sehingga si Bungsu serta merta
jadi tertidur sebelum pengobatan itu selesai. Zato Ichi menarik nafas panjang.
Dia lalu membereskan peralatan obat-obatannya. Setiap pagi selama tiga hari
berturut-turut obat itu harus dia ganti. Dan obat itu memang amat mujarab. Obat
tradisional Jepang yang kesohor untuk mengobati luka yang betapa parahnya
sekalipun.
Selesai
mengemasi peralatan. Zato Ichi menuju ke Kuil Tua di depan rumah kecil dimana
si Bungsu terbaring itu. Di Kuil itu dia sembahyang dan berdoa. Kemudian
dilantai depan kuil itu, yang terbuat dari kayu keras dan licin mengkilat, dia
terbaring.
Angin bertiup
dari danau di depannya. Membuat rasa lelahnya lenyap. Dan dia juga tertidur di
sana. Tak jauh dari tempatnya berbaring, di pohon-pohon sakura, malam itu
burung-burung malam menggigil kedinginan.
Musim dingin
tahun ini telah berjalan beberapa hari. Makin lama udaranya masih menusuk. Di
Kuil tua itu nampaknya tak ada orang lain. Dan kuil itu juga tak membutuhkan
lampu. Sebab satu-satunya orang yang ada di sana juga tak membutuhkan
penerangan.
Apa gunanya
penerangan bagi Zato Ichi yang buta? Zato Ichi, siapa yang tak mengenal nama
itu di Jepang? Dia adalah tokoh samurai penolong rakyat miskin. Samurainya
selalu menebas kezaliman. Puluhan tahun yang lalu, dia muncul di setiap ada
kezaliman. Menolong orang yang tertindas. Kemudian pergi tanpa bekas bila
pertolongannya tak lagi dibutuhkan orang.
Tapi saat itu,
orang Jepang sendiri sudah melupakan Zato Ichi. Bukan karena kepahlawanannya
sudah ada yang menandingi. Tidak. Tapi dia dilupakan karena zaman Zato Ichi
sudah lama berlalu.
Perang samurai
sudah digantikan dengan gemuruhnya bunyi bedil dan pesawat udara.
Pahlawan-pahlawan dalam peperangan di Asia Raya lebih populer. Demikian pula
pahlawan-pahlawan udara seperti Saburo yang legendaris. Siapa yang tak mengenal
dan tak membicarakan nama pilot dan pahlawan Kamikaze yang bernama Saburo itu?
Dia dengan pesawat jenis Kamikazenya itu muncul di atas Armada Perang Amerika.
Menyapu kapal-kapal perang itu dengan mitraliyur dan bomnya. Menenggelamkan
sebahagian besar kapal kapal perang tersebut. Kemudian merontokkan pesawat
pesawat udara Amerika yang coba mencegat atau mengepungnya. Lalu dia pulang
kepangkalan dengan tubuh pesawat yang robek atau bolong oleh terkaman peluru
musuh. Tapi esoknya, dengan tubuh pesawat seperti tapisan kelapa itu, Saburo
mengudara lagi. Menenggelamkan lagi kapal kapal perang dan merontokkan pesawat
udara. Begitu terus. Hingga dia menjadi pahlawan Jepang yang kesohor.
Dan itulah
kenapa sebanya Zato Ichi terlupakan. Siapa nyana, justru saat angkatan perang
Jepang itu runtuh di bawah kaki Sekutu, saat itu pula pahlawan samurai itu
muncul.
Suatu
kemunculan yang tak seorangpun pernah menduga. Generasi Zato Ichi, umumnya
sudah berkubur. Kalaupun ada orang yang mengenalnya, itu hanya dari cerita dan
dongeng saja. Siapa sangka, ternyata lelaki jagoan samurai itu, saat ini masih
sehat walafiat dan kini menolong seorang “jagoan” samurai lainnya yang berasal
dari Indonesia, si Bungsu!
Kehadiran Zato
Ichi memang merupakan suatu “keajaiban”. Lelaki ini ternyata hidup dengan hati
tenteram. Di saat orang menyangka bahwa dia sudah mati, di saat itu pula
sebenarnya dia tengah berkelana dari sebuah pengunungan ke pengunungan lainnya.
Memakan
buah-buahan dan daun-daun berkhasiat. Itulah salah satu penyebanya, kenapa dia
kelihatan masih utuh. Tidak segera jadi tua renta seperti jamaknya mnusia di
kota bila mencapai usia seperti dia.
Lalu kenapa
hari ini dia muncul tiba tiba? Dan kenapa kemunculannya justru di kamar hotel
si Bungsu di saat anak muda itu diancam maut? Apakah itu suatu kebetulan atau
memang ada yang mengatur? Hal ini memang masih merupakan suatu misteri.
Persis tiga
hari. Ya, persisi seperti yang dikatakan Zato Ichi ketika mengobati si Bungsu.
bahwa dalam tiga hari lukanya akan sembuh. Dan tiga hari setelah itu, luka
disekujur tubuh si Bungsu memang sembuh. Yang terlihat kini hanya bekas memutih
di tentang luka itu.
Si Bungsu jadi
takjub. Dia sudah banyak mengenal obat tradisional. Bahkan dia juga tukang ramu
obat seperti itu ketika masih di gunung Sago. Tapi dengan luka yang demikian
parah, dan pengobatannya demikian cepat, memang diluar jangkauan
pengetahuannya.
Dan ketika dia
tanyakan pada Zato Ichi apa yang menyebabkan demikian cepat daya sembuh obat
itu, Zato Ichi menjelaskan.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 091
No comments:
Post a Comment