Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 093



Pendekar samurai itu menunjukkan pada si Bungsu akar dan kulit kulit kayu yang dipakai untuk meramu. Tentang akar dan kulit kayu itu si Bungsu tak heran. Dia sudah mengetahui cukup banyak. Dari melihat batang dan jenis daunnya saja seorang peramu obat yang ahli akan segara dapat mengetahui mana pohon yang bisa jadi obat.



“semua akar, daun dan kulit kayu ini direbus dengan batu Giok ini….” Kata Zato Ichi sambil memperlihatkan tiga macam batu-batuan.



Si Bungsu jadi heran melihat batu tersebut. Batu Giok adalah semacam batu mar-mar yang indah dari daratan Tiongkok. Dia sebenarnya hanya mirip mar-mar. tapi batu ini banyak dibuat perhiasan oleh orang. Ketiga batu Giok itu berwarna lumut, merah darah dan kuning.



“Ketiga macam batu ini akan mengeluarkan getah bila direbus bersamaan dengan akar dan kulit kayu tadi….” Zato Ichi menjelaskan.



Tapi kedua mereka tiba-tiba sama terdiam. Si Bungsu melihat betapa Zato Ichi mendongakkan kepala. Nampaknya dia tengah mendengarkan sesuatu.



“Ada orang datang…..” kata lelaki Jepang itu perlahan.

“Ya. Dan mereka mengitari rumah ini” jawab si Bungsu perlahan.



Kedua lelaki ini adalah lelaki-lelaki yang memiliki indera yang amat tajam.

Mereka dapat mendengarkan langkah beberapa orang di luar sana. Padahal saat itu angin musim dingin tengah bersuit kencang. Namun diantara suitan angin itu, masih saja telinga mereka dapat membedakan bunyi langkah kaki manusia.



“Berapa orang mereka?” tanya Zato Ichi.

“Lebih dari lima orang….” Kata si Bungsu.



Zato Ichi tersenyum. Lagi-lagi dia mengagumi anak muda ini.



“Inderamu sangat hebat Bungsu-san….” Katanya. Si Bungsu hanya diam.

“Mari kita ke luar, kita sambut kedatangan mereka….” Kata Zato Ichi sambil tertatih-tatih melangkah ke luar rumah.



Dengan memegang samurainya di tangan kiri. Si Bungsu mengikuti langkah Zato Ichi. Dan tiba-tiba mereka berdiri di halaman belakang kuil tua itu. Angin dingin yang bertiup pagi itu menampar-nampar wajah mereka. Dan begitu mereka berdiri di luar, enam lelaki dalam pakaian kimono hitam tegak membuat setengah lingkaran.



“Zato Ichi…!” terdengar bisik-bisik di antara mereka takkala melihat pada lelaki buta itu.



Bisik bisik itu berbaur dengan rasa terkejut.



“Hmmm, sudah lama kuil ini sepi. Apakah tuan-tuan datang untuk bersembahyang…?” terdengar suara Zato Ichi bergema mengatasi suitan angin kencang.



Keenam lelaki yang baru datang itu saling pandang. Salah seorang diantaranya, yang berkumis tebal, yaitu yang tertua diantara mereka, maju dua tindak.

Suara terompa kayunya terdengar berdetak di atas semen di halaman belakang kuil itu.



“Kami dari organisasi Kumagaigumi. Kami datang….”

“Hmm, Kumagaigumi, kelompok biruang gunung yang sejak dahulu hanya mengacau….’



Suara Zato Ichi memutus ucapan lelaki itu.

“Itu urusan kami. Kami tak pernah mencampuri urusan Zato Ichi. Harap jangan ikut campur urusan kami…” lelaki itu membentak.



Terdengar suara tawa Zato Ichi perlahan.



“Bagaimana aku takkan ikut campur, kalau urusan kalian itu justru merampok dan memperkosa wanita-wanita Jepang? Apa tak lebih baik kalian memperkosa ibu kalian sendiri?”



Muka lelaki yang baru datang itu jadi merah padam.



“Zamanmu sudah lewat Zato Ichi. Lebih baik hari-hari tuamu ini kau lewatkan dengan berdoa dalam kuil. Menghindarlah dari sana. Kami ada urusan dengan anak muda jahanam itu…”



Zato Ichi terdiam. Mukanya terangkat. Matanya yang buta seperti menatap langit yang gelap. Kemudian menunduk. Dan terdengar suaranya perlahan:



“Ya, saya harusnya berdoa…selesaikanlah urusan kalian…”



Dan sehabis berkata begitu, perlahan mengetuk-ngetuk lantai semen, mencari jalan ke arah kanan rumah. Tak jauh dari sana, ada sebuah bangku-bangku dari semen. Dan dengan tenang Zato Ichi duduk di bangku tersebut. Kini di depan rumah itu tegak si Bungsu sendiri menghadapi keenam lelaki anggota Kumagaigumi itu.



“Nah, anak muda. Kami datang untuk membawamu pergi. Engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Membunuh anggota kami di kota Gamagori dan di hotel tiga hari yang lalu..”

“Yang, di hotel itu, saya ikut membunuhnya tiga orang…” suara Zato Ichi memutus.



Pimpinan Kumagaigumi itu menoleh. Tapi jelas dia tak ingin pahlawan Samurai itu ikut campur. Kalau dia campur tangan, jelas keadaan akan gawat. Karena itu dia lalu berkata:



“Urusan dengan engkau akan kami bereskan kemudian. Kami berurusan dengan orang asing ini…”



Zato Ichi tertawa berguman. Jelas bahwa dia mengetahui akal licik anggota Kumagaigumi ini. Namun demikian, dia tetap duduk dengan tenang.



“Nah, kau ikutlah kami…” suara lelaki berkumis tebal itu berdengung.



Si Bungsu hanya tersenyum tipis.



“Bukan salah saya kalau teman-temanmu yang di hotel itu mati. Telah saya katakan saya tak mau persoalan diperlarut-larut. Buat apa kita saling bunuh? Saya sudah bosan dengan pekerjaan membunuhi orang….”



Ucapan si Bungsu ini sbenarnya keluar dari hati yang ikhlas. Dia memang tak lagi berniat jadi tukang jaga. Dan itu sudah dia buktikan di hotel ketika anggota Kumagaigumi itu datang tiga hari yang lalu. Dia tak mau melawan mereka. Dan hal itu hampir saja menyebabkan nyawanya melayang. Keempat lelaki yang memasuki kamar hotelnya itu benar-benar tak berperikemanusiaan. Untunglah di saat yang sangat gawat Zato Ichi datang membantu.

Dan kali inipun, seperti halnya keempat anggota Kumagaigumi di hotel tiga yang lalu, keenam lelaki ini salah duga akan ucapan si Bungsu.



Kalau yang datang ke hotelnya dulu menganggap bahwa anak muda ini takut, maka keenam lelaki ini justru menganggap dengan ucapannya itu si Bungsu tengah menggertak mereka.

Dengan ucapan “Saya sudah bosan jadi tukang bunuh”, mereka menganggap bahwa anak muda ini seakan-akan berkata : “ dengan mudah saya bisa membunuh kalian. Tapi saya sudah bosan…”



Nah, salah duga biasanya mendatangkan malapetaka. Dan itulah yang akan terjadi di kuil ini.

“Jangan menyombong buyung. Apakah kau sangka dengan kemenanganmu melawan anggota Jakuza di Tokyo, kemudian menang lagi melawan anggota kami di Gamagori, lalu terakhir menang lagi melawan pendeta di kuil Shimogamo, engkau menyangka bahwa dirimu sudah hebat?”

“Tidak. Saya tidak bermaksud menyombong. Saya memang tak berniat untuk berkelahi”

“Baik. Kalau begitu engkau harus ikut kami ke markas..”

“Itu juga tak saya inginkan…”

“Heh, berkelahi tak mau. Ikut kami juga tak mau. Lalu apa maumu?”

“Saya tak ingin apa-apa. Lupakan saja peristiwa yang lalu…”

“Itu bukan menginginkan apa-apa buyung. Meminta kami melupakan perbuatanmu di masa lalu sudah merupakan suatu keinginan yang laknat. Lebih baik kau cabut samuraimu, dan lawan kami…”



Zato Ichi terdengar bersiul kecil. Siulnya menyanyikan lagu Musim Dingin. Suara siulnya lembut dan bergetar. Si Bungsu tersenyum. Tersenyum mendengar tantangan itu dan tersenyum mendengar siul Zato Ichi. Dan senyumannya membuat hati pimpinan Kumagaigumi ini jadi berang. Dia memberi isyarat pada tiga anak buahnya. Ketiga orang itu segera maju dengan menghunus samurai mereka. Mereka mengatur posisi.

Siul Zato Ichi makin jelas terdengar dalam suitan angin musim dingin di luar Kyoto itu. Dan tiba-tiba salah seorang menggebrak maju membabat perut si Bungsu. yang dua lagi dengan cepat menghantam kepala dan kakinya.



Serangan itu demikian cepatnya. Namun si Bungsu tak mencabut samurainya. Dia mengelakkan ketiga serangan itu dengan memiringkan tubuh, membungkuk dan mengangkat kaki kanan yang dibabat samurai!

Lalu melangkah ke depan dua langkah. Ketiga serangan itu lewat tanpa mengenai sasaran. Siul Zato Ichi masih terdengar. Mendayu dan kadang-kadang terhenti pada puncak nada yang tinggi. Tiga serangan lagi menggebu ke arahnya.

Si Bungsu mempergunakan sarung samurainya untuk menangkis serangan itu. Dia sengaja tak mencabut samurai dari sarungnya. Dan sarung samurai yang terbuat dari kayu keras itu dia pergunakan sedemikian rupa hingga ketika membentur samurai lawan jadi mencong arah serangannya.

Dua kali serangan seorang. Berarti si Bungsu sudah menggagalkan enam jurus serangan ketiga lawannya tanpa menjatuhkan korban. Ketiga orang itu saling pandang. Demikian juga tiga temannya yang belum turun tangan ikut kaget melihat kehebatan anak muda ini.

Kemudian seperti dikomandokan, mungkin karena ingin cepat menyelesaikan perhitungan ini, keenam mereka tiba-tiba maju serentak.

Enam samurai dari penjahat-penjahat Kumagaigumi yang terkenal, menggebu-gebu ke tubuh si Bungsu. keenam mata samurai itu menyeranga enam tempat yang berbahaya ditubuhnya.

Sebenarnya, bagi mata samurai, bahagian manapun di tubuh manusia tetap saja merupakan bahagian yang berbahaya. Karena meskipun mengenai tempat yang tak mematikan, mengenai kaki atau tangan misalnya, tapi serangan itu bisa membuat orang lumpuh seketika. Bayangkan saja kalau tangan atau kaki putus.

Maka kini, nasib itulah yang sedang di hadapi si Bungsu. namun kali ini dia tak mau anggap enteng. Bermain samurai baginya kahir-akhir ini memang bukan merupakan suatu “kerja” yang mendatangan rasa susah.

Gerak tangannya mempergunakan samurai itu hampir-hampir merupakan gerak yang tak diperhitungkan. Merupakan sesuatu kewajaran yang mutlak dan sangat berperhitungan.

Begitu gebrakan keenam samurai itu menderu mengurung dirinya, tangan kanannya bergerak pula. Samurai tercabut tak sampai sekerdipan mata. Dan saat berikutnya, suara beradunya baja terdengar mengoyak suitan angin dingin. Beberapa bunga api memercik dari pertemuan samurai itu.

Kemudian terdengar seruan-seruan tertahan dan rasa kaget. Keenam anggota Kumagaigumi itu tersurut setindak begitu samurai mereka dihantam samurai anak muda itu.

Tangan mereka terasa sakit dan tergetar hebat takkala samurai mereka beradu tadi. Hampir saja samurai di tangan mereka berpentalan ke  udara kalau mereka tak cepat-cepat mundur.

 Dan kini si Bungsu tegak dengan diam dan dengan samurai tersisip kembali dalam sarangnya!



“Sudahlah, kita akhiri saja pertikaian ini….” Dia ingin berkata demikian.



Namun ucapannya belum sempat keluar takkala keenam lelaki itu dengan didahului sebuah pekik Banzai menggebrak lagi maju!

Enam samurai kembali bersuitan dengan kecepatan luar biasa. Namun saat berikutnya hanya pekik kaget dan sakit yang terdengar. Keenam samurai di tangan anggota Kumagaigumi itu mental ke udara. Tercampak jauh dan menimbulkan bunyi yang berisik ketika menimpa lantai batu di halaman belakang kuil tua itu.

Dan keenam lelaki itu merasakan betapa tangan atau rusuk mereka jadi pedih dan mengalirkan darah! Siul Zato Ichi terhenti seketika. Kepalanya tertegak.

Si Bungsu masih tetap tegak. Dan kali ini perlahan dia menyarungkan kembali samurainya. Dan keenam lelaki itu, termasuk Zato Ichi, segera sadar sepenuhnya, bahwa anak muda ini benar-benar telah bermurah hati mengampuni nyawa mereka. Kalau saja dia mau, maka dengan mudah dia bisa menghabisi mereka semua.

Tapi buktinya tak seorangpun di antara mereka berenam yang luka parah. Luka di tangan dan rusuk mereka saat ini hanyalah semacam “pemberitahuan”.



“Saya tak suka kekerasan. Saya berharap pertikaian kita selesai disini. Dan saya maafkan kalian. Namun saya peringatkan, setelah kejadian ini jika masih ada anggota Kumagaigumi yang menghadang jalan yang saya tempuh, maka saya akan membunuhnya disaat pertama?”



Suara anak muda ini terdengar amat dingin. Mengatasi udara dingin di musim dingin saat itu. Dan tak seorangpun di antara mereka yang hadir disana, termasuk Zato Ichi yang menganggap bahwa anak muda ini hanya tukang bual dengan ucapannya barusan.

Semua mereka yakin, bahwa anak muda itu akan mampu membuktikan ucapannya itu. Bukan hanya sekefar gertak sambal!


Pendekar DariKaki Gunung Sago ; Bagian 092

No comments:

Post a Comment