Pendekar
samurai itu menunjukkan pada si Bungsu akar dan kulit kulit kayu yang dipakai
untuk meramu. Tentang akar dan kulit kayu itu si Bungsu tak heran. Dia sudah
mengetahui cukup banyak. Dari melihat batang dan jenis daunnya saja seorang
peramu obat yang ahli akan segara dapat mengetahui mana pohon yang bisa jadi
obat.
“semua akar,
daun dan kulit kayu ini direbus dengan batu Giok ini….” Kata Zato Ichi sambil
memperlihatkan tiga macam batu-batuan.
Si Bungsu jadi
heran melihat batu tersebut. Batu Giok adalah semacam batu mar-mar yang indah
dari daratan Tiongkok. Dia sebenarnya hanya mirip mar-mar. tapi batu ini banyak
dibuat perhiasan oleh orang. Ketiga batu Giok itu berwarna lumut, merah darah
dan kuning.
“Ketiga macam
batu ini akan mengeluarkan getah bila direbus bersamaan dengan akar dan kulit
kayu tadi….” Zato Ichi menjelaskan.
Tapi kedua
mereka tiba-tiba sama terdiam. Si Bungsu melihat betapa Zato Ichi mendongakkan
kepala. Nampaknya dia tengah mendengarkan sesuatu.
“Ada orang
datang…..” kata lelaki Jepang itu perlahan.
“Ya. Dan mereka
mengitari rumah ini” jawab si Bungsu perlahan.
Kedua lelaki
ini adalah lelaki-lelaki yang memiliki indera yang amat tajam.
Mereka dapat
mendengarkan langkah beberapa orang di luar sana. Padahal saat itu angin musim
dingin tengah bersuit kencang. Namun diantara suitan angin itu, masih saja telinga
mereka dapat membedakan bunyi langkah kaki manusia.
“Berapa orang
mereka?” tanya Zato Ichi.
“Lebih dari
lima orang….” Kata si Bungsu.
Zato Ichi
tersenyum. Lagi-lagi dia mengagumi anak muda ini.
“Inderamu
sangat hebat Bungsu-san….” Katanya. Si Bungsu hanya diam.
“Mari kita ke
luar, kita sambut kedatangan mereka….” Kata Zato Ichi sambil tertatih-tatih
melangkah ke luar rumah.
Dengan memegang
samurainya di tangan kiri. Si Bungsu mengikuti langkah Zato Ichi. Dan tiba-tiba
mereka berdiri di halaman belakang kuil tua itu. Angin dingin yang bertiup pagi
itu menampar-nampar wajah mereka. Dan begitu mereka berdiri di luar, enam
lelaki dalam pakaian kimono hitam tegak membuat setengah lingkaran.
“Zato Ichi…!”
terdengar bisik-bisik di antara mereka takkala melihat pada lelaki buta itu.
Bisik bisik itu
berbaur dengan rasa terkejut.
“Hmmm, sudah
lama kuil ini sepi. Apakah tuan-tuan datang untuk bersembahyang…?” terdengar
suara Zato Ichi bergema mengatasi suitan angin kencang.
Keenam lelaki
yang baru datang itu saling pandang. Salah seorang diantaranya, yang berkumis
tebal, yaitu yang tertua diantara mereka, maju dua tindak.
Suara terompa
kayunya terdengar berdetak di atas semen di halaman belakang kuil itu.
“Kami dari
organisasi Kumagaigumi. Kami datang….”
“Hmm,
Kumagaigumi, kelompok biruang gunung yang sejak dahulu hanya mengacau….’
Suara Zato Ichi
memutus ucapan lelaki itu.
“Itu urusan
kami. Kami tak pernah mencampuri urusan Zato Ichi. Harap jangan ikut campur
urusan kami…” lelaki itu membentak.
Terdengar suara
tawa Zato Ichi perlahan.
“Bagaimana aku
takkan ikut campur, kalau urusan kalian itu justru merampok dan memperkosa
wanita-wanita Jepang? Apa tak lebih baik kalian memperkosa ibu kalian sendiri?”
Muka lelaki
yang baru datang itu jadi merah padam.
“Zamanmu sudah
lewat Zato Ichi. Lebih baik hari-hari tuamu ini kau lewatkan dengan berdoa
dalam kuil. Menghindarlah dari sana. Kami ada urusan dengan anak muda jahanam
itu…”
Zato Ichi
terdiam. Mukanya terangkat. Matanya yang buta seperti menatap langit yang
gelap. Kemudian menunduk. Dan terdengar suaranya perlahan:
“Ya, saya
harusnya berdoa…selesaikanlah urusan kalian…”
Dan sehabis
berkata begitu, perlahan mengetuk-ngetuk lantai semen, mencari jalan ke arah
kanan rumah. Tak jauh dari sana, ada sebuah bangku-bangku dari semen. Dan
dengan tenang Zato Ichi duduk di bangku tersebut. Kini di depan rumah itu tegak
si Bungsu sendiri menghadapi keenam lelaki anggota Kumagaigumi itu.
“Nah, anak
muda. Kami datang untuk membawamu pergi. Engkau harus mempertanggungjawabkan
perbuatanmu. Membunuh anggota kami di kota Gamagori dan di hotel tiga hari yang
lalu..”
“Yang, di hotel
itu, saya ikut membunuhnya tiga orang…” suara Zato Ichi memutus.
Pimpinan
Kumagaigumi itu menoleh. Tapi jelas dia tak ingin pahlawan Samurai itu ikut
campur. Kalau dia campur tangan, jelas keadaan akan gawat. Karena itu dia lalu
berkata:
“Urusan dengan
engkau akan kami bereskan kemudian. Kami berurusan dengan orang asing ini…”
Zato Ichi
tertawa berguman. Jelas bahwa dia mengetahui akal licik anggota Kumagaigumi
ini. Namun demikian, dia tetap duduk dengan tenang.
“Nah, kau
ikutlah kami…” suara lelaki berkumis tebal itu berdengung.
Si Bungsu hanya
tersenyum tipis.
“Bukan salah
saya kalau teman-temanmu yang di hotel itu mati. Telah saya katakan saya tak
mau persoalan diperlarut-larut. Buat apa kita saling bunuh? Saya sudah bosan
dengan pekerjaan membunuhi orang….”
Ucapan si
Bungsu ini sbenarnya keluar dari hati yang ikhlas. Dia memang tak lagi berniat
jadi tukang jaga. Dan itu sudah dia buktikan di hotel ketika anggota
Kumagaigumi itu datang tiga hari yang lalu. Dia tak mau melawan mereka. Dan hal
itu hampir saja menyebabkan nyawanya melayang. Keempat lelaki yang memasuki
kamar hotelnya itu benar-benar tak berperikemanusiaan. Untunglah di saat yang
sangat gawat Zato Ichi datang membantu.
Dan kali
inipun, seperti halnya keempat anggota Kumagaigumi di hotel tiga yang lalu,
keenam lelaki ini salah duga akan ucapan si Bungsu.
Kalau yang
datang ke hotelnya dulu menganggap bahwa anak muda ini takut, maka keenam
lelaki ini justru menganggap dengan ucapannya itu si Bungsu tengah menggertak
mereka.
Dengan ucapan
“Saya sudah bosan jadi tukang bunuh”, mereka menganggap bahwa anak muda ini
seakan-akan berkata : “ dengan mudah saya bisa membunuh kalian. Tapi saya sudah
bosan…”
Nah, salah duga
biasanya mendatangkan malapetaka. Dan itulah yang akan terjadi di kuil ini.
“Jangan
menyombong buyung. Apakah kau sangka dengan kemenanganmu melawan anggota Jakuza
di Tokyo, kemudian menang lagi melawan anggota kami di Gamagori, lalu terakhir
menang lagi melawan pendeta di kuil Shimogamo, engkau menyangka bahwa dirimu
sudah hebat?”
“Tidak. Saya
tidak bermaksud menyombong. Saya memang tak berniat untuk berkelahi”
“Baik. Kalau
begitu engkau harus ikut kami ke markas..”
“Itu juga tak
saya inginkan…”
“Heh, berkelahi
tak mau. Ikut kami juga tak mau. Lalu apa maumu?”
“Saya tak ingin
apa-apa. Lupakan saja peristiwa yang lalu…”
“Itu bukan
menginginkan apa-apa buyung. Meminta kami melupakan perbuatanmu di masa lalu
sudah merupakan suatu keinginan yang laknat. Lebih baik kau cabut samuraimu,
dan lawan kami…”
Zato Ichi
terdengar bersiul kecil. Siulnya menyanyikan lagu Musim Dingin. Suara siulnya
lembut dan bergetar. Si Bungsu tersenyum. Tersenyum mendengar tantangan itu dan
tersenyum mendengar siul Zato Ichi. Dan senyumannya membuat hati pimpinan
Kumagaigumi ini jadi berang. Dia memberi isyarat pada tiga anak buahnya. Ketiga
orang itu segera maju dengan menghunus samurai mereka. Mereka mengatur posisi.
Siul Zato Ichi
makin jelas terdengar dalam suitan angin musim dingin di luar Kyoto itu. Dan
tiba-tiba salah seorang menggebrak maju membabat perut si Bungsu. yang dua lagi
dengan cepat menghantam kepala dan kakinya.
Serangan itu
demikian cepatnya. Namun si Bungsu tak mencabut samurainya. Dia mengelakkan
ketiga serangan itu dengan memiringkan tubuh, membungkuk dan mengangkat kaki
kanan yang dibabat samurai!
Lalu melangkah
ke depan dua langkah. Ketiga serangan itu lewat tanpa mengenai sasaran. Siul
Zato Ichi masih terdengar. Mendayu dan kadang-kadang terhenti pada puncak nada
yang tinggi. Tiga serangan lagi menggebu ke arahnya.
Si Bungsu
mempergunakan sarung samurainya untuk menangkis serangan itu. Dia sengaja tak
mencabut samurai dari sarungnya. Dan sarung samurai yang terbuat dari kayu
keras itu dia pergunakan sedemikian rupa hingga ketika membentur samurai lawan
jadi mencong arah serangannya.
Dua kali
serangan seorang. Berarti si Bungsu sudah menggagalkan enam jurus serangan
ketiga lawannya tanpa menjatuhkan korban. Ketiga orang itu saling pandang.
Demikian juga tiga temannya yang belum turun tangan ikut kaget melihat
kehebatan anak muda ini.
Kemudian
seperti dikomandokan, mungkin karena ingin cepat menyelesaikan perhitungan ini,
keenam mereka tiba-tiba maju serentak.
Enam samurai
dari penjahat-penjahat Kumagaigumi yang terkenal, menggebu-gebu ke tubuh si
Bungsu. keenam mata samurai itu menyeranga enam tempat yang berbahaya
ditubuhnya.
Sebenarnya,
bagi mata samurai, bahagian manapun di tubuh manusia tetap saja merupakan
bahagian yang berbahaya. Karena meskipun mengenai tempat yang tak mematikan,
mengenai kaki atau tangan misalnya, tapi serangan itu bisa membuat orang lumpuh
seketika. Bayangkan saja kalau tangan atau kaki putus.
Maka kini,
nasib itulah yang sedang di hadapi si Bungsu. namun kali ini dia tak mau anggap
enteng. Bermain samurai baginya kahir-akhir ini memang bukan merupakan suatu
“kerja” yang mendatangan rasa susah.
Gerak tangannya
mempergunakan samurai itu hampir-hampir merupakan gerak yang tak diperhitungkan.
Merupakan sesuatu kewajaran yang mutlak dan sangat berperhitungan.
Begitu gebrakan
keenam samurai itu menderu mengurung dirinya, tangan kanannya bergerak pula.
Samurai tercabut tak sampai sekerdipan mata. Dan saat berikutnya, suara
beradunya baja terdengar mengoyak suitan angin dingin. Beberapa bunga api
memercik dari pertemuan samurai itu.
Kemudian
terdengar seruan-seruan tertahan dan rasa kaget. Keenam anggota Kumagaigumi itu
tersurut setindak begitu samurai mereka dihantam samurai anak muda itu.
Tangan mereka
terasa sakit dan tergetar hebat takkala samurai mereka beradu tadi. Hampir saja
samurai di tangan mereka berpentalan ke
udara kalau mereka tak cepat-cepat mundur.
Dan kini si Bungsu tegak dengan diam dan
dengan samurai tersisip kembali dalam sarangnya!
“Sudahlah, kita
akhiri saja pertikaian ini….” Dia ingin berkata demikian.
Namun ucapannya
belum sempat keluar takkala keenam lelaki itu dengan didahului sebuah pekik
Banzai menggebrak lagi maju!
Enam samurai
kembali bersuitan dengan kecepatan luar biasa. Namun saat berikutnya hanya
pekik kaget dan sakit yang terdengar. Keenam samurai di tangan anggota
Kumagaigumi itu mental ke udara. Tercampak jauh dan menimbulkan bunyi yang
berisik ketika menimpa lantai batu di halaman belakang kuil tua itu.
Dan keenam
lelaki itu merasakan betapa tangan atau rusuk mereka jadi pedih dan mengalirkan
darah! Siul Zato Ichi terhenti seketika. Kepalanya tertegak.
Si Bungsu masih
tetap tegak. Dan kali ini perlahan dia menyarungkan kembali samurainya. Dan
keenam lelaki itu, termasuk Zato Ichi, segera sadar sepenuhnya, bahwa anak muda
ini benar-benar telah bermurah hati mengampuni nyawa mereka. Kalau saja dia
mau, maka dengan mudah dia bisa menghabisi mereka semua.
Tapi buktinya
tak seorangpun di antara mereka berenam yang luka parah. Luka di tangan dan
rusuk mereka saat ini hanyalah semacam “pemberitahuan”.
“Saya tak suka
kekerasan. Saya berharap pertikaian kita selesai disini. Dan saya maafkan
kalian. Namun saya peringatkan, setelah kejadian ini jika masih ada anggota
Kumagaigumi yang menghadang jalan yang saya tempuh, maka saya akan membunuhnya
disaat pertama?”
Suara anak muda
ini terdengar amat dingin. Mengatasi udara dingin di musim dingin saat itu. Dan
tak seorangpun di antara mereka yang hadir disana, termasuk Zato Ichi yang
menganggap bahwa anak muda ini hanya tukang bual dengan ucapannya barusan.
Semua mereka
yakin, bahwa anak muda itu akan mampu membuktikan ucapannya itu. Bukan hanya
sekefar gertak sambal!
Pendekar DariKaki Gunung Sago ; Bagian 092
No comments:
Post a Comment