Dengan
didahului oleh pimpinannya yang bertubuh kekar berkumis lebat, keenam anggota
Beruang Gunung itu segera angkat kaki tanpa memungut samurai mereka yang
bertebaran di halaman kuil itu.
“Ck…ck…ck!
Benar-benar ilmu samurai yang luar biasa…”
Si Bungsu menoleh
dan melihat Zato Ichi masih duduk di kursi batu enam depa dari tempatnya tegak.
Zato Ichio
bukan hanya sekedar memuji. Dia sengaja tak ikut membantu anak muda itu karena
ingin “melihat” bagaimana caranya orang asing ini mempergunakan samurai.
Dia “melihat”
dengan indera pendengarannya yang tajam luar biasa itu. Ya, meski matanya buta,
Zato Ichi bisa “melihat” dengan jelas melalui indera pendengaran, penciuman dan
tangannya.
Dari bau yang
tercium oleh hidungnya dia segera mengetahui ada manusia, hewan atau benda lain
yang tak bergerak disekitarnya. Kegelapan merupakan kawan utamanya sepanjang
hidup. Bayangkan hidup tanpa mata. Itulah yang selalu dilawan oleh Zato Ichi.
Dan perkelahian
si Bungsu dengan keenam anggota Kumagaigumi itu dengan jelas bisa dia
“saksikan”. Dia tahu dengan pasti, betapa samurai anak muda itu menghantam
samurai-samurai anggota Kumagaigumi itu.
Dia tahu pula
dengan pasti, bahwa anak muda itu menghantam samurai keenam lelaki itu dengan
punggung samurainya. Pukulan dengan punggung samurai itu sangat keras. Dan
itulah sebabnya keenamnya terpental. Kekuatan yang dikombinasikan dengan
perhitungan dan tekhnik yang hampir-hampir sempurna.
“Nampaknya
engkau memiliki banyak musuh anak muda. Setiap orang di negeri ini menghendaki
nayawamu…” suara Zato Ichi kembali bergema.
Si Bungsu
menarik nafas panjang. Seperti sebuah keluhan yang dalam. Ya, setiap orang
seperti menghendaki nyawanya. Termasuk Michiko!!
“Apakah mereka
akan datang lagi?” si Bungsu bertanya perlahan.
“Barangkali.
Tapi meskipun mereka tak datang kemari, mereka akan tetap menghadang jalanmu..”
“Bila itu
terjadi, maka aku akan membuktikan kata-kataku tadi..”
“Ya. Engkau
harus. Sebab mereka memang menghendaki nyawamu. Barangkali engkau ingin tetap
mengalah. Tapi sampai bila engkau mampu bertahan? Suatu saat, engkau akan
sampai pada titik, dimana engkau harus memilih antara membunuh atau dibunuh”
Si Bungsu
termenung.
“Apa yang kau
alami hari ini dan hari-hari mendatang, persis seperti yang kualami di zaman
yang lalu Bungsu-san. Engkau memiliki sesuatu yang tak dimiliki orang lain.
Engkau
mempunyai kelebihan, dan orang jadi iri. Orang berusaha menjatuhkanmu. Engkau
seorang yang tangguh, dan orang jadi ingin menguji sampai dimana ketangguhanmu.
Menjatuhkan
dirimu merupakan kebanggan bagi orang yang iri atau musuhmu. Sebab dengan
bangga mereka bisa berkata: aku telah menjatuhkan dan menghancurkan jagoan itu.
Maka jalan yang akan kau tempuh, akan selalu berkuah darah”
Si Bungsu
termenung.
“Negeri ini
memang jauh berbeda kini Bungsu-san. Kini banyak mobil. Banyak listrik dan
modernisasi. Tapi satu hal yang tak berobah. Yaitu kekerasan watak penduduknya.
Di zaman saya dahulu, saya harus menjaga leher saya untuk tidak ditebas orang.
Padahal yang saya perbuat tak lebih dari sekedar membela orang yang teraniaya.
Menolong orang yang tertindas dari kesewenang-wenangan penguasa dan orang kaya.
Saya memang tak mengharapkan balasan. Tapi musuh saya jadi terlalu banyak.
Orang-orang miskinpun ikut memburu dan menghendaki nyawa saya…’
Si Bungsu jadi
kaget.
“Ya. Merekapun
ikut memburu saya. Karena penguasa dan orang kaya yang pernah saya gagalkan
niat jahatnya, membayar mereka untuk itu. Maka uang segera saja mengalahkan
hati nurani manusia. Namun mustahil saya bisa mengalah terus menerus. Ada
kalanya saya terpaksa menurunkan tangan kejam. Beberapa orang, atau tepatnya
sekian ratus orang, ya Tuhan saya tak ingat lagi berapa jumlah yang pasti,
telah saya bunuh. Ya, itulah yang terpaksa saya lakukan. Sampai akhirnya saya
memutuskan untuk membuang samurai saya.
Tapi itu
berarti bunuh diri. Saya menghindar ke hutan. Dapat kau bayangkan Bungsu-san?
Kita harus menghindarkan diri ke rimba hanya untuk tidak membunuh manusia.
Peradaban
ternyata lebih tinggi di rimba raya daripada di kota yang dihuni manusia. Di
sana, dibelantara itu saya menemukan kedamaian. Tak ada dengki dan khianat. Tak
ada penindasan. Dan sejak itulah saya dianggap lenyap dari bumi Jepang…”
Keadaan jadi
sunyi. Hanya suitan angin dingin yang terdengar. Si Bungsu terdiam, karena dalam
ucapannya tadi dia menangkap nada yang luka dihati Zato Ichi.
Dia tak
menyangka, bahwa seorang pahlawan rakyat Jepang, yang namanya menjadi legenda
yang amat dicintai orang, ternyata memendam duka hidup yang alangkah pedihnya.
“Lalu, kenapa
kini Ichi-san mencul ke kota?”
“Ada suatu
tugas yang harus saya lakukan…”
“Kenapa hari
itu justru muncul di kamar saya dan persis ketika nyawa saya terancam?” Zato
Ichi tak menyahut. Dia menunduk.
“Saya sangat
bersyukur dan berhutang budi pada Ichi-san. Kalau Ichi-san tak datang saat itu,
saya pasti sudah mati…”
Zato Ichi
menarik nafas panjang dan berat.
“Kehadiran saya
itu, termasuk bahagian dari tugas saya…” suaranya terdengar perlahan.
“Tentulah tugas
besar. Dan saya akan sangat gembira kalau bisa membantu Ichi-san…”
“Tak seorangpun
yang dapat membantu saya Bungsu-san…”
“Tugas apa itu
yang tak mungkin dibantu?”
“Saya sendiri
tak yakin, apakah saya bisa melaksanakannya…” suara Zato Ichi terdengar getir.
“Kalau boleh
saya tahu, apakah tugas itu?”
“Membunuh
seseorang..”
“Membunuh
seseorang?”
“Ya…”
Si Bungsu
menatap tak mengerti pada Zato Ichi. Padahal baru sebentar ini pahlawan itu
berkata, bahwa dia terpaksa harus lari menyembunyikan diri ke rimba untuk
menghindar dari orang-orang bayaran yang diupah untuk membunuhnya.
Tapi justru
hanya beberapa detik setelah itu Zato Ichi sendiri mengakui bahwa dia “disuruh”
seseorang untuk membunuh seseorang. Atau tugasnya, disuruh untuk membunuh orang
lain. Sesuatu yang menurut ceritanya sangat dia benci.
Dan Zato Ichi
nampaknya mengerti apa yang tengah dipikirkan si Bungsu.
“Saya tidak
dibayar Bungsu-san. Tak ada yang bisa membayar samurai saya. Samurai saya tak
pernah berlumur darah orang-orang yang tak berdosa…”
“Tapi, kenapa
kali ini Ichi-san mau disuruh membunuh? Siapa yang menyuruh, dan siapa yang
harus Ichi-san bunuh…”
“Saya diminta
membunuh seseorang. Dan saya tak mungkin menolak. Sebab jika saya menolak, maka
saya akan dianggap tidak membalas budi. Saya tak mau dianggap tak berbudi.
Karena saya menjunjung budi pekerti ….”
“Saya tak
mengerti apa yang Ichi-san maksudkan..’
“Ya, saya
sendiri juga sulit memikirkannya Bungsu-san….hampir dua puluh tahun yang lalu,
saya dalam perjalanan melarikan diri dari kejaran penjahat-penjahat di daerah
Tanjung Noto.
Saya menyangka
nyawa saya takkan tertolong lagi. Saya dalam keadaan sekarat karena luka yang
saya perdapat dari tembakan bedil dua orang penjahat. Waktu itulah seseorang
menyelamatkan saya…. Dapat Bungsu-san mengerti betapa saya berhutang budi
padanya?”
Si Bungsu
mengangguk. Betapa tidak, cerita itu mirip dirinya, dia telah diselamatkan
dalam keadaan luka parah, diambang maut, oleh Zato Ichi.
Kalau kelak
Zato Ichi meminta dia melakukan sesuatu, maka dia pasti tak pula bisa menolak.
“Ya, saya dapat
mengerti sekarang…” kata si Bungsu.
Zato Ichi tetap diam. Masih tetap duduk di bangku
batunya. Sementara si Bungsu juga duduk di kursi batua dua depa dihadapannya.
“Dia yang
menugaskan Ichi-san membunuh seseorang itu?”
“Tidak. Dia
sudah mati. Yang menugaskan saya adalah adiknya….adiknya mencari saya dan
menceritakan kematian abangnya. Dan meminta saya mencari pembunuh abangnya itu
untuk membalaskan dendam. Yaitu membunuh pembunuh abangnya yang telah membantu
saya dahulu…”
“Ya. Saya
mengerti sekarang. Ichi-san harus melakukannya. Dan kenapa pula saya tak bisa
membantu Ichi-san? Bukankah kita bisa pergi bersama mencari orang itu, dan
bersama pula membunuhnya?”
Zato Ichi
manarik nafas panjang. Dan si Bungsu dapat melihat, betapa dalam diri pahlawan
Jepang itu berperang rasa yang sulit untuk diduga. Si Bungsu mengerti. Dalam
hidupnya, seperti yang dikatakannya tadi. Zato Ichi tak pernah melumuri
samurainya dengan nyawa orang yang tak bersalah. Kalau Zato Ichi tentu merasa
berat untuk melakukan pembunuhan itu. Dan si Bungsu merasa kinilah saatnya dia
membantu Zato Ichi. Yang penting bagi Zato Ichi tentulah orang yang dia cari
itu mati. Tak perduli melalui tangan siapapun. Kalau Zato Ichi keberatan
bukankah dia dapat menggantikan tugas ini?
Dia akan
kembali ke Indonesia tak lama lagi. Apa salahnya sebelum pergi, sebagai tanda
terimaksih, dia menolong Zato Ichi membunuh lawannya?
“Saya dapat
membantumu Ichi-san. Tunjukkan siapa orangnya, dan Ichi-san tak perlu melumuri
tangan Ichi-san dengan dosa, biar saya yang melakukannya…”
Si Bungsu terhenti
takkala dia melihat airmata Zato Ichi mengalir dipipi.
“Tak apa-apa
Ichi-san. Saya dengan rela menggantikan tugas Ichi-san. Saya dapat mengerti
perasaan Ichi-san. Ini adalah negeri Ichi-san. Ichi-san sudah lama meninggalkan
dunia bunuh membunuh ini. Dan Ichi-san akan tetap disini. Sementara saya,
setelah tugas itu selesai, akan kembali ke negri saya. Dan orang akan melupakan
peristiwa itu…”
Zato Ichi tak
menyahut. Dia tetap tenang dan duduk memegang samurainya.
“Kalau Ichi-san
tak keberatan, tunjukkan saja pada saya siapa orang yang harus dibunuh itu…”
“Dia orang
asing…”
Si Bungsu
tertegun. Orang asing! Pastilah tentara Amerika. Ya, siapa lagi yang mebuat
kekacauan di negeri ini selama lima-enam tahun ini kalau tidak tentara
pendudukan.
Tentara Amerika
itu pastilah telah membunuh orang yang pernah menolong Zato Ichi. Dan kini Zato
Ichi harus membunuhnya. Patutlah Zato Ichi merasa tak enak hati untuk melakukan
tugas itu.
“Tentara
Amerika?” tanya si Bungsu.
Zato Ichi
menggelang.
“Siapa?”
“Engkau
Bungsu-san…!”
Suara Zato Ichi
terdengar getir tapi pasti! Si Bungsu tertegun. Dia hampir tak percaya pada
pendengarannya. Zato Ichi menarik nafas panjang. Dan suaranya terdengar
perlahan:
“Ya, engkaulah
orangnya yang harus saya cari dan harus saya bunuh Bungsu-san…”
Si Bungsu masih
tetap tak berbicara. Tak kuasa bicara. Kalau benar dia yang harus dibunuh
lelaki ini, kenapa dia menolongnya dari ancaman maut di hotel dulu? Kenapa dia
juga mengobati lukanya?
Ada hal-hal
yang tak masuk akal!
“Saya tak
berdusta Bungsu-san. Lelaki yang menolong saya dua puluh tahun yang lalu itu
adalah Saburo Matsuyama…”
Kalau ada petir
yang menyambar, mungkin si Bungsu takkan seterkejut ini.
“Ya. Dialah
yang menolong nyawa saya Bungsu-san. Waktu itu dia belum memasuki dinas
ketentaraan. Setahun setelah peristiwa itu dia baru jadi tentara kekaisaran
Tenno Heika.
Dan beberapa
hari yang lalu, saya dengar dia meninggal di kuilnya Shimaogamo. Saya ada di sana
ketika upacara penguburan itu. Dan saya mendengarkan apa yang terjadi antara
puterinya Michiko-san dengan Bungsu-san. Saya mengetahui semuanya. Itulah
kenapa saya datang ke hotel Bungsu-san…”
“Kalau
begitu….yang menyuruh Ichi-san membunuh saya pastilah…pastilah puterinya,
Michiko!”
Zato Ichi
menggeleng beberapa kali.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 93
cerita sangat dahsyat
ReplyDeleteceritanya dahsyat banget,,
ReplyDeletepenuh hikmah
ReplyDeleteBagian 95 dan selanjutnya tak ada..? Kok ndak di upload juga..? Upload dong..
ReplyDeleteEpisode 95 dan seterusnya hingga akhir jilid "PENDEKAR DARI GUNUNG SAGO" mohon di tampilkan. Saya terlanjur jatuh hati dengan ceritanya.
ReplyDeleteTerimakasih, sudah berbagi cerita ini,, mengulang memori di masa smpdulu baca ini, ijinkan saya, kopi dan share
ReplyDeleteUntuk cerita lengkap
ReplyDeleteTIKAM SAMURAI
Silahkan kunjungi
irvooktaviandi.blogspot.com
This comment has been removed by the author.
DeleteMantap
ReplyDeletesukmasaid@gmail.com
ReplyDeleteAsyik syng bgn 95 nggakk ada tolongm
as dilanjutkan ceritanya