Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 065

Bilal membalik dan baru saja akan balas bicara ketika tiba-tiba ibu anak tersebut memekik dan menghambur ke arah anaknya.



“Biarkan dia, jangan dekati…..!” Bilal coba mengingatkan perempuan itu. Namun perempuan itu mana mau anaknya terancam bahaya. Sambil memekik dia terus memburu kopral itu.

“Jangan dekati ke sanaaa!!” Bilal berteriak lagi sementara tangannya tetap mengunci leher leutenant itu.



Tapi perempuan itu tak peduli. Dia memegang tangan anaknya. Dan kini dia saling tarik dengan kopral KNIL itu.



“Lepaskan anakku! Lepaskan anakkuuu!!” pekiknya sambil menolong-nolong.

“Anjing pigi kowe! Pigi kowe sana!!” kopral itu membentak.



Dan suatu saat, kakinya terangkat. Sepatu larasnya yang berpaku menerjang perempuan tersebut. Perempuan itu tercampak. Dadanya kena hantam. Dia muntah darah. Dan tergolek diam di tanah!

Keadaan kembali tegang. Empat serdadu Belanda yang lain tetap saja tak bisa berbuat apa-apa. Sebab mereka melihat betapa ujung pisau Bilal tetap saja menancap di dada komandan mereka.



“Ayola lepaskan Leutenant!!” kopral KNIL itu membentak lagi.



Namun Bilal segera dapat menguasai kekagetannya.



“Kau perintahkan semuanya melemparkan bedil letnant!” Dia mendesis dipangkal telinga leutenant itu.



Dan ketika letnan itu masih berdiam diri, dia menekankan lagi ujung pisaunya.



“Perintahkan mereka melemparkan senjatanya!!”.



Namun tiba-tiba saja tanpa disengaja sedikitpun, mungkin karena gugup, senjata ditangan kopral yang mengancam gadis kecil itu meledak. Dan bencana tak dapat dihindarkan. Kepala gadis itu rengkah dan dia mati tanpa memekik sedikitpun. Semua jadi kaget. Semua seperti dipakukan ke tanah. Bilal lah yang pertama mengadakan reaksi.



“Anjiiing! Kubunuh kalian!! Kubunuuuuuuh!” dan dia memang membuktikan ucapannya.



Dia memang tak main-main. Dia memang sia dengan segala kemungkinan. Dia memang kental hatinya. Kental darah pejuangnya. Dia menekankan pisaunya hingga membenam seluruh ke dada leutenant itu. Seluruhnya terbenam. Leutenant itu memekik dan meronta-ronta mengelak dari renggutan maut. Namun pisau beracun itu sebenarnya sudah sejak tadi beraksi di tubuhnya. Pisau itu begitu ditekankan begitu menghujam ke jantungnya. Dan dengan mata mendelik, dia tercampak di tanah. Kembali semua orang jadi tertegun. Kaget dan ngeri. Tentara-tentara Belanda yang lima orang itu juga ternganga. Tertegak kaget. Tertegak ngeri.



Namun hanya sebentar. Dan setelah itu mautpun menyeringai serta merenggut nyawa di sekitar pasar itu. Yang pertama beraksi adalah sergeant. Bedil di tangannya menyalak. Yang dia tuju adalah Bilal. Tapi pesilat itu sudah lebih dahulu arif. Dia cepat bergulingan di tanah. Dia terhindar dari terkaman maut. Tapi orang yang berada di belakangnya, yaitu seorang lelaki petani justru jadi korban. Lelaki itu terpekik dan terpental lalu roboh dan mati.

Dan setelah itu tak lagi diketahui siapa-siapa yang terkena tembak. Sebab letusan telah membahana. Si Bungsu hanya bisa bergerak menurut firasatnya saja. Tubuhnya bergulingan, dan begitu tegak, samurainya bekerja. Kopral yang menembak mati gadis kecil itu jadi korban pertama mata samurainya. Tangan kopral yang memegang bedil itu putus hingga lengan dekat bahu.



Kemudian samurai si Bungsu berkelabat lagi. Dan kaki Belanda itu putus. Cukup sekian. Si Bungsu membiarkan Belanda itu memekik-mekik tanpa tangan kanan dan tanpa kaki kiri!

Sebuah desingan dan rasa panas menyambar pelipisnya. Dia menjatuhkan diri. Bergulingan kekanan menurut arah peluru tadi datang. Kemudian sambil bangkit, samurainya bekerja.

Sergeant yang tadi menembak, terkena makan mata samurainya. Perut sergeant itu belah. Dan tubuhnya menggelepar-gelepar lalu diam. Lalu mati! Dan suasana tiba-tiba juga diam! Si Bungsu menyisipkan samurainya. Memandang keliling. Keenam serdadu Belanda itu telah tergeletak. Lima diantaranya mati! Dua orang mati di tangan si Bungsu. Yang lain disudahi oleh Bilal dan enam orang lelaki yang menyerang memakai pisau, parang dan golok!

Tiba-tiba semua mata memandang pada tubuh kopral KNIL yang masih tergolek dan meraung-raung itu. Mereka beranjak dari tempat masing-masing. Mendekati tubuh kopral itu. Membuat lingkaran mengitarinya.



Dan tiba-tiba seorang lelaki menyeruak. Dia masuk ke tengah memangku mayat gadis kecil yang tadi ditembak si Kopral. Dia adalah ayah gadis itu. Semua pada diam menatapnya. Dia tidak anggota fisabilillah. Dia hanya seorang petani biasa. Tapi tadi dia telah ikut menghujamkan pisaunya ke dada dua orang Belanda. Dan kini dia tegak dengan kaki terkangkang memangku mayat anaknya. Menatap pada tentara Belanda yang telah membunuh putrinya itu. KNIL itu tiba-tiba terdiam pula dari raung kesakitannya. Dia menatap dengan mata terbuka lebar pada lelaki yang memangku gadis kecil itu. Dia segera mengenali gadis berambut hitam lebat itu. Gadis yang dia bunuh tadi.



“Mengapa kau bunuh dia?” lelaki itu bertanya.



Suaranya perlahan. Aneh. Pertanyaan yang jujur dari seorang lelaki jujur dan bodoh. Lelaki kampung yang tak tahu menahu dengan peperangan atau politik.



“Mengapa kau bunuh anakku, padahal dia tak pernah menyakitimu? Kami tak pernah menyakiti kalian. Kenapa kau bunuh anakku, kau sakiti istriku?”



Suara lelaki itu terdengar serak. Dia tatap tentara KNIL itu tepat-tepat. Dan KNIL itu tiba-tiba seperti kehilangan seluruh rasa sakit di lengan dan di kakinya yang putus.

Dia merasa heran, merasa takjub dan sekaligus juga merasa luluh atas pertanyaan yang lugu dan polos itu. Dan isteri lelaki itu, yang tadi kena tendang berdiri di samping suaminya. Menangis melihat mayat anaknya. Dan tiba-tiba lelaki itu melangkah lewat di sisi KNIL itu, melangkah terus memangku anaknya.



“Ampunkan saya…ampunkan saya pak…” KNIL itu bermohon.

Sementara air mata penyesalan mengalir di pipinya. Namun lelaki itu seperti tak mendengar ucapannya. Dia melangkah terus bersama istrinya. Membawa mayat anaknya.



“Ampunkan saya…” KNIL itu bermohon. Dia benar-benar merasa amat berdosa.



Dan dia merasa tersiksa atas perlakuan lelaki pribumi yang tak mau membalas sakit hatinya. Kenapa lelaki itu hanya bertanya, kemudian pergi? Kenapa dia tak menikamnya saja?

Dan akhirnya KNIL itu menangis terisak-isak.



“Bunuhlah saya… bunuhlah saya. Saya tak layak untuk diampuni. Bunuhlah saya…bunuhlah saya….!” Dia bermohon pada penduduk yang mengitarinya.



Namun semua penduduk hanya menatapnya dengan tatapan kosong. Kemudian satu demi satu mengurusi mayat teman-temannya yang mati kena tembakan tadi. Yang perempuan menangisi suaminya yang mati. Demikian pula kanak-kanak menangisi mayat ayahnya atau ibunya.

Dalam perkelahian yang singkat itu, selain kelima tentara Belanda yang mati itu, ternyata ada enam penduduk yang meninggal. Empat orang lelaki dewasa, seorang perempuan dan seorang anak-anak. Kemudian satu demi satu mayat-mayat itu mereka angkut ke rumah masing-masing. Dan kini di lapangan bekas Pasar Jumat itu hanya ada enam tubuh tentara Belanda. Lima diantaranya sudah jadi mayat, yang satu lagi menatap ke sekitarnya dengan perasaan tak menentu. Dia adalah tentara KNIL yang menembak anak ibu yang tangan dan kakinya dibabat si Bungsu. Dia menoleh keliling. Dan matanya berpapasan dengan tatapan mata si Bungsu. Dia menatap pada samurai di tangan anak muda itu.



“Tolonglah saya. Bunuhlah saya. Jangan biarkan saya menderita seperti ini…” mohonnya.



Si Bungsu menatapnya dengan tenang. Dia teringat pada nasib seorang Datuk penyamun yang nasibnya juga sama dengan KNIL ini. Yaitu ketika Datuk itu bersama temannya datang ke Penginapan kecil di Aur Tajungkang untuk membalas dendam padanya. Kemudian menista Mei-mei. Datuk itu dia babat kedua tangan dan kedua kakinya. Kemudian dia tinggalkan berguling mengerang dan memohon-mohon untuk dibunuh di lantai penginapan dan demikian pulalah yang dialami KNIL ini. Dia lebih suka mati daripada menanggung malu tak bertangan dan tak berkaki. Si Bungsu sebenarnya memang ingin membunuh KNIL jahanam ini. Tapi dia ingin memberi pelajaran atas pembunuhan yang telah berkali-kali dilakukan si KNIL tersebut.



“Tolong bunuhlah saya…” KNIL itu memohon lagi.

“Bukan urusan saya. Orang kampung ini akan menentukan nasibmu. Engkau datang ke kampung ini membawa bedil, membunuh kanak-kanak. Menembaki perempuan dan lelaki yang tak berdosa. Bukankah penduduk di kampung ini tak pernah menyakiti kalian? Kenapa hari ini kalian datang membunuhi mereka”



KNIL itu tak bisa bicara. Sementara itu, pedagang-pedagang selesai mengumpulkan jualan yang tertambat di tepian batang Kampar itu. Lalu tanpa bicara ba atau bu, mereka segera membuka tambatan sampan.



“Harap jangan terdengar oleh Belanda di Teratak Buluh atas peristiwa yang terjadi di sini. Katakan saja bahwa kalian tak pernah bertemu dengan Belanda di kampung ini…”



Bilal berseru dari tebing kepada pedagang-pedagang itu. Sebab kalau sempat saja peristiwa ini bocor, maka dia sudah bisa meramalkan bahwa akan ke kampung ini seluruh pasukan Belanda untuk membunuhi mereka. Para pedagang itu tak ada yang menyahut.



“Kalau ternyata peristiwa ini bocor, maka ingatlah, kami akan mencegat kalian bila hilir ke Langgam. Dan kita akan bermusuhan sepanjang zaman….!” Bilal berseru lagi.



Sumpahnya ini membuat bulu tengkuk pedagang-pedagang yang akan berkayuh itu pada merinding. Kalau penduduk kampung ini memang bermusuhan dengan mereka sepanjang zaman itu berarti sepanjang zaman pula mereka tak dapat melayari sungai ini! Dan itu berarti mereka kehabisan mata pencaharian pula. Sebab satu-satunya tempat berjualan yang menghasilkan uang adalah ke Teratak Buluh. Dan bila dagangan di sana habis, mereka bisa jalan darat membeli dagangan baru ke Pekanbaru.



“Percayalah Bilal, dari kami takkan pernah terbuka rahasia ini. Kami bangga pada kalian, yang telah berani melawan dan membunuhi penjajah…” Pimpinan dari pedagang-pedagang itu berseru pula.



Dan mereka lalu berkayuh ke hulu satu demi satu. Ada dua belas sampan dan tongkang pedagang itu. Bergerak seperti siput merangkak pada arus sungai Kampar ke arah hulu.

Bilal menatap sampan itu bergerak. Setelah jauh, dia membalik. Menghadap pada kopral KNIL yang masih terbaring itu. Sementara penduduk kampung yang lain, atas petunjuk Suman mengangkati mayat-mayat Belanda yang lain ke arah perkampungan.

Bilal melangkah mendekati KNIL itu.



“Kami takkan membunuhmu. Kematian merupakan hal yang terlalu enak bagimu. Tapi engkau akan tetap mati kehabisan darah”



Bilal mencabut pisau yang tadi dia tikamkan ke dada leutenant. Melemparkan hingga tertancap disisi tubuh KNBIL itu.



“Engkau boleh pilih, mati secara perlahan di sini atau bunuh diri dengan pisau itu…”



Dan Bilal memberi isyarat pada si Bungsu untuk meninggalkan tempat tersebut! Bungsu melangkah mengikuti Bilal ke arah mayat-mayat Belanda tadi diangkuti. Namun beberapa langkah mereka berjalan, KNIL tadi terdengar mengeluh. Mereka menoleh, dan melihat betapa pisau yang diberikan Bilal tadi telah menancap di dadanya. KNIL itu ternyata lebih suka bunuh diri daripada tetap dibiarkan terguling tak berdaya di sana. Dia lebih suka mempercepat kematiannya daripada harus menunggu maut merangkak secara perlahan menyakiti nyawa dan jasadnya.



“Dia memilih jalan singkat….” Bilal berkata.



Bungsu hanya menatap. Bilal menyuruh dua orang penduduk untuk mengangkat mayat KNIL itu.



“Bersihkan bekas-bekas darah di tanah! Dan Asir…kau biasa membawa motor tempel. Bawa motor tempel Belanda itu ke Danau Baru. Tenggelamkan disana…”



Orang-orang yang disuruh itu melaksanakan tugas mereka. Dan Bilal membawa si Bungsu ke arah mayat-mayat Belanda itu diangkuti. Mayat-mayat itu teranyata diangkuti ke belakang kampung. Ke hutan belantara yang masih perawan.



Kaum lelaki berkumpul di sana. Menanti Bilal dan si Bungsu. Semua mereka menoleh pada Bilal dan si Bungsu yang baru muncul. Menatap dengan diam. Guruh tiba-tiba menderam di angkasa. Bilal berhenti, demikian pula si Bungsu. Para lelaki melirik ke samurai yang terpegang di tangan kanan si Bungsu.

Dari cerita yang pernah mereka dengar, anak muda ini mahir dan amat cepat dengan samurai Jepang itu. Tapi di pasar Jumat tadi, beberapa orang sempat melihatnya. Itupun secara tak pasti. Sebab hampir semua mereka terlibat dalam perkelahian yang hanya sebentar.

Hanya saja, dari mayat-mayat yang mereka bawa ini, ada dua orang tentara Belanda yang belah perut dan dadanya. Dan itu pasti termakan samurai. Jadi dengan kopral yang putus kaki dan tangan kanannya itu, ada tiga serdadu Belanda yang dibabat samurai tersebut.

Hanya itu sebagai bukti bagi penduduk bahwa anak muda ini memang cepat dengan samurainya. Hanya sayangnya tak seorangpun yang sempat melihat dengan pasti bagaimana caranya dia memainkan senjata maut itu.

Kini mereka tegak membisu. Bilal yang merupakan seorang pemuka di kampung itu akhirnya bersuara.



“Asir saya suruh membawa motor tempel Belanda itu ke Danau Baru. Menenggelamkan di sana. Saya rasa kalaupun ada pencaharian oleh pihak Belanda kemari mereka takkan menemukan jejak sedikitpun”



Dia berhenti. Para lelaki itu tak ada yang bersuara. Bilal menyambung:



“Kini kita kuburkan mayat-mayat Belanda ini. Kuburkan bersama pakaian mereka. Senjata simpan di rumah Suman. Kita kuburkan mereka lebih ke hutan sana. Lewati paya-paya tersebut agar jejak kita tak mudah ditemukan. Kubur yang dalam, agar mayat mereka tak digali harimau…!”



Masih tanpa suara, kaum lelaki itu mulai mengangkati mayat keenam serdadu Belanda tersebut. Guruh kembali menderam rusuh di kaki langit. Mengirimkan suasana seram ke hati mereka.

Satu demi satu mulai menyeruak rimba menuju paya-paya.



“Biar saya di depan membuka jalan….” Si Bungsu berkata sambil mendahului rombongan pemangku mayat tersebut.

Di depan dia menghunus samurainya. Ketika dia akan menebas semak untuk membuka jalan, dia terhenti mendengar seruan Bilal.



“Jangan ditebas!”

“Tapi ini menyulitkan pejalan yang memangku mayat..”

“Ya, tapi tebasan itu juga akan memudahkan Belanda masuk untuk mencari jejak mayat teman-temannya”



Si Bungsu menjadi mengerti duduk soalnya. Dia mengagumi ketajaman firasat Bilal. Oleh karena itu dia memasukkan kembali samurainya. Kemudian dengan mempergunakan samurai bersarung itu dia menguakkan semak-semak untuk membuat jalan bagi temannya yang di belakang.

Mereka berjalan dengan diam.



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 064